POLITIK DALAM ISLAM: ANTARA AQIDAH DAN FIQH

Banyak kalangan hari ini membingkai politik sebagai bagian mutlak dari aqidah, hingga siapa yang berbeda pandangan dianggap menyimpang atau bahkan keluar dari garis Islam. Namun benarkah semua perkara politik itu menyentuh wilayah aqidah? 

Tadzkirah ini membuka ruang tafsir yang jernih dan proporsional: bahwa tidak setiap urusan pemerintahan, kekuasaan, dan strategi umat harus diletakkan di atas altar keyakinan pokok. Islam membedakan antara aqidah yang tetap dan fiqh yang fleksibel, antara prinsip abadi dan strategi ijtihadi. Inilah saatnya kita kembali menakar politik dalam timbangan yang adil—dengan ilmu, bukan emosi.

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis



🧭 Pengantar

Dalam khazanah keilmuan Islam, pembahasan tentang hubungan antara politik dan aqidah bukanlah tema baru. Namun, dalam era kontemporer yang penuh dengan semangat pergerakan dan mobilisasi wacana keagamaan, sering kali terjadi penyempitan makna aqidah hingga mencakup hal-hal yang semestinya berada di ranah fiqh atau siyasah.

Tadzkirah ini mengajak kita untuk memulai dari yang paling mendasar: definisi. Apa itu aqidah? Apa itu politik (siyāsah)? Dalam tradisi usuliyyah, mendefinisikan istilah adalah fondasi setiap pembahasan. Kesalahan dalam mendefinisikan akan berakibat pada kesalahan dalam menyimpulkan.

Politik dalam pandangan Islam adalah mengatur urusan umat dengan prinsip maslahat. Kata "siyasah" tidak ditemukan dalam Al-Qur’an secara langsung, namun disebutkan dalam hadis sahih. Ulama klasik seperti al-Imam an-Nawawī menjelaskan bahwa siyasah adalah bentuk pengurusan oleh para Nabi terhadap urusan umat, sebagaimana para pemimpin mengatur rakyat mereka.

Namun, menjadikan seluruh praktik politik sebagai bagian dari aqidah adalah bentuk pemutlakan yang berlebihan. Dalam sejarah Islam, kita mendapati figur seperti Nabi Yusuf ‘alayhissalām dan Raja Najasyi yang terlibat dalam sistem pemerintahan yang belum Islami secara hukum, namun tetap dinilai beriman dan saleh oleh Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa politik adalah ranah fiqh, bukan aqidah, selama prinsip pokok iman tetap terjaga.

Dengan pendekatan ilmiah, tadzkirah ini memperlihatkan urgensi membedakan antara prinsip keyakinan dan ijtihad strategi. Ia mendorong kita untuk tidak menggiring setiap perbedaan pandangan politik kepada vonis aqidah, karena hal itu justru mempersempit keluasan syariat dan merusak ukhuwah.


📚 Rangkuman Faedah

1️⃣ Definisi: Aqidah dan Politik Bukan Entitas yang Sama

  • Aqidah menyangkut keyakinan pokok yang bersifat tetap, seperti iman kepada Allah, Rasul, dan hari akhir.

  • Politik (siyasah) adalah pengelolaan urusan umat berdasarkan maslahat, bersifat ijtihadi, dan fleksibel.

  • Menyamakan keduanya adalah kekeliruan konseptual yang berisiko membawa implikasi hukum yang tidak proporsional.


2️⃣ Dalil: Politik Ada dalam Hadis, Bukan dalam Teks Aqidah Pokok

  • Kata "siyasah" tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi muncul dalam hadis riwayat Muslim, yang menunjukkan bahwa para Nabi dahulu mengatur urusan umat mereka.

  • Al-Imam an-Nawawī menjelaskan bahwa "tasūsuhum al-anbiyāʾ" berarti mengurus umat dalam urusan maslahat, bukan menanamkan keyakinan.

  • Maka, politik adalah aktivitas praktis, bukan keyakinan.


3️⃣ Contoh Praktis: Nabi Yusuf ‘alayhissalām dan Raja Najasyi

  • Nabi Yusuf menerima jabatan menteri dalam sistem kerajaan Mesir yang non-Islami, namun tetap mulia dan diridhai Allah.

  • Raja Najasyi memimpin kerajaan Kristen (Habsyah) sambil menyembunyikan keislamannya karena situasi politik. Nabi ﷺ bahkan menyalatkannya secara ghaib.

  • Keduanya tetap dinilai sebagai orang beriman—menunjukkan bahwa keterlibatan dalam sistem politik bukan indikator rusaknya aqidah.


4️⃣ Penegakan Syariah Harus Dimaknai Secara Komprehensif

  • Syariah bukan hanya soal hukum pidana atau sistem negara, tapi mencakup salat, puasa, akhlak, adab, dan etika lisan.

  • Banyak pihak menyeru penegakan syariah, namun belum memahami bahwa menjaga lisan, tidak mencela orang, dan berkata baik juga bagian dari syariah.

  • Menyempitkan syariah hanya pada wilayah kekuasaan adalah pengaburan makna sebenarnya.


5️⃣ Kesimpulan: Politik Bagian dari Fiqh, Bukan dari Aqidah

  • Politik adalah bagian dari ranah fiqh yang tunduk pada ijtihad, konteks, maslahat, dan perbedaan pandangan.

  • Aqidah adalah perkara tetap yang bersumber dari dalil qat‘i, tidak boleh dimasuki oleh perkara-perkara ijtihadi.

  • Menyamakan keduanya dapat menyebabkan fanatisme, kebingungan umat, dan fragmentasi internal.


🕊️ Penutup Reflektif:

Tadzkirah ini adalah ajakan untuk kembali menata pemahaman kita tentang mana yang prinsip dan mana yang strategi. Aqidah adalah urusan yang sakral, tidak boleh dipolitisasi. Politik adalah medan amal, bukan medan iman. Jangan kita perbesar perkara yang lentur, dan jangan pula kita longgarkan perkara yang pasti. Dalam membangun masyarakat Islami, kita membutuhkan ilmu yang jernih, bukan semangat yang terburu-buru.