POLITIK TAKFIRI: KETIKA AGAMA DIJADIKAN SENJATA KEKUASAAN

Pengkafiran atas dasar politik bukanlah warisan kesalehan, melainkan penyimpangan beragama yang mengoyak persatuan umat. Di balik retorika agama, politik takfiri sejatinya hanyalah permainan kuasa yang menjadikan label “kafir” sebagai peluru untuk menumbangkan lawan. 

Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


PEGANTAR

Fenomena politik takfiri—atau pengkafiran atas dasar politik—merupakan salah satu gejala berbahaya dalam sejarah maupun realitas umat Islam kontemporer. Jika pada masa awal Islam praktik takfir sering dikaitkan dengan kelompok Khawarij yang mengkafirkan sesama Muslim karena perbedaan pandangan, maka di era modern ia tampil dalam wajah baru: agama dijadikan senjata untuk mendelegitimasi lawan politik. Padahal, takfir bukanlah perkara remeh. Para ulama sejak dahulu menegaskan bahwa seseorang yang telah masuk Islam dengan yakin tidak boleh dikeluarkan darinya kecuali dengan bukti yang sama kuat, sehingga vonis kafir tanpa dasar yang sah justru mengundang kerusakan besar.

Penggunaan takfir dalam arena politik tidak hanya menyimpangkan ajaran agama, tetapi juga berpotensi merusak tatanan sosial. Tuduhan kafir yang disematkan pada pihak berbeda pandangan memicu kebencian, polarisasi, bahkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Padahal, al-Qur’an dan Sunnah Nabi ﷺ dengan tegas melarang umat untuk tergesa-gesa mengkafirkan orang lain hanya demi keuntungan duniawi. Dengan demikian, kajian tentang politik takfiri bukan sekadar diskursus teologis, melainkan peringatan moral dan sosial agar umat senantiasa berhati-hati menjaga lidah, akal, dan hati dalam menyikapi perbedaan.


Rangkuman

1. Pendahuluan: Definisi Politik Takfiri

  • Politik takfiri: dari bahasa Arab At-Takfīr as-Siyāsī, artinya pengkafiran politik.

  • Yaitu mengkafirkan orang lain atas dasar kepentingan politik, bukan berdasarkan kebenaran syar’i.

  • Tujuannya:

    • Menjatuhkan lawan politik.

    • Meminta pihak lain menghukum lawan dengan legitimasi agama.


2. Perbedaan Takfir Qadhi vs Takfir Politik

  • Takfir Qadhi: keputusan hakim (qadhi) bila ada bukti seseorang benar-benar murtad.

  • Takfir Politik: dilakukan demi tujuan politik, bukan karena dalil yang sah.

  • Sangat berbahaya karena menjadikan agama sebagai alat politik.


3. Bahaya Takfir yang Serampangan

  • Mengkafirkan orang adalah perkara besar dalam agama.

  • Seseorang yang sudah masuk Islam dengan yakin tidak boleh dikeluarkan dari Islam kecuali dengan bukti yakin pula.

  • Jalan syaitan ada dua: terlalu longgar dalam agama atau terlalu melampau (ekstrem) dalam agama.

  • Mengkafirkan orang tanpa kaidah benar termasuk jalan syaitan.


4. Dalil Al-Qur’an

  • QS. An-Nisā’ 94: Larangan mengkafirkan orang yang memberi salam hanya demi kepentingan dunia.

    • Mengkafirkan demi harta atau keuntungan dunia adalah kesalahan fatal.

    • Islam menjaga agar label “kafir” tidak diberikan sembarangan.


5. Dalil Hadits

  1. Hadits Usamah bin Zaid (HR. Bukhari & Muslim)

    • Dalam perang, Usamah membunuh seseorang yang sudah mengucap syahadat.

    • Nabi ﷺ marah: “Apakah engkau belah dadanya untuk tahu isi hatinya?”

    • Pesan: jangan menilai iman orang lain hanya dari prasangka.

  2. Hadits Ibn Hibban (disahihkan Ibn Kathir, dihasankan al-Albani)

    • Nabi ﷺ mengingatkan ada orang yang rajin baca Qur’an, nampak pembela Islam, tapi kemudian menyimpang dan menuduh orang lain syirik.

    • Nabi ﷺ menegaskan: yang lebih dekat kepada syirik adalah orang yang menuduh itu, bukan yang dituduh.


6. Kaidah Ulama dalam Takfir

  • Ulama seperti al-Baqillani, al-Ghazali, Ibn Taymiyyah:

    • Kaedah: Seseorang masuk Islam dengan yakin, maka tidak boleh dihukumi keluar dari Islam kecuali dengan bukti yang sama kuat (yakin).

    • Tidak boleh menghukum kafir kecuali setelah tegaknya hujjah yang jelas.


7. Contoh dari Sirah: Kasus Hatib bin Abi Balta‘ah

  • Hatib (ahli Badar) mengirim surat rahasia ke Quraisy tentang rencana Nabi ﷺ menyerang Makkah.

  • Tindakannya termasuk khianat besar.

  • Umar ingin menghukumnya sebagai munafik, tapi Nabi ﷺ bertanya dulu alasan Hatib.

  • Hatib menjawab: ia khawatir keluarganya di Makkah tidak terlindungi. Bukan karena ragu dengan Islam.

  • Nabi ﷺ tidak mengkafirkan Hatib, bahkan mengingatkan bahwa Allah sudah memberi keutamaan besar kepada ahli Badar.

  • Pelajaran: meski perbuatan nampak kufur, tetap harus dikaji alasan dan niatnya sebelum menuduh kafir.


8. Kesimpulan

  • Politik takfiri adalah penyimpangan beragama karena mengubah takfir menjadi alat politik.

  • Islam mengajarkan kehati-hatian luar biasa dalam hal takfir.

  • Kesalahan dalam takfir bisa berbalik: yang menuduh kafir justru terjerumus kepada kesalahan besar, bahkan syirik.

  • Prinsip dasar: jangan sembarangan mengkafirkan; biarkan hukum takfir diserahkan kepada kaidah syar’i yang jelas dan otoritas ulama.