🌿 PENGANTAR
Apa arti taat kepada Ulil Amri di zaman sekarang? Apakah berarti menutup mata atas segala kebijakan pemerintah, walaupun zalim? Atau justru berarti berani mengkritik dengan cara yang benar, tanpa jatuh ke dalam dosa pemberontakan?
Inilah pertanyaan besar yang sering membingungkan banyak muslim. Sebagian orang bersuara lantang: “Pemimpin harus ditaati walau zalim!” Sebagian lain membalas dengan nada keras: “Tidak! Jika zalim, wajib dilawan!” Lalu di manakah posisi yang benar menurut syariat?
📌 Diskusi ilmiah bersama Shahibus Samahah Mufti Negeri Perlis ini mencoba menjawabnya dengan mengambil tema “Ulil Amri: Antara Taat dan Ijtihad” melalui pendekatan al-Qur’an, hadis sahih, pendapat para ulama, sejarah Khulafā’ Rāsyidīn, hingga persoalan kontemporer seperti demokrasi, media sosial, dan pluralitas mazhab.
Beberapa pertanyaan mendasar yang dibahas antara lain:
- 
Apa makna Ulil Amri dalam istilah Islam?
 - 
Sampai di mana batas ketaatan rakyat kepada pemimpin?
 - 
Apakah kritik dan perbedaan pendapat dengan pemerintah dibolehkan?
 - 
Bagaimana hukum keluar (khuruj) melawan penguasa?
 - 
Apa pelajaran dari praktik para sahabat dan imam mazhab?
 
Diskusi ini penting bukan hanya untuk pelajar syariah, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami bagaimana Islam mengatur hubungan antara rakyat, ulama, dan pemerintah.
⚖️ Di dalamnya kita akan menemukan bahwa Islam bukan agama otoritarian yang membenarkan ketaatan buta, dan juga bukan agama anarkis yang menghalalkan pemberontakan setiap kali tidak puas. Islam menekankan ketaatan yang bersyarat, kritik yang konstruktif, serta ijtihad pemerintah dalam menjaga kemaslahatan umat.
Selamat menyelami sebuah pembahasan yang tidak hanya akademik, tetapi juga menyentuh realitas hidup berbangsa dan bernegara.
📘 Rangkuman Faedah
Bagian 1: Pendahuluan dan Definisi Ulil Amri
1.1. Pengenalan Topik
- 
Pembahasan dimulai dengan pengenalan topik utama, yaitu konsep Ulil Amri (أُولِي الْأَمْرِ) yang mencakup:
- 
Ketaatan (ṭā‘ah - طاعة)
 - 
Ijtihad (اجتهاد) atau perbedaan pendapat (isythetat/ikhtilaf - اشتهات/اختلاف)
 
 - 
 - 
Panelis meminta perhatian penuh karena topik ini dianggap cukup kompleks dan mendalam.
 
1.2. Panelis
- 
Diskusi dipandu oleh seorang moderator dengan panelis yang diperkenalkan.
 - 
Salah satunya adalah Shahibus Samahah Dato' Arif Pekasa, Dr. Asri Zainal Abidin - Mufti Kerajaan Negeri Perlis, yang diminta untuk memberikan penjelasan awal (mukadimah - مقدمه).
 
1.3. Pertanyaan Pembuka
Moderator mengajukan beberapa pertanyaan kunci untuk memandu diskusi:
- 
Apa makna bahasa dan istilah Ulil Amri?
 - 
Di mana posisi Ulil Amri dalam struktur Islam?
- 
Apakah mereka hanya berfungsi sebagai pemberi nasihat (penasihat)?
 - 
Apakah hanya sebagai pengawas (hisbah - حسبه)?
 - 
Ataukah memiliki peran lebih?
 
 - 
 - 
Bagaimana pemahaman yang benar tentang kedudukan Ulil Amri?
 
Bagian 2: Kedudukan dan Kewajiban Taat kepada Ulil Amri
2.1. Konteks Sosial dan Kebutuhan akan Pemerintahan
- 
Mufti menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mustahil hidup sendiri.
 - 
Untuk mengatur kehidupan sosial dan mencegah kekacauan (huru hara - هروهارا), Islam menetapkan:
 
2.2. Dalil Kewajiban Taat: Ayat Al-Qur'an
Landasan utama ketaatan kepada pemimpin adalah firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu." (QS. An-Nisa’: 59)
Penjelasan Penting tentang Ayat:
- 
Kata "أَطِيعُوا" (taatilah) tidak diulang untuk Ulil Amri.
 - 
Menunjukkan bahwa ketaatan kepada mereka tidak bersifat mutlak, melainkan terikat (muqayyad) dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
 - 
Ketaatan kepada pemimpin adalah derivasi dari ketaatan kepada Allah dan Rasul.
 
2.3. Siapa yang Dimaksud Ulil Amri?
Terdapat perbedaan pendapat ulama:
- 
Pendapat Imam Syafi‘i رحمه الله: Ulil Amri adalah umara’ (penguasa/الأمراء) yang diangkat oleh Nabi SAW.
 - 
Pendapat sebagian ulama lain: Ulil Amri adalah ulama.
 - 
Pendapat mayoritas ulama (jumhur): Ulil Amri merujuk kepada pemerintah (penguasa) yang memiliki kekuasaan nyata.
 
Syarat seorang penguasa disebut Ulil Amri:
Menurut kitab-kitab siyāsah syar‘iyyah, seorang penguasa/pemerintah harus memiliki dzu syaukah (ذو شوكة), yaitu:
- 
Memiliki kekuatan dan kewibawaan
 - 
Memiliki rakyat yang dipimpin
 - 
Memiliki tentara atau pasukan keamanan
 - 
Memiliki kemampuan untuk melaksanakan kekuasaan dan menegakkan hukum
 - 
Memiliki wilayah kekuasaan yang jelas
 
📌 Catatan: Memiliki banyak pengikut di media sosial (netizen) atau sekadar menjadi pemimpin organisasi tidak cukup untuk disebut sebagai Ulil Amri dalam konteks ini.
2.4. Hukum Menentang Pemerintah
- 
Mayoritas ulama sepakat bahwa keluar untuk memerangi pemerintah (khuuruj - خروج) adalah HARAM berdasarkan ijma‘ (konsensus) ulama.
 - 
Bahkan jika pemerintah tersebut fasik (فاسق) atau zalim (ظالم).
 
Hadits Pendukung:
Nabi SAW bersabda (dari Ibnu Abbas RA):
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena siapa yang keluar (memberontak) dari sultan (penguasa) sejengkal saja, maka ia mati seperti matinya jahiliyah." — HR. Al-Bukhari No. 7053, Muslim No. 1849 (Hadits Shahih)
- 
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menegaskan hal ini.
 - 
Alasan: untuk menghindari pertumpahan darah dan kerusakan besar (mafsadah - مفسدة).
 
2.5. Bentuk-Bentuk Pengingkaran yang Diperbolehkan
Meski memberontak dengan senjata haram, terdapat bentuk pengingkaran lain yang diperbolehkan:
- 
Kritik (naqd - نقد) yang konstruktif
 - 
Kemarahan (ghadhab - غضب) terhadap kemungkaran
 - 
Pengingkaran (inkār - إنكار) secara lisan dan hati
 - 
Menolak melakukan kemaksiatan jika diperintahkan
 
Prinsip:
"Siapa yang mengingkari, maka dia selamat."
→ Siapa yang membenci dan mengingkari kemungkaran dengan hatinya, maka terbebas dari dosa.
2.6. Pengecualian dalam Larangan Memberontak
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, memberontak boleh dilakukan jika:
- 
Bisa dilakukan tanpa menimbulkan pertumpahan darah.
 - 
Melalui mekanisme damai, misalnya:
- 
Pemilihan Umum
 - 
Perubahan sistem konstitusional
 
 - 
 
Contoh yang tidak diperbolehkan: perang saudara seperti di Sudan → menghancurkan negara.
2.7. Pelajaran dari Sejarah Islam
Sejarah Islam memberikan pelajaran berharga tentang bahaya pemberontakan:
- 
Kerajaan Bani Umayyah digulingkan oleh Abu Abbas al-Saffah dengan pertumpahan darah.
 - 
Ulama zaman itu seperti Al-Awza‘i mengkritik keras metode penggulingan ini.
 - 
Meski berhasil, pemerintah baru seringkali juga melakukan kezaliman.
 
Konsep Al-Hakim al-Mutaghallib (penguasa yang merebut kekuasaan):
- 
Jika seseorang merebut kekuasaan dengan cara salah tetapi kemudian berkuasa dan menjalankan pemerintahan, maka umat Islam diperintahkan untuk taat, demi menghindari fitnah besar.
 - 
Selama tidak memerintahkan kemaksiatan.
 
2.8. Kaidah Penting dalam Ketaatan
Prinsip Dasar:
"Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam hal yang dia sukai maupun tidak, kecuali jika diperintahkan untuk berbuat maksiat."
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)." (QS. An-Nisa’: 59)
📌 Ringkasan Bagian 2:
- 
Islam mengajarkan ketaatan kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan nyata sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
 - 
Memberontak dengan senjata hukumnya haram, kecuali dalam kondisi khusus tanpa pertumpahan darah.
 - 
Yang diperbolehkan adalah kritik, nasihat, dan pengingkaran terhadap kemungkaran tanpa kekerasan.
 - 
Sejarah Islam membuktikan pemberontakan biasanya menimbulkan kerusakan lebih besar daripada manfaat.
 
Bagian 3: Ijtihad Pemerintah dan Konflik Pendapat
3.1. Konteks Permasalahan
- 
Moderator mengajukan pertanyaan lanjutan: bagaimana menetapkan suatu pegangan atau kebijakan dalam sebuah negara/wilayah, khususnya terkait masalah agama atau mazhab fikih.
 
3.2. Kompleksitas Penetapan Kebijakan
Menetapkan kebijakan/pegangan resmi tidak sederhana karena:
- 
Memerlukan gabungan berbagai disiplin ilmu.
 - 
Melibatkan para ahli (ulama, pakar kesehatan, pakar administrasi, dll.).
 - 
Harus mempertimbangkan kemaslahatan umat secara keseluruhan.
 - 
Harus menghormati prinsip-prinsip negara/wilayah tersebut.
 
📌 Contoh: Perlis (Malaysia) → tidak terikat dengan satu mazhab tertentu, tetapi memilih pendapat yang paling kuat (rajih) dari berbagai mazhab.
3.3. Klasifikasi Perselisihan dengan Pemerintah
Perselisihan dengan Ulil Amri dapat dibagi dua:
- 
Perselisihan dalam Perkara yang Jelas Melanggar Nash
- 
Jika pemerintah jelas-jelas menyalahi Al-Qur’an & Sunnah.
 - 
Maka wajib diingkari & dibantah.
 - 
Contoh: memerintahkan kemaksiatan, menghalalkan yang haram.
 
 - 
 - 
Perselisihan dalam Perkara Ijtihadiyah
- 
Perkara yang masih dalam wilayah perbedaan pendapat ulama.
 - 
Pemerintah memilih satu pendapat berdasarkan pertimbangan tertentu.
 - 
Masyarakat boleh berbeda pendapat, tetapi tetap wajib taat pada keputusan pemerintah.
 
 - 
 
3.4. Hadits tentang Pemimpin yang Berbuat Dosa
Nabi SAW bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
"Akan datang para pemimpin, kalian mengenal (kebaikan mereka) dan mengingkari (keburukan mereka). Siapa yang mengenal (kebaikan dan keburukan) maka terbebas (dari dosa). Siapa yang mengingkari maka selamat. Tetapi siapa yang ridha dan mengikuti (keburukan mereka) maka celaka." (HR. Muslim)
Penjelasan:
- 
Wajib mengenal yang ma‘ruf & mungkar.
 - 
Wajib mengingkari kemungkaran dengan cara benar.
 - 
Tidak boleh ridha & mengikuti kemungkaran.
 
3.5. Larangan Memberontak selama Masih Shalat
- 
Para sahabat bertanya: apakah boleh memerangi pemimpin yang zalim?
 - 
Nabi SAW menjawab:
 
لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ
"Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kamu." (HR. Muslim)
📌 Makna: selama pemimpin masih menegakkan simbol Islam yang pokok (shalat), tidak boleh memberontak.
3.6. Contoh Perselisihan Ijtihadiyah
Beberapa persoalan ijtihadiyah yang tidak boleh dijadikan alasan untuk memberontak:
- 
Perbedaan doa qunut dalam shalat.
 - 
Perbedaan keras/pelan bacaan Bismillah.
 - 
Perbedaan jumlah rakaat shalat witir.
 - 
Kebijakan administrasi & pentadbiran negara.
 
Prinsip: perbedaan dalam hal furu‘ (cabang) tidak boleh memecah belah umat.
3.7. Kewajiban Taat dalam Kebijakan Ijtihadiyah
- 
Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam wilayah ijtihad, dan tidak bertentangan dengan nash → wajib taat.
 - 
Meskipun pribadi punya pendapat lain.
 
📌 Contoh: aturan sabuk pengaman.
- 
Ada yang berpendapat tidak wajib secara syar‘i.
 - 
Tapi karena ditetapkan pemerintah demi keselamatan, maka wajib ditaati.
 
3.8. Bahaya Sikap Ekstrem
Sikap ekstrem dalam beragama tanpa fiqh komprehensif dapat:
- 
Membuat seseorang berpikir sempit & mudah menyalahkan orang lain.
 - 
Memecah kesatuan umat.
 - 
Menimbulkan fitnah & kekacauan.
 
📌 Ringkasan Bagian 3:
- 
Perselisihan dengan pemerintah:
- 
Jika jelas melanggar nash → wajib dibantah.
 - 
Jika dalam wilayah ijtihad → wajib taat.
 
 - 
 - 
Kritik konstruktif boleh, tetapi ekstremisme berbahaya.
 - 
Kesatuan umat lebih penting daripada perbedaan furu‘.
 
Bagian 4: Contoh Historis dari Masa Khulafaur Rasyidin
4.1. Transisi dari Kenabian ke Kekhalifahan
- 
Setelah wafat Nabi SAW → terjadi transisi penting:
- 
Nabi = Rasul (penerima wahyu) + Imam (pemimpin).
 - 
Abu Bakar hanya mewarisi status Imam (kepemimpinan).
 
 - 
 - 
Sebagian masyarakat bingung: apakah ketaatan kepada Abu Bakar setara dengan ketaatan kepada Nabi?
 
4.2. Kebijakan Abu Bakar dalam Perang Riddah
- 
Sebagian kaum muslimin menolak membayar zakat.
 - 
Umar bin Khattab awalnya menyarankan sabar.
 - 
Abu Bakar menegaskan:
 
"Demi Allah, jika mereka menolak membayar zakat yang biasa mereka bayarkan kepada Rasulullah, aku akan perangi mereka."
- 
Zakat = kewajiban agama tak terpisah dari shalat.
 - 
Penolakan zakat = melemahkan agama.
 
4.3. Kebijakan Abu Bakar tentang Ekspedisi Usamah
- 
Nabi telah mempersiapkan ekspedisi Usamah bin Zaid.
 - 
Setelah Nabi wafat, sebagian sahabat minta ditunda karena kondisi negara.
 - 
Abu Bakar bersikeras melanjutkan:
 
"Aku tidak akan membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah."
- 
Menunjukkan komitmen pada keputusan Nabi.
 - 
Menjaga kewibawaan pemerintahan.
 
4.4. Pengumpulan Al-Qur’an
- 
Umar mengusulkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
 - 
Abu Bakar awalnya ragu (karena Nabi tidak melakukannya).
 - 
Akhirnya setuju → demi kemaslahatan umat.
 
4.5. Kebijakan Umar bin Khattab
a. Zakat Kuda
- 
Awalnya kuda tidak dikenakan zakat.
 - 
Umar melihat pemilik kuda lebih kaya → menetapkan zakat kuda.
 
b. Pembagian Tanah Taklukan
- 
Setelah penaklukan Iraq, sahabat ingin membagi tanah sebagai ghanimah.
 - 
Umar menolak, dengan alasan:
- 
Agar generasi mendatang juga mendapat manfaat.
 - 
Menghindari kecemburuan sosial.
 - 
Berdasarkan tafsir doa generasi kemudian untuk generasi sebelumnya.
 
 - 
 
c. Sengketa Tanah Bilal
- 
Bilal mendapat tanah dari Nabi, tapi tidak mengelolanya.
 - 
Umar mengambil tanah itu untuk diberikan ke orang yang mampu mengelola.
 - 
Meski kepemilikan Bilal sah, Umar mempertimbangkan kemaslahatan umum.
 
4.6. Kebijakan Utsman bin Affan
a. Penyatuan Mushaf
- 
Utsman menyatukan bacaan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
 - 
Sebagian sahabat awalnya tidak setuju.
 - 
Keputusan ini diambil demi menjaga kesatuan umat.
 
b. Kebijakan Lain
- 
Menyempurnakan shalat di Mina (tamam).
 - 
Kebijakan terkait haji.
 - 
Meski ada perbedaan pendapat, sahabat tetap taat.
 
4.7. Pelajaran dari Sejarah
- 
Khulafaur Rasyidin sering membuat kebijakan tidak populer.
 - 
Terjadi perbedaan pendapat bahkan di kalangan sahabat senior.
 - 
Namun prinsip al-sam‘ wa al-ṭā‘ah (mendengar & taat) tetap dijaga.
 
📌 Ringkasan Bagian 4:
- 
Perbedaan pendapat dengan pemerintah hal biasa.
 - 
Para sahabat tetap taat selama kebijakan tidak melanggar syariat.
 - 
Ijtihad pemerintah demi maslahat umat harus dihormati.
 
Bagian 5: Mazhab Fikih dan Otoritas Pemerintah
5.1. Perkembangan Mazhab dalam Sejarah
- 
Era Bani Umayyah: mulai muncul perbedaan pendapat fiqh.
 - 
Era Bani Abbasiyah: mazhab resmi negara ditetapkan.
- 
Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) jadi qadi pertama.
 - 
Mazhab Hanafi jadi mazhab resmi karena sesuai sistem administrasi.
 
 - 
 
5.2. Hubungan antara Mazhab Individu & Kebijakan Negara
- 
Urusan pribadi → bebas ikut mazhab masing-masing.
 - 
Urusan publik/peradilan → negara berhak tetapkan mazhab acuan.
 
Prinsip:
"Hukm al-hakim yarfa‘ al-khilaf" → keputusan hakim/pemerintah menghilangkan perselisihan.
5.3. Contoh dalam Praktek
a. Bacaan Bismillah
- 
Pribadi → boleh keras/pelan sesuai keyakinan.
 - 
Jamaah → wajib ikut imam resmi.
 
b. Doa Qunut
- 
Bisa berbeda antar wilayah/negara.
 - 
Tidak boleh memaksakan pendapat hingga pecah belah.
 
c. Mahkamah Syariah
- 
Berhak memutus berdasarkan mazhab resmi.
 - 
Putusan mengikat pihak bersengketa.
 
5.4. Keluasan Fikih Islam
- 
Fikih sangat luas, mengakomodasi perbedaan.
 - 
Tidak boleh memaksakan satu pendapat secara absolut.
 - 
Wajib menghormati perbedaan yang valid.
 
5.5. Peran Pemerintah dalam Menetapkan Kebijakan
Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan untuk:
- 
Menjaga ketertiban umum.
 - 
Menjamin kemaslahatan publik.
 - 
Mencegah kekacauan & perpecahan.
 - 
Menyelaraskan pelaksanaan ibadah kolektif.
 
📌 Contoh: kebijakan haji, pengaturan shalat jamaah, penetapan awal bulan hijriyah.
5.6. Kewajiban Mentaati Kebijakan Pemerintah
- 
Dalam wilayah ijtihadiyah, pemerintah boleh memilih pendapat yang dianggap maslahat.
 - 
Keputusan wajib ditaati seluruh rakyat.
 
📌 Contoh:
- 
Awal Ramadhan & Syawal → meski ada beda hisab & rukyah, pemerintah tetapkan keputusan resmi → wajib diikuti.
 - 
Penyelenggaraan Haji → regulasi kuota, biaya, tata cara.
 - 
Standar Halal-Haram → pemerintah tetapkan standar halal → mengikat produsen & konsumen.
 
5.7. Batasan Ketaatan kepada Pemerintah
- 
Tidak dalam kemaksiatan.
- 
"Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan hanya dalam kebenaran." (HR. Bukhari, Muslim)
 
 - 
 - 
Tidak memerintahkan kekufuran.
 - 
Tetap wajib mengingkari kemungkaran dengan cara bijak, tidak menimbulkan fitnah.
 
5.8. Mekanisme Perubahan yang Benar
Islam mengajarkan mekanisme perubahan:
- 
Nasihat & dialog (al-nashihah wa al-hiwar).
 - 
Perbaikan melalui sistem (al-islah min khilal al-nizam).
 - 
Perubahan bertahap (al-taghayyur al-tadriji).
 - 
Menghindari kekerasan (ijtinab al-‘unf).
 
📌 Ringkasan Bagian 5:
- 
Islam mengakui keragaman mazhab, tapi menekankan taat keputusan pemerintah dalam ijtihadiyah.
 - 
Ketaatan ada batasan → tidak mutlak.
 - 
Perubahan harus melalui mekanisme benar & bijaksana.
 
Bagian 6: Aplikasi Kontemporer dan Penutup
6.1. Tantangan Kontemporer
- 
Media Sosial & Penyebaran Pendapat
- 
Mudah menyebarkan opini pribadi.
 - 
Risiko fitnah & perpecahan.
 - 
Perlu filter & kebijaksanaan.
 
 - 
 - 
Pluralitas Pemikiran
- 
Banyak aliran & pemikiran.
 - 
Perlu sikap toleran & kritis.
 - 
Menjaga ukhuwah Islamiyah.
 
 - 
 - 
Interaksi dengan Sistem Demokrasi
- 
Bagaimana menyikapi pemilu.
 - 
Berpartisipasi dalam sistem yang ada.
 - 
Memperbaiki dari dalam.
 
 - 
 
6.2. Prinsip-Prinsip Penting
- 
Al-wala’ wa al-bara’ (loyalitas & berlepas diri):
- 
Loyal pada pemerintah muslim sah.
 - 
Berlepas diri dari kebijakan batil.
 
 - 
 - 
Al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar:
- 
Menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar.
 - 
Dengan cara hikmah & bijaksana.
 
 - 
 - 
Al-‘adl wa al-ihsan (keadilan & kebaikan):
- 
Adil dalam menyikapi pemerintah.
 - 
Ihsan dalam memberi nasihat.
 
 - 
 
6.3. Kesimpulan Utama
- 
Ketaatan kepada Ulil Amri adalah kewajiban syar‘i dengan syarat tertentu.
 - 
Larangan memberontak dengan kekerasan = prinsip pokok ahlus sunnah.
 - 
Kritik konstruktif diperbolehkan bahkan dianjurkan.
 - 
Perbedaan pendapat furu‘iyyat tidak boleh memecah belah.
 - 
Kemaslahatan umat = pertimbangan utama.
 
6.4. Rekomendasi
- 
Bagi Pemerintah:
- 
Mengutamakan musyawarah & keadilan.
 - 
Terbuka pada kritik konstruktif.
 - 
Mempertimbangkan maslahat umat.
 
 - 
 - 
Bagi Rakyat:
- 
Menjaga ketaatan dengan syarat.
 - 
Mengedepankan nasihat bijak.
 - 
Menghindari fitnah & perpecahan.
 
 - 
 - 
Bagi Ulama & Cendekiawan:
- 
Memberikan pemahaman komprehensif.
 - 
Menjadi penengah konflik.
 - 
Memberi nasihat kepada penguasa.
 
 - 
 
6.5. Penutup
- 
Demikian pembahasan Ulil Amri antara taat dan ijtihad.
 - 
Semoga kita semua dapat mengamalkan Islam dengan benar, menjaga kesatuan umat, dan berpegang pada Al-Qur’an & Sunnah dengan pemahaman komprehensif.
 
Wallahu a‘lam bish-shawab.
METODOLOGI ISTIMBATH
🌿 PENGANTAR
Dalam memahami hukum-hukum syariat, para ulama dan mufti tidak pernah berbicara hanya berdasarkan pendapat pribadi atau perasaan semata. Mereka menggunakan metodologi istinbāṭ (proses menggali hukum dari sumber-sumber syariat) yang terikat dengan al-Qur’an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyās, serta ditopang oleh kaidah fiqhiyyah dan maqāṣid al-syarī‘ah.
Dialog yang kita bahas tentang “Ulil Amri: Antara Taat dan Ijtihad” menampilkan dengan jelas bagaimana seorang mufti menata pemikiran dan hujjahnya. Ia tidak sekadar menyebut hukum, tetapi melalui tahapan yang teratur: mulai dari dalil nash, menampilkan perbedaan pendapat ulama, menimbang maslahat dan mafsadah, hingga menutup dengan kesimpulan yang menjaga keutuhan umat.
Bagi pelajar ilmu Ushul Fiqh, penting untuk memperhatikan cara berpikir dan alur istidlāl (penarikan dalil) yang digunakan oleh mufti. Dengan demikian, bukan hanya hukum yang dipahami, tetapi juga metode yang bisa ditiru ketika menghadapi soal atau kasus kontemporer.
Oleh karena itu, berikut akan diuraikan bagaimana metode istinbāṭ mufti dalam membahas persoalan Ulil Amri dan ketaatan, agar menjadi pelajaran berharga dalam berlatih berpikir sistematis ala ushuliyyin.
🕌 Metode Istinbāṭ Mufti dalam Pembahasan Ulil Amri: Antara Ta’at dan Ijtihad
1. Memulai dari Dalil Naqli (Qur’an dan Hadis)
- 
Setiap permasalahan selalu dimulai dengan dalil utama:
- 
Ayat Qur’an: QS. An-Nisa’ 59 → dasar ketaatan kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri.
 - 
Hadis sahih: contoh larangan memberontak, perintah taat selama tidak maksiat, dll.
 
 - 
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Memakai dalalah al-amr (indikasi perintah) → asalnya menunjukkan wajib.
 - 
Menunjukkan bahwa taat kepada Allah dan Rasul mutlak, sedangkan taat kepada Ulil Amri muqayyad (bersyarat).
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Jangan langsung memberi opini, tetapi mulailah dari dalil qat‘i (Qur’an & hadis sahih) sebagai fondasi.
2. Menjelaskan Perbedaan Pendapat Ulama
- 
Mufti tidak berhenti pada satu tafsir. Ia memaparkan khilaf:
- 
Imam Syafi’i: Ulil Amri = Umara.
 - 
Sebagian ulama: Ulil Amri = Ulama.
 - 
Jumhur: Ulil Amri = Pemerintah yang berkuasa nyata.
 
 - 
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Menunjukkan bahwa hukum sering punya ikhtilaf ta’wil.
 - 
Mengajarkan adab ilmiah: menampilkan berbagai pendapat sebelum memilih yang lebih rajih.
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Saat menjawab, sebutkan dulu perbedaan pendapat → lalu jelaskan dalil & alasan ulama, baru simpulkan.
3. Menetapkan Kaidah Fiqhiyyah sebagai Penuntun
- 
Setelah memaparkan dalil, mufti menguatkan dengan kaidah fiqh:
- 
حكم الحاكم يرفع الخلاف
(Keputusan pemerintah mengangkat perselisihan). - 
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
(Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam maksiat kepada Sang Pencipta). - 
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
(Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahat). 
 - 
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Menghubungkan hukum parsial dengan kaidah kulliyyah.
 - 
Menyelesaikan persoalan praktis dengan prinsip universal.
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Biasakan setelah dalil rinci → simpulkan dengan kaidah fiqh yang lebih umum agar jawaban kokoh.
4. Menggunakan Pendekatan Maqāṣid al-Syarī‘ah
- 
Mufti selalu mengaitkan keputusan dengan tujuan syariat (maqasid):
- 
Mencegah pertumpahan darah (ḥifẓ al-nafs).
 - 
Menjaga agama dari fitnah & perpecahan (ḥifẓ al-dīn).
 - 
Menjaga harta umat (zakat, tanah, perbankan) (ḥifẓ al-māl).
 - 
Menjaga kesatuan umat Islam (ḥifẓ al-‘irḍ dan ḥifẓ al-ummah).
 
 - 
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Tidak hanya berhenti pada teks literal, tapi juga melihat dampak maslahat-mafsadah.
 - 
Menunjukkan ta‘līl al-aḥkām (menemukan illat/rasio hukum).
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Jangan sekadar “apa hukumnya?”, tetapi tanyakan juga “mengapa hukumnya demikian?” → cari illat & maqasid.
5. Menggunakan Contoh Sejarah (Fiqh Tathbiqi)
- 
Mufti sering memberi contoh dari Khulafā’ Rāsyidīn:
- 
Abu Bakar (perang Riddah, pasukan Usamah).
 - 
Umar (zakat kuda, tanah Sawad).
 - 
Utsman (penyatuan mushaf, shalat di Mina).
 
 - 
 - 
Tujuannya: menunjukkan bagaimana para khalifah berijtihad dalam kasus baru.
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Memakai fi‘l al-ṣaḥābah (perbuatan sahabat) sebagai hujjah.
 - 
Menjelaskan perbedaan antara nash tauqifi (tetap) & ijtihad tanzhimi (administrasi).
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Saat menjawab soal, gunakan sejarah penerapan hukum agar lebih konkret & aplikatif.
6. Membedakan antara Nash Qath‘i dan Ijtihādiyyah
- 
Mufti menekankan:
- 
Jika pemerintah melanggar nash qath‘i (halal-haram, syirik, kufur) → wajib dibantah.
 - 
Jika hanya soal ijtihādiyyah (furu‘, teknis) → wajib taat demi kesatuan.
 
 - 
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Menentukan kategori hukum: qat‘i vs zanni.
 - 
Menentukan batas ketaatan → hanya dalam yang bukan maksiat.
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Latih diri mengklasifikasi masalah: ini nash qath‘i atau ijtihad zanni? Itu akan menentukan sikap.
7. Menerapkan Sadd adz-Dzarā’i‘ (Menutup Jalan Kerusakan)
- 
Mufti sering menolak pemberontakan bukan karena haram mutlak, tapi karena akan membawa kerusakan lebih besar (darah, huru-hara, fitnah).
 - 
Contoh: perang di Sudan → negara hancur.
 
📌 Metode Ushul Fiqh:
- 
Menggunakan konsep sadd adz-dzarā’i‘ → menutup jalan menuju mafsadah.
 
➡️ Pelajaran untuk pemula: Dalam berfatwa, jangan hanya lihat teks, tapi juga konsekuensi sosial (fiqh waqi‘).
📌 Kesimpulan Pola Metode Istinbāṭ
Metode mufti dalam memaparkan masalah:
- 
Mulai dari dalil utama (Qur’an & Sunnah).
 - 
Paparkan perbedaan pendapat ulama.
 - 
Ambil pendapat jumhur/rajih dengan alasan.
 - 
Kuatkan dengan kaidah fiqhiyyah.
 - 
Pertimbangkan maqasid syariah & maslahat-mafsadah.
 - 
Berikan contoh historis (Khulafā’ Rāsyidīn).
 - 
Bedakan antara perkara qath‘i & ijtihādiyyah.
 - 
Gunakan prinsip sadd adz-dzarā’i‘ untuk mencegah kerusakan.
 
🎯 Manfaat untuk Pelajar Ushul Fiqh
- 
Metode ini bisa dijadikan kerangka menjawab soal:
- 
Langkah 1: Sebut dalil Qur’an/Hadits.
 - 
Langkah 2: Paparkan pendapat ulama.
 - 
Langkah 3: Tarik kaidah fiqh.
 - 
Langkah 4: Kaitkan dengan maqasid.
 - 
Langkah 5: Beri contoh sejarah atau kontemporer.
 - 
Langkah 6: Simpulkan dengan batasan (syarat & konsekuensi).
 
 - 
 
🔎 Analisis Poin Langkah 6: Simpulan dengan Batasan (Syarat & Konsekuensi)
1️⃣ Mengapa Simpulan Perlu Batasan?
Dalam ilmu ushul fiqh, hukum syar‘i tidak cukup sekadar dinyatakan “wajib”, “haram”, “mubah” atau lainnya. Ia harus diikat dengan syarat (kapan berlaku) dan konsekuensi (apa akibatnya). Tanpa batasan ini, hukum akan:
- 
Tampak mutlak padahal ia bersifat muqayyad (terikat kondisi).
 - 
Berpotensi disalahgunakan oleh pihak tertentu, misalnya pemerintah yang ingin menuntut ketaatan mutlak tanpa ruang kritik, atau oposisi yang merasa bebas menggulingkan pemerintah atas nama amar ma‘ruf.
 
Contoh:
- 
Taat kepada pemerintah → betul, ada dalilnya (QS. an-Nisā’ 59).
 - 
Tapi batasannya: selama bukan maksiat. Jika maksiat, maka konsekuensinya: “lā ṭā‘ata li makhlūq fī ma‘ṣiyat al-Khāliq” (tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta, HR. Bukhari & Muslim).
 
2️⃣ Fungsi Batasan dalam Ushul Fiqh
- 
Menjaga keseimbangan dalil (tawfīq al-adillah): Dalil perintah taat (QS. an-Nisā’:59) diselaraskan dengan dalil larangan maksiat (HR. Bukhari-Muslim).
 - 
Membedakan qath‘ī vs ijtihādī: Hukum ketaatan kepada pemerintah adalah qath‘ī, tapi bentuk kritik terhadap kebijakan adalah ijtihādī → di sini harus ada syarat & konsekuensi supaya tidak tercampur.
 - 
Mencegah ifrāṭ-tafrīṭ (ekstrem kanan & kiri):
- 
Tanpa batasan → lahir doktrin taat mutlak (absolutisme politik).
 - 
Tanpa konsekuensi → lahir doktrin pemberontakan bebas (anarkisme).
 
 - 
 
3️⃣ Peran Sadd adz-Dzarā’i‘
Langkah ini juga terkait dengan prinsip سدّ الذرائع (menutup jalan menuju kerusakan).
- 
Jika simpulan hukum tidak diberi syarat → orang salah faham, lalu jalan menuju kerusakan terbuka.
 - 
Misalnya: “Mengkritik pemerintah boleh” → tanpa syarat, akan jadi fitnah, penghinaan, bahkan khurūj (pemberontakan).
 - 
Maka perlu ditambah: boleh mengkritik dengan adab, dalil, niat islah, tanpa menimbulkan fitnah & huru-hara.
 
4️⃣ Nilai Didaktis bagi Pelajar Ushul Fiqh
Bagi pemula, langkah 6 ini sangat penting karena:
- 
Melatih ketelitian: Tidak semua hukum berlaku sepanjang masa tanpa pengecualian.
 - 
Membiasakan berpikir bersyarat: Sama seperti fiqh ibadah (misalnya sah shalat bersyarat wudhu, qiblat, waktu) → fiqh siyasah juga bersyarat.
 - 
Membentuk sikap wasathiyah (moderasi): Tidak cenderung tunduk membuta, tidak pula suka memberontak.
 
5️⃣ Contoh Aplikasi
- 
Taat: Wajib taat kepada pemerintah muslim yang menegakkan shalat (HR. Muslim), syaratnya selama tidak memerintah maksiat. Konsekuensinya bila maksiat → tidak ditaati, tapi tetap tidak boleh keluar dari ketaatan umum.
 - 
Mengkritik: Boleh menyampaikan teguran kepada penguasa (HR. Abu Dawud, “sebaik-baik jihad adalah kalimat yang benar di hadapan penguasa zalim”), syaratnya dengan hikmah & adab. Konsekuensinya: bila kritik mengarah pada fitnah & huru-hara → jatuh haram.
 
📌 Kesimpulan Analisis
Langkah 6 adalah penjaga terakhir dalam metode istinbāṭ. Tanpa “simpulan dengan batasan”, hukum menjadi liar dan bisa dipakai untuk kepentingan ekstrem: absolutisme politik atau anarkisme.
➡ Karena itu, dalam setiap istinbāṭ, ulama ushul fiqh wajib menutup dengan syarat & konsekuensi, agar umat punya panduan jelas tentang: kapan hukum berlaku, sejauh mana batasnya, dan apa akibat jika syarat dilanggar.