Di negara demokratis seperti Malaysia dan Indonesia, yang warganya datang dari beragam agama, isu kepemimpinan non-Muslim selalu jadi perbincangan hangat. Al-Qur’an memang melarang umat Islam menjadikan orang kafir sebagai awliyāʼ—pelindung dan penentu arah hidup. Tapi, menariknya, sejarah Islam awal justru mencatat hal berbeda: Khalifah Umar bin al-Khattab pernah mempercayakan seorang Nasrani sebagai sekretaris keuangan, dan di zaman Umayyah maupun Abbasiyah banyak non-Muslim ikut serta dalam jabatan teknis-administratif tanpa bersentuhan dengan urusan syariat. Fakta ini seolah mengingatkan kita: larangan tersebut bukanlah mutlak, melainkan kontekstual. Jadi, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah—dalam sistem demokrasi modern, sanggupkah umat Islam membedakan antara kepemimpinan inti yang memang wajib Muslim dengan jabatan publik teknis yang bisa dipegang non-Muslim demi kemaslahatan bangsa yang majemuk?
Dalam konteks negara Muslim demokratis seperti Malaysia dan Indonesia, di mana sistem politik berjalan secara terbuka dan masyarakatnya majemuk dalam agama, isu kepemimpinan non-Muslim menjadi sangat relevan untuk dibahas. Al-Qur’an memang mengingatkan agar kaum Muslim tidak menjadikan orang kafir sebagai awliyāʼ (pelindung dan penentu arah hidup). Namun, apakah larangan itu berlaku mutlak terhadap semua non-Muslim, atau hanya ditujukan pada mereka yang jelas memusuhi Islam? Pertanyaan ini semakin menantang ketika demokrasi memberi hak politik setara bagi semua warga negara.
Menariknya, sejarah Islam awal memberi contoh: pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, seorang Nasrani pernah dipercaya sebagai sekretaris keuangan (kātib al-kharāj) karena kepakarannya dalam administrasi. Pada era Umayyah dan Abbasiyah awal, pejabat non-Muslim juga ditemukan dalam posisi teknis, terutama dalam bidang keuangan, diplomasi, dan penerjemahan. Fakta ini menyingkap satu hal penting: sejak generasi awal, umat Islam sudah membedakan antara kepemimpinan inti yang menyangkut dasar-dasar agama dan negara (yang hanya untuk Muslim) dengan jabatan teknis-administratif yang bisa dipegang non-Muslim demi kemaslahatan. Maka, apakah wajar jika hari ini kita kembali menimbang ulang larangan itu dalam bingkai teks suci dan realitas demokrasi modern?
RANGKUMAN
    Konteks: Penjelasan hukum mengenai melantik non-Muslim menjadi
    pemimpin atau wakil rakyat dalam sistem demokrasi, khususnya menyambut
    suasana pemilihan umum.
    Bagian 1: Pendahuluan dan Metodologi Penetapan Hukum
- 
      Kontekstualisasi Masalah: Konteks pertanyaan, yaitu dalam sistem demokrasi berparlemen seperti di
      Malaysia, di mana dalam pemilihan umum (pilihan raya), calon yang berlomba
      tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga non-Muslim. Hal ini
      menimbulkan pertanyaan tentang hukum melantik pemimpin dari kalangan
      non-Muslim.
 - 
      Prinsip Dasar (Qaidah Ushuliyyah): Shahibus Samahah Mufti menekankan
      pentingnya memahami prinsip dasar sebelum menjawab:
 - 
        Dalam Muamalah (Interaksi Sosial): Al-Ashlu fil asy-ya' al-ibahah (الأصل في الأشياء الإباحة) - Hukum asal segala sesuatu adalah boleh,
        sampai ada dalil yang melarangnya. Ini berlaku untuk urusan duniawi
        seperti politik, ekonomi, dan administrasi.
 - 
        Dalam Ibadah: Al-Ashlu fil 'ibadah at-tahrim (الأصل في العبادة التحريم) - Hukum asal dalam ibadah adalah haram, sampai
        ada dalil yang memerintahkannya. Kita tidak boleh membuat-buat ibadah
        baru.
 - 
      Pendekatan Berdalil: Untuk melarang sesuatu dalam
      muamalah, wajib mendatangkan dalil yang jelas dan
      spesifik. Pertanyaannya adalah: "Apa dalil spesifik yang melarang melantik
      non-Muslim menjadi wakil rakyat atau pemimpin dalam konteks sistem
      modern?"
 - 
      Konsistensi Hukum: Hukum harus konsisten. Jika melarang A
      karena alasan X, maka segala sesuatu yang memiliki alasan X yang sama juga
      harus terkena hukum yang sama. Misalnya, jika melarang memilih ketua
      non-Muslim dalam politik, maka konsekuensinya harus konsisten untuk
      melarang bekerja di bawah pimpinan non-Muslim di kantor, atau memiliki
      guru besar non-Muslim di sekolah.
 
    Bagian 2: Analisis Dalil Larangan (Ayat-Ayat Al-Wala')
- 
      Dalil-Dalil yang Dijadikan Rujukan: Shahibus Samahah Mufti mengakui bahwa
      banyak ulama klasik melarang berdasarkan sejumlah ayat Al-Qur'an yang
      memerintahkan untuk tidak mengambil orang kafir
      sebagai Auliya' (أولياء).
 - Kutipan Ayat-Ayat Terkait:
 - 
        QS. Ali 'Imran: 28: > لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
            الْمُؤْمِنِينَ "Janganlah orang-orang
          mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi Auliya'
          (pelindung/penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin."
 - 
        QS. Al-Maidah: 51: > يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
            وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ "Hai orang-orang yang
          beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
          menjadi Auliya'."
 - 
        QS. Al-Mumtahanah: 1: > يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي
            وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ "Hai orang-orang yang
          beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
          Auliya'."
 - 
      Konsekuensi Pelanggaran: Ayat-ayat ini juga menyertakan
      ancaman yang berat bagi yang melanggarnya, seperti "barangsiapa yang
      berbuat demikian, niscaya tidak ada lagi baginya pertolongan dari Allah"
      dan "maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka."
 
    Bagian 3: Tafsir Kontekstual atas Konsep Al-Wala' (Loyalitas)
- 
      Pembatasan Makna Auliya': Kunci pemahaman Shahibus Samahah Mufti terletak
      pada penafsiran kata Auliya'. Beliau menjelaskan bahwa
      larangan ini bukanlah larangan mutlak untuk berinteraksi atau bekerja sama
      dengan non-Muslim.
 - 
      Penjelasan QS. Al-Mumtahanah: 8-9: Shahibus Samahah merujuk pada ayat
      lain dalam Surah Al-Mumtahanah yang memberikan pengecualian dan penjelasan
      kontekstual:
 
    لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
        وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
        إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ
        اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ
        دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ
        يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
- 
        Terjemahan: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
          terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan
          tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
          mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
          melarang kamu menjadikan sebagai Auliya' orang-orang yang memerangi
          kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan
          membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan
          mereka sebagai Auliya', maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
 - 
      Kesimpulan Tafsir: Dari ayat ini, larangan
      mengambil Auliya' secara spesifik ditujukan
      kepada non-Muslim yang memusuhi, memerangi, dan mengusir kaum Muslimin. Adapun non-Muslim yang damai, tidak memusuhi, dan tidak memerangi (alladzina lam yuqatilukum fid-din), maka Allah tidak melarang untuk berbuat baik, berlaku adil, dan bahkan
      bekerja sama dengan mereka.
 - 
      Analog Praktis: Pernikahan dengan Ahlul Kitab: Shahibus Samahah Mufti memberikan contoh nyata yang sudah disepakati kebolehannya: seorang Muslim
      laki-laki dihalalkan menikahi wanita Ahli Kitab (Yahudi
      atau Nasrani) yang tetap dalam agamanya. Jika larangan bermakna mutlak,
      tentu pernikahan ini tidak akan diizinkan karena melibatkan ikatan cinta
      dan loyalitas yang sangat kuat. Fakta bahwa hal ini dibolehkan menguatkan
      bahwa larangan dalam ayat-ayat sebelumnya adalah kontekstual, bukan
      mutlak.
 
    Bagian 4: Penerapan dalam Konteks Kenegaraan Modern
- 
      Beda Konteks Kekuasaan: Shahibus Samahah menekankan perbedaan
      mendasar antara struktur kekuasaan di zaman Nabi/klasik dan zaman
      modern.
 - 
        Zaman Dahulu: Penguasa (Khalifah/Sultan) memiliki kekuasaan
        yang sangat absolut dan sentralistik.
 - 
        Zaman Modern: Kekuasaan terbagi, terbatas, dan terikat oleh
        konstitusi (perlembagaan). Seorang pemimpin, baik Muslim maupun
        non-Muslim, tidak bisa bertindak sewenang-wenang karena dibatasi oleh
        undang-undang, parlemen, dan lembaga yudikatif.
 - 
      Struktur Berlapis dan Pengawasan: Dalam sistem modern, seorang
      pejabat non-Muslim (misalnya, Menteri Pekerjaan Umum, Guru Besar sekolah)
      tidak memegang kendali penuh atas kebijakan fundamental negara. Dia hanya
      menjalankan tugas di bidang teknis tertentu dan masih berada di bawah
      pengawasan hierarki yang lebih tinggi (seperti Perdana Menteri Muslim,
      Konstitusi, Kementerian) yang menjamin bahwa dasar negara tetap
      dijalankan.
 - 
      Prinsip Kemaslahatan dan Kompetensi: Pelantikan didasarkan
      pada kompetensi dan tidak mengancam kepentingan umat Islam. Memilih
      seorang non-Muslim yang kompeten dan bersikap adil untuk mengurus jalan
      raya atau matematika di sekolah dianggap lebih maslahat daripada memilih
      seorang Muslim yang tidak kompeten.
 - 
      Pengecualian Mutlak untuk Posisi Tertentu: Shahibus Samahah Mufti dengan
      tegas menyatakan bahwa untuk posisi puncak yang menentukan dasar dan haluan negara (seperti Perdana Menteri, Kepala Negara), pelantikan
      non-Muslim tidak dibolehkan. Alasannya jelas: bagaimana
      mungkin seseorang yang tidak meyakini agama Islam dapat dipercaya untuk
      memimpin, menjaga, dan melaksanakan dasar negara yang berlandaskan Islam?
      Untuk posisi ini, keimanan adalah prasyarat.
 
    
RINGKASAN KESIMPULAN
    Shahibus Samahah Mufti menyimpulkan bahwa hukum melantik non-Muslim bukanlah
    hitam putih (bukan mutlak tak boleh, juga bukan mutlak mesti).
    Hukumnya bersifat kondisional dan kontekstual, dengan merujuk pada
    prinsip-prinsip berikut:
- 
      Prinsip Dasar: Hukum asal dalam muamalah adalah boleh sampai
      ada dalil yang melarang.
 - 
      Konteks Larangan: Larangan dalam Al-Qur'an
      tentang Auliya' khusus ditujukan kepada non-Muslim yang
      memusuhi dan memerangi Islam.
 - 
      Pertimbangan Realitas: Struktur pemerintahan modern yang
      terbatas dan berlapis memungkinkan kerja sama dengan non-Muslim yang damai
      dalam posisi-posisi tertentu.
 - Kriteria Pelantikan:
 - 
        BOLEH: Untuk posisi teknis, administratif, dan pelaksana
        (wakil rakyat, menteri teknis, guru besar, manajer) asalkan: 
(a) Mereka tidak memusuhi Islam;
(b) Mereka kompeten;
(c) Posisinya tidak mengancam kepentingan dan agama umat Islam;
(d) Ada pengawasan dari otoritas yang lebih tinggi yang menjunjung dasar negara. - 
        TIDAK BOLEH: Untuk posisi puncak yang menentukan haluan dan
        dasar negara (seperti Kepala Negara/Pemerintahan), karena memerlukan
        komitmen pada agama negara.
 - 
      Tujuan Akhir: Segala keputusan harus ditujukan untuk
      mencapai kemaslahatan (kebaikan bersama) dan
      menghindari mafsadat (kerusakan), dengan tetap menjaga
      prinsip-prinsip agama.
 
🔎 Analisis Akademik atas Referensi
1. Masa Khalifah Umar bin al-Khattab r.a.
Dalam literatur klasik seperti Kitāb al-Kharāj karya Abu Yusuf (w. 798 M) dan Futūḥ al-Buldān karya al-Balādzurī (w. 892 M), memang disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab r.a. menggunakan tenaga non-Muslim, khususnya seorang Nasrani dari Hirah (Irak), dalam pengelolaan administrasi pajak (al-kharāj). Fakta ini menunjukkan dua hal penting:
- 
Pragmatisme Administratif: Umar tidak mengikat semua jabatan administratif pada syarat keislaman, melainkan pada keahlian. Pajak tanah dan pertanian di wilayah taklukan memerlukan catatan yang teliti, dan orang-orang Nasrani Hirah memang sudah berpengalaman dalam urusan fiskal sejak era Bizantium dan Sasanian.
 - 
Batasan Syariat: Jabatan tersebut bersifat teknis, tidak terkait langsung dengan pengambilan keputusan syariat atau kepemimpinan umat. Ini menunjukkan adanya distingsi jelas antara wilāyah diniyyah (otoritas agama) dan wilāyah dunyawiyyah (administrasi duniawi).
 
2. Masa Bani Umayyah dan Abbasiyah Awal
Dalam era setelah Sahabat, sumber-sumber sejarah seperti Tārīkh al-Ṭabarī dan penelitian modern (misalnya Hugh Kennedy, Ira Lapidus) mencatat banyak pejabat non-Muslim yang berperan dalam:
- 
Administrasi dan Diplomasi: Non-Muslim, khususnya Kristen dari Syam dan Yahudi di Irak, dipercaya menjadi sekretaris, bendahara, atau diplomat.
 - 
Penerjemahan Ilmu: Di era Abbasiyah awal, gerakan penerjemahan besar-besaran (abad ke-8–9 M) dikerjakan oleh ilmuwan Kristen Nestorian, Yahudi, dan bahkan Majusi, terutama dalam bidang kedokteran, filsafat, dan ilmu alam.
 - 
Faktor Keterampilan: Keterlibatan mereka tidak karena politik kekuasaan, tetapi karena kompetensi. Mereka memiliki tradisi literasi dan teknis yang kuat, sehingga menjadi aset penting bagi peradaban Islam.
 
3. Kredibilitas Referensi
- 
Al-Balādzurī (Futūḥ al-Buldān): salah satu sumber utama sejarah futūḥ (penaklukan Islam), diakui keandalannya dalam mencatat detail administrasi.
 - 
Abu Yusuf (Kitāb al-Kharāj): ditulis atas permintaan Khalifah Hārūn al-Rashīd, berisi pedoman perpajakan Islam, termasuk contoh historis dari masa Umar.
 - 
Al-Ṭabarī (Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk): salah satu kronik sejarah paling lengkap, banyak dijadikan rujukan akademik modern.
 - 
Kajian Modern (Kennedy, Lapidus, Lewis): memperkuat bukti bahwa non-Muslim bukan hanya “tolerated subjects” (ahlu dhimmah), tetapi juga kontributor penting dalam administrasi dan ilmu pengetahuan.
 
4. Implikasi Akademik
- 
Distingsi Kepemimpinan: Sejak awal, umat Islam membedakan antara kepemimpinan inti yang menyangkut aqidah, syariat, dan dasar negara—yang hanya untuk Muslim—dengan jabatan teknis-administratif yang boleh dipegang non-Muslim.
 - 
Preseden Historis: Fakta sejarah ini dapat dijadikan precedent bahwa pelibatan non-Muslim dalam jabatan publik bukan bid‘ah modern, melainkan bagian dari tradisi administratif Islam sejak generasi awal.
 - 
Relevansi Kontemporer: Dalam konteks negara Muslim demokratis (seperti Malaysia dan Indonesia), pelibatan non-Muslim dalam jabatan teknis bisa dilihat sebagai kelanjutan dari praktik klasik yang sudah ada, dengan tetap menegaskan bahwa posisi puncak yang menentukan dasar syariat tetap harus Muslim.
 
📖 Analisis Lengkap Metode Istinbāṭ Mufti
Tema: Melantik Non-Muslim Menjadi Pemimpin atau Wakil Rakyat dalam Sistem Demokrasi
1️⃣ Menentukan Kaidah Asal (Al-Aṣl)
- 
Dalam ibadah, kaidah asal:
الأصل في العبادات الحظر إلا ما دل الدليل على مشروعيته
“Asal dalam ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang membolehkannya.” - 
Dalam mu‘āmalāt & siyasah (urusan masyarakat/politik), kaidah asal:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Asal segala sesuatu adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya.” 
📌 Faedah Ushuliyyah:
Pelajar harus tahu perbedaan kaidah asal: ibadah = tidak boleh kecuali ada dalil, mu‘āmalah = boleh kecuali ada larangan. Ini pondasi untuk menghindari sikap mengharamkan tanpa hujjah.
2️⃣ Menghadirkan Dalil Qur’an yang Melarang
- 
QS. Āli ‘Imrān: 28
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai awliyā’ selain orang-orang beriman.” - 
QS. al-Mā’idah: 51
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliyā’...” - 
QS. al-Mumtahanah: 8–9
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ... أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian...” 
📌 Faedah Ushuliyyah:
Pelajar belajar pentingnya jam‘ al-adillah (mengumpulkan semua dalil). Jangan hanya ambil satu ayat, tapi lihat keseluruhan teks yang saling menjelaskan.
3️⃣ Taḥqīq al-Manāṭ (Menentukan Makna Lafazh Awliyā’)
- 
Kata “awliyā’” tidak selalu bermakna “pemimpin politik”.
 - 
Makna aslinya: pelindung, sekutu dekat, penjaga yang loyal penuh.
 - 
Larangan diarahkan pada non-Muslim yang memusuhi Islam (kāfir muḥārib), bukan semua non-Muslim.
 
📌 Faedah Ushuliyyah:
Pelajar belajar pentingnya bahasa dan konteks. Istilah Qur’an/Hadits tidak boleh diterjemahkan sempit, tapi harus difahami dalam lingkup penggunaannya.
4️⃣ Menggunakan Qiyās dengan Realitas Kontemporer
- 
Mufti beri contoh analogi:
- 
Kepala sekolah non-Muslim → boleh selama terikat aturan.
 - 
Ketua jabatan non-Muslim → boleh, karena hanya pelaksana dasar.
 
 - 
 - 
Maka wakil rakyat non-Muslim → boleh, jika peranannya administratif/teknis, bukan pembuat dasar syariah.
 
📌 Faedah Ushuliyyah:
Pelajar belajar bagaimana qiyās bekerja: mencari kasus serupa (manāṭ) di masa kini yang sejalan dengan prinsip syariat.
5️⃣ Menimbang Maqāṣid dan Maslahat-Mafsadah
- 
Non-Muslim boleh dilantik untuk maslahat (urusan pembangunan, ekonomi, pendidikan umum).
 - 
Tidak boleh jika menyentuh asas agama dan maqāṣid hifẓ ad-dīn (menjaga agama).
 
📌 Faedah Ushuliyyah:
Pelajar belajar peranan maqāṣid syarī‘ah: hukum tidak kaku, tapi mempertimbangkan kemaslahatan besar dan kerusakan yang mungkin terjadi.
6️⃣ Mengikat dengan Syarat & Konsekuensi
- 
Kesimpulan mufti:
- 
Bukan mutlak haram melantik non-Muslim.
 - 
Bukan mutlak halal juga.
 - 
Hukum tergantung: apakah mengancam agama, posisi strategis, dan maslahat umat.
 
 - 
 - 
Kaidah Sadd adz-Dzarā’i‘: jika membuka pintu kerusakan → ditutup.
 
📌 Faedah Ushuliyyah:
Pelajar belajar bahwa setiap hukum ada batasan (takyīd). Tidak boleh umumkan hukum mutlak tanpa syarat, agar tidak disalahgunakan oleh fanatik atau pihak ekstrem.
🏛️ Contoh Historis dari Khulafā’ Rāsyidīn
- 
Umar bin al-Khaṭṭāb pernah melantik non-Muslim sebagai pegawai teknis (ahli dalam bidang administrasi). Namun beliau tidak menyerahkan kepemimpinan strategis atau urusan agama.
👉 Pelajaran: jabatan administratif yang berbasis keahlian boleh diisi non-Muslim, tapi urusan dasar agama & siyasah syar‘iyyah tetap di tangan Muslim. - 
Ali bin Abi Ṭālib bermu‘āmalah dengan orang Yahudi (termasuk kasus baju besi yang dipinjamkan). Ini menunjukkan keterlibatan non-Muslim dalam aspek sosial & hukum bisa diterima dengan batasan.
 - 
Nabi SAW sendiri ketika hijrah ke Madinah, pernah menyewa Abdullah bin Uraiqith (seorang musyrik) sebagai penunjuk jalan.
👉 Pelajaran: boleh mengambil manfaat dari kompetensi non-Muslim dalam urusan teknis, selama amanah dan tidak mengancam agama. 
🎯 Kesimpulan untuk Pelajar Ushul Fiqh
Metode istinbāṭ mufti ini mengajarkan:
- 
Bedakan hukum asal ibadah & mu‘āmalah.
 - 
Kumpulkan dalil lengkap, jangan parsial.
 - 
Teliti makna istilah syar‘i.
 - 
Gunakan qiyās untuk realitas kontemporer.
 - 
Timbang maqāṣid & maslahat.
 - 
Simpulkan dengan syarat & konsekuensi.
 - 
Lihat teladan historis dari Khulafā’ Rāsyidīn & Nabi SAW.
 
👉 Dengan pola ini, pelajar pemula memahami bahwa hukum Islam itu ilmiah, adil, dan kontekstual, bukan sekadar hitam-putih.
⚖️ Dua Kutub Ekstrem dalam Isu Ini
1️⃣ Kutub Ekstrem Mengharamkan Secara Mutlak
- 
Mereka membaca ayat QS. al-Mā’idah: 51 dan sejenisnya secara tekstual mutlak, tanpa melihat ayat lain yang memberi pengecualian (seperti QS. al-Mumtahanah: 8–9).
 - 
Semua non-Muslim dianggap awliyā’ yang dilarang, tanpa membedakan apakah mereka memusuhi Islam (kāfir muḥārib) atau hidup damai (kāfir ghayru muḥārib).
 - 
Konsekuensi:
- 
Menolak total keberadaan non-Muslim dalam posisi kepemimpinan administratif.
 - 
Bisa memicu ketegangan sosial dalam negara multietnik seperti Malaysia.
 - 
Secara ushul, ini termasuk ta‘ammum fi al-‘ām (menganggap teks umum berlaku mutlak tanpa takhsis).
 
 - 
 
📌 Masalah: Pendekatan ini mengabaikan jam‘ al-adillah (menghimpun dalil) dan maqāṣid syarī‘ah.
2️⃣ Kutub Ekstrem Membolehkan Secara Mutlak
- 
Mereka berpegang pada prinsip demokrasi modern dan toleransi, lalu menyatakan: “Tidak ada masalah sama sekali melantik non-Muslim di semua bidang, termasuk yang menyentuh dasar Islam.”
 - 
Tidak menimbang perbedaan antara jabatan teknis dengan jabatan strategis syar‘i.
 - 
Konsekuensi:
- 
Bisa melahirkan kelalaian terhadap maqāṣid hifẓ ad-dīn (penjagaan agama).
 - 
Membuka peluang kerosakan akidah & hukum syar‘i jika dasar agama dipengaruhi kelompok yang tidak beriman padanya.
 
 - 
 
📌 Masalah: Pendekatan ini mengabaikan prinsip sadd adz-dzarā’i‘ (menutup jalan kerusakan) dan kaidah dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah (menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan).
🏛️ Posisi Moderat (I‘tidāl) ala Mufti
Metode mufti yang dianalisis tadi justru berada di tengah:
- 
Tidak mengharamkan mutlak (seperti kelompok keras).
 - 
Tidak menghalalkan mutlak (seperti kelompok liberal).
 - 
Tetapi:
- 
Membolehkan dalam ruang teknis-administratif dengan syarat maslahat.
 - 
Melarang jika menyentuh asas agama & maqāṣid syarī‘ah.
 
 - 
 
📌 Inilah contoh manhaj wasathiyyah (jalan tengah) dalam fiqh siyasah, selaras dengan firman Allah:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan...” (QS. al-Baqarah: 143)
🎯 Pelajaran untuk Pelajar Ushul Fiqh
- 
Ekstrem kanan → salah karena tidak memahami takhsis al-‘ām (pembatasan teks umum).
 - 
Ekstrem kiri → salah karena tidak memahami sadd adz-dzarā’i‘ & maqāṣid hifẓ ad-dīn.
 - 
Posisi moderate mu‘tadil → menimbang semua dalil, maqāṣid, dan realitas sosial.
 
👉 Dari sini, pelajar belajar bahwa ekstremisme lahir dari pemahaman ushul yang cacat:
- 
Entah terlalu tekstual tanpa konteks.
 - 
Atau terlalu rasional tanpa batas nash.