📚 PENGANTAR
Dalam tradisi keilmuan Islam, perbedaan pendapat bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru bukti kedalaman metodologi para ulama. Kitab Raf‘u al-Malām ‘an al-A’immati al-A‘lām karya Ibn Taymiyyah, yang dikupas dalam kuliah ini, membuka mata kita bahwa ijtihad para imam tidak lahir dari hawa nafsu, melainkan dari kerja keras menimbang sanad, menelaah matan, dan menimbang hujjah yang terkadang menghasilkan kesimpulan berbeda. Perbedaan dalam menilai sebuah hadis—apakah shahih, hasan, atau dha‘if—membawa konsekuensi nyata dalam hukum fikih, mulai dari masalah kesucian air hingga cara kita mengangkat tangan dalam salat. Dengan memahami proses ilmiah di baliknya, kita belajar bahwa khilaf bukanlah jurang, melainkan ruang untuk berpikir lebih dalam dan lebih dewasa.
Namun, di sinilah letak provokasinya: jika para imam yang hafal ribuan
hadis, pakar bahasa, dan ahli usul fiqh saja tetap berbeda pendapat,
beranikah kita—yang bahkan belum khatam satu kitab hadis—menghukum mereka
dengan kata-kata “salah” atau “sesat”? Justru, kuliah ini menantang kita
untuk menanggalkan fanatisme buta dan menggantinya dengan adab ilmu.
Alih-alih menjadikan perbedaan sebagai bahan ejekan atau celaan, seharusnya
kita menjadikannya sebagai latihan intelektual—belajar menimbang dalil,
menghargai proses ijtihad, dan memilih yang rajih dengan hati yang lapang.
Inilah pendidikan akal sekaligus tarbiyah adab yang ingin diwariskan para
ulama.
📚 Rangkuman Lengkap
Kitab:
Raf‘u al-Malām ‘an al-A’immati al-A‘lām
— Ibn Taymiyyah
Penyampai: S.S. Dato’ Dr.
MAZA
Siri: 3 (Siri terakhir dari
tiga siri pengajian)
Topik utama: Membahas
sebab ke-3 kenapa para imam
mujtahid bisa berbeda pendapat walaupun sama-sama mencari kebenaran.
🕌 I. Pendahuluan
1. Salam & doa pembuka
-
Tahmid (pujian kepada Allah), isti‘ādzah (memohon perlindungan dari keburukan diri & amal).
-
Mengingatkan hadirin akan musafir beliau setelah majlis ini.
2. Latar belakang kuliah
-
Kitab ini adalah karya Ibn Taymiyyah untuk mengangkat cercaan terhadap para imam besar (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, Ahmad, dll.).
-
Pesan utama: Jangan menyangka perbedaan mazhab lahir dari kebodohan atau keinginan menyelisihi sunnah, tetapi ada alasan ilmiah.
3. Kerangka kitab
-
Ada 3 sebab utama ulama berbeda (keuzuran ilmiah), dirinci menjadi 10 sebab.
-
Siri 1 & 2: Telah dibahas 2 sebab.
-
Siri 3: Memasuki sebab ke-3.
📖 II. Struktur Sebab ke-3: Perbedaan Penilaian Terhadap Hadis
1. Definisi
Sebab ke-3: Seorang imam menolak atau tidak mengamalkan hadis tertentu karena:
-
Ia menilai hadis itu dha‘if berdasarkan ijtihadnya.
-
Ijtihadnya tidak disetujui mujtahid lain yang punya sanad atau informasi berbeda.
-
Ia tidak melihat jalur sanad lain yang mungkin menguatkan hadis tersebut.
2. Dasar syar‘i
-
Hadis Nabi ﷺ (riwayat Muslim):
"إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ"
"Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, ia mendapat dua pahala; jika salah, ia mendapat satu pahala."
-
Syarat: Ijtihad hanya sah jika dilakukan oleh ahlinya (mujtahid dalam bidang tersebut).
3. Analogi
-
Orang awam mencoba menilai masalah ilmiah di luar keahliannya (contoh: menghubungkan jantung manusia dengan “jantung pisang”) → tidak disebut ijtihad.
🧪 III. Contoh-Contoh Perbedaan Penilaian Hadis
Berikut contoh real yang dibahas, masing-masing disertai penjelasan sanad, matan, dan dampak fiqh.
📍 1. Hadis Dua Qullah (Kesucian Air)
-
Matan: Air ≥ dua qullah tidak najis kecuali berubah sifat.
-
Perselisihan:
-
Pendukung: Imam Syafi‘i, Ibn Taymiyyah (cenderung terima).
-
Penolak: Ibn Qayyim (kritik panjang).
-
-
Kritik Ibn Qayyim:
-
Ukuran “qullah” tidak jelas, bahkan penduduk Madinah tidak mengetahuinya.
-
Hanya diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Ibn Umar → murid-murid utama lain tidak meriwayatkan.
-
-
Implikasi fiqh:
-
Mazhab Syafi‘i: Air < dua qullah otomatis tidak sah untuk wudhu jika kena najis, meski tidak berubah sifat.
-
Mazhab Maliki, Hanbali: Selagi tidak berubah warna, bau, rasa → tetap suci.
-
📍 2. Air Bekas Jilatan Kucing
-
Hadis: Kucing adalah hewan suci, air bekas jilatan tidak najis (kecuali terbukti najis).
-
Perselisihan:
-
Syafi‘i: Jika air < dua qullah dan mulut kucing najis (misal baru makan bangkai) → air jadi najis.
-
Maliki: Suci selama tidak berubah sifat.
-
📍 3. Imam Salat Duduk
-
Hadis larangan: “Jangan seorang imam salat duduk dan makmum berdiri” — perawi utama Jabir al-Ju‘fi (dinilai bermasalah → Syiah ghuluw).
-
Hadis praktik Nabi ﷺ:
-
Nabi pernah jatuh kuda → salat duduk, makmum ikut duduk (riwayat sahih Bukhari).
-
-
Akhir hayat Nabi ﷺ:
-
Nabi duduk, Abu Bakar berdiri sebagai makmum, jamaah ikut Abu Bakar berdiri.
-
-
Perbedaan mazhab:
-
Hanafi: Makmum duduk jika imam duduk.
-
Jumhur: Perincian — jika imam dari awal duduk → makmum duduk; jika duduk di tengah salat → makmum tetap berdiri.
-
📍 4. Angkat Tangan (Raf‘ al-Yadayn)
-
Riwayat mayoritas: Ibn Umar & ≥50 sahabat meriwayatkan Nabi angkat tangan di awal, rukuk, dan bangun dari rukuk.
-
Riwayat minoritas: Ibn Mas‘ud (melalui Sufyan al-Thawri) → hanya awal.
-
Perbedaan:
-
Hanafi: Ikut riwayat Ibn Mas‘ud.
-
Jumhur: Ikut riwayat mayoritas → tiga kali angkat tangan.
-
-
Analisis hadis:
-
Ulama hadis menilai riwayat minoritas sebagai wahm (kekeliruan) karena bertentangan dengan jalur sahih yang lebih banyak.
-
📍 5. Mengucap Amin
-
Riwayat Syu‘bah: Nabi ﷺ mengucap amin dengan suara rendah.
-
Kritik ulama hadis:
-
Kesalahan redaksi: Harusnya “memanjangkan” suara, bukan “merendahkan”.
-
-
Perbedaan:
-
Hanafi: Amin lirih.
-
Jumhur: Amin keras dan panjang.
-
📍 6. Bismillah Jahar atau Sirr
-
Mayoritas murid Anas bin Malik: Nabi mulai dengan Alhamdulillah (Bismillah dibaca sirr).
-
Riwayat Humaid al-Tawil: Nabi mulai dengan Bismillah.
-
Analisis:
-
Kaidah hadis: Riwayat mayoritas lebih kuat.
-
-
Perbedaan mazhab:
-
Syafi‘i: Jahar (berdasar dalil lain & tarjih).
-
Lainnya: Sirr.
-
🎯 IV. Pelajaran Penting
-
Perbedaan ijtihad tidak berarti permusuhan.
-
Sanad & matan sama pentingnya dalam menilai hadis.
-
Kritik hadis bisa membuat hukum fiqh berbeda total.
-
Mayoritas jalur biasanya lebih diutamakan.
-
Ahli hadis lebih berwenang dalam menilai kekuatan riwayat.
🏁 V. Kesimpulan
-
Ibn Taymiyyah bukan menghina imam mazhab, tetapi membela dan memaafkan perbedaan mereka.
-
Kitab ini melatih cara berpikir kritis, argumentatif, berbasis dalil.
-
Penuntut ilmu perlu:
-
Mengetahui hujah kedua pihak.
-
Mengambil yang lebih kuat.
-
Tetap menghormati perbedaan.
-
Kalau di tengah perdebatan “dua qullah, bismillah, ā mīn, raf‘ul yadain” kita masih berpegang pada rumus “karena guru saya begitu”, maka Raf‘u al-Malām belum kita baca—dan kecerdasan beragama belum kita mulai. Sudahi taqlid sloganik; mulailah ta‘aqqul tarjihi: telusuri jalur, timbang rijāl, dan beranikan diri menyikapi dalil sebagaimana para imam mengajarkannya—dengan hujah, bukan herd mentality.
Herd mentality secara sederhana artinya mentalitas ikut-ikutan kerumunan, tanpa berpikir atau menimbang sendiri.
🔹 Dalam psikologi sosial, herd mentality muncul ketika seseorang mengikuti keyakinan, sikap, atau tindakan kelompok mayoritas hanya karena banyak orang melakukannya—bukan karena ia sudah menimbang benar-salah atau kuat-lemahnya alasan.
🔹 Dalam konteks beragama, herd mentality terlihat ketika orang berpegang pada satu amalan hanya dengan alasan “karena guru saya begitu” atau “karena semua orang di kampung saya begitu”, tanpa peduli apakah ada dalil, hujah, atau perbedaan pendapat ulama lain.
Singkatnya:
👉 Herd mentality = agama ikut kerumunan.
👉 Ta‘aqqul tarjīḥ = agama ikut dalil dan hujah.
contoh sederhana biar jelas bedanya herd mentality (ikut kerumunan) dengan pilihan sadar berbasis ilmu:
🕌 Dalam Ibadah
-
Herd mentality: “Saya baca doa qunut subuh karena di kampung saya semua begitu, kalau nggak, nanti saya aneh sendiri.”
-
Pilihan sadar berbasis ilmu: “Saya tahu ada ulama yang mewajibkan qunut, ada yang tidak. Setelah baca dalilnya, saya pilih tidak qunut. Tapi saya tetap hormati yang qunut, karena dalil mereka juga ada.”
👥 Dalam Sosial
-
Herd mentality: “Semua teman saya percaya berita di WA, ya saya percaya saja, meski nggak jelas sumbernya.”
-
Pilihan sadar berbasis ilmu: “Saya cek dulu sumber berita itu. Kalau valid baru saya sebar, kalau hoax saya stop.”
💸 Dalam Kehidupan Sehari-hari
-
Herd mentality: “Semua tetangga beli barang kredit online, ya saya ikut, meski belum tentu mampu bayar.”
-
Pilihan sadar berbasis ilmu: “Saya pertimbangkan riba, kemampuan bayar, dan maslahat. Kalau sesuai syariat dan mampu, baru saya ambil.”