DUA SYARAT PEMIMPIN POLITIK DALAM PANDANGAN NABI ﷺ

Oleh: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 2012

Kepemimpinan bukan sekadar kesolehan pribadi; ia menuntut kekuatan dan amanah sekaligus. Nabi ﷺ menolak Abu Dharr memimpin meski dicintai Allah, namun memberi komando perang kepada Khalid bin al-Walid yang baru masuk Islam—pelajaran bahwa maslahat umat kadang menuntut pilihan yang tak populer di mata manusia.


🌿 Pengantar

Tidak semua orang yang saleh layak menjadi pemimpin, dan tidak semua yang tangkas bebas dari kelemahan moral harus ditolak dari memimpin. Politik dalam Islam bukan sekadar soal ibadah pribadi atau kesolehan di mata masyarakat; ia adalah urusan kemaslahatan umat yang memerlukan kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amānah) sekaligus. Banyak orang keliru mengira bahwa siapa pun yang rajin ke masjid otomatis layak memimpin, padahal sejarah Nabi ﷺ membantah anggapan itu secara terang.

Kisah Abu Dharr yang dicintai Nabi ﷺ namun tidak diberi amanah kepemimpinan, dan penunjukan Khalid bin al-Walid yang baru masuk Islam tetapi diberi posisi komando perang, menjadi bukti bahwa kriteria pemimpin jauh melampaui kesolehan pribadi. Pertanyaannya: mampukah kita menyingkirkan sentimen pribadi dan melihat kepemimpinan dengan kacamata maslahat, meskipun itu berarti memilih orang yang “kurang cocok” di mata kita tapi tepat di medan yang dibutuhkan umat?

📚 Faedah Lengkap

  1. Prinsip Dasar Kepemimpinan dalam Islam

    • Tidak semua orang boleh atau layak memegang jawatan kepemimpinan politik.

    • Kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

    • Islam menetapkan dua syarat pokok untuk seorang pemimpin: al-quwwah (kekuatan/kompetensi) dan al-amānah (integritas/kejujuran).

  2. Definisi Dua Syarat Utama

    • Al-quwwah: kemampuan teknis, kekuatan fisik atau mental, ketangkasan, keberanian, kecerdikan dalam membuat keputusan, dan kemampuan strategis sesuai bidang tugas.

    • Al-amānah: kejujuran, integritas moral, kesetiaan pada amanah, menjaga kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.

    • Keduanya wajib dimiliki; kekurangan salah satu bisa menimbulkan mudarat besar.

  3. Kisah Abu Dharr r.a.

    • Nabi ﷺ berkata kepada Abu Dharr: “Wahai Abu Dharr, aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai untuk diriku.”

    • Namun, Nabi ﷺ melarang Abu Dharr memegang kepemimpinan, bahkan hanya untuk memimpin dua orang.

    • Nabi ﷺ juga melarangnya mengurus harta anak yatim.

    • Sebabnya: meskipun Abu Dharr seorang yang sangat saleh dan dicintai Allah, ia memiliki kelemahan dalam urusan mengelola kepemimpinan.

    • Nabi ﷺ menegaskan: kepemimpinan adalah amanah, dan di hari kiamat akan menjadi kehinaan serta penyesalan bagi yang tidak menunaikannya dengan baik.

  4. Pelajaran dari Kisah Abu Dharr

    • Kesolehan pribadi tidak otomatis menjamin kelayakan memimpin.

    • Memilih pemimpin hanya berdasarkan ibadah pribadi tanpa melihat kompetensi adalah kesalahan fatal.

    • Kepemimpinan memerlukan keseimbangan antara moralitas dan kecakapan teknis.

  5. Fenomena Salah Kaprah di Masyarakat

    • Banyak masyarakat beranggapan bahwa orang yang rajin beribadah adalah pilihan terbaik untuk jabatan politik.

    • Padahal, urusan politik memerlukan keterampilan berbeda dari urusan ibadah.

    • Politik mengurus maslahat umum; ibadah mengurus hubungan pribadi dengan Allah.

  6. Kisah Khalid bin al-Walid r.a.

    • Baru masuk Islam, tetapi Nabi ﷺ langsung memberi amanah sebagai komandan perang.

    • Khalid dikenal memiliki kecerdikan strategi dan keberanian yang luar biasa di medan perang.

    • Pernah melakukan kesalahan (membunuh tawanan perang), namun Nabi ﷺ tidak memecatnya karena melihat kelebihan strategis yang dimilikinya tidak tergantikan saat itu.

  7. Prinsip Pemilihan Pemimpin Menurut Nabi ﷺ

    • Pemimpin dipilih berdasarkan kecakapan sesuai bidang tugas.

    • Kesalehan pribadi adalah nilai tambah, tetapi tidak boleh mengalahkan syarat kompetensi di bidang yang diemban.

    • Nabi ﷺ pernah menunjuk sahabat yang baru masuk Islam menjadi gubernur Oman karena kemampuannya, bukan semata-mata karena kesalehan.

  8. Fatwa Imam Ahmad

    • Jika ada dua calon:

      1. Tangkas, berani, mampu mengatur, tapi kesolehan pribadinya lebih rendah.

      2. Sangat saleh, tetapi lemah, penakut, dan tidak mampu mengatur urusan.

    • Maka pilih yang pertama demi maslahat umat, karena kelemahan teknis pemimpin dapat membawa keruntuhan, walaupun ia saleh.

  9. Perbedaan Pemimpin Politik vs Pemimpin Ibadah

    • Imam salat: diutamakan yang paling saleh, paling paham fikih, dan bacaan Qur’annya terbaik.

    • Pemimpin politik atau militer: diutamakan yang paling cakap, tangkas, mampu membuat keputusan tepat, walau kesalehannya tidak sebanding dengan calon lain.

  10. Kesimpulan Praktis

    • Dalam memilih pemimpin politik, harus mengutamakan keseimbangan antara kekuatan dan amanah, bukan hanya salah satunya.

    • Kesalahan dalam memilih pemimpin bisa menyebabkan kerosakan besar pada masyarakat.

    • Contoh Nabi ﷺ menunjukkan bahwa keputusan politik sering kali memerlukan pertimbangan maslahat yang lebih luas daripada sekadar penilaian ibadah pribadi.