DIALOG ANTARA MU'TAZILI, ASY'ARI MATURIDI, JAHMI, FILSUF DAN AHLI SUNNAH

SIAPA YANG TEPAT DALAM MEMAHAMI SIFAT ALLAH?

Haruskah sifat Allah ditetapkan semuanya? Ataukah menafikan seluruh sifat adalah pilihan yang lebih aman? Siapa sebenarnya yang benar di antara berbagai kelompok pemikiran Islam?

Dialog ini membahas perdebatan tajam tentang nama dan sifat Allah antara kelompok-kelompok seperti Muktazilah, Jahmiyah, Filsuf, Asy’ariyah, dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. 

Apa yang akan Anda temukan dalam dialog ini:

💡 Muktazilah dan pendekatan mereka:
Kelompok ini menetapkan nama-nama Allah tanpa makna dan menolak sifat-sifat-Nya dengan alasan untuk menghindari penyerupaan dengan makhluk, tetapi sering mendapat kritik tajam dari kelompok lain karena logika mereka dianggap tidak konsisten.

💡 Asy’ariyah dan Maturidiyah di tengah persimpangan:
Dua mazhab ini menetapkan sebagian sifat seperti hidup, ilmu, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi menolak sifat-sifat lainnya seperti turun atau tertawa. Mereka dianggap mencoba menjembatani logika dan teks wahyu, tetapi tetap dikritik karena menolak sebagian sifat Allah yang jelas terdapat dalam nas.

💡 Ekstremisme Jahmiyah:
Kelompok ini menafikan semua nama dan sifat Allah, menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang tidak ada (المعدوم), sehingga mendapat kritik keras karena menyimpang dari iman kepada Allah sebagai Rabb yang sempurna.

💡 Filsuf dan pendekatan logika mereka:
Dengan menggunakan logika abstrak, filsuf berusaha menjelaskan Allah dengan cara yang seringkali membingungkan dan jauh dari tuntunan wahyu. Pendekatan mereka mendapat tantangan besar dari Ahlus Sunnah.

💡 Keseimbangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah:
Ahlus Sunnah menetapkan semua nama dan sifat Allah berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih) atau menafikan sifat-sifat-Nya (ta’thil). Dengan berpegang pada firman Allah:

"لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ"

(Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat). (QS Asy-Syura: 11)

🔥 Siapa yang berada di jalan kebenaran?
Baca dialog ini untuk memahami argumen setiap kelompok dan lihat bagaimana Ahlus Sunnah berdiri kokoh dengan pendekatan yang seimbang, lurus, dan berdasarkan wahyu yang otentik. Apakah keyakinan Anda selama ini sudah benar? Temukan jawabannya sekarang!

نأتي بمثال، اسمع يأتي معتزلي فيحاجج من؟ يحاجج أشعري وما تريدي هذا المعتزلي يسأل الأشعري ماذا تثبت وماذا تنفي من أسماء الله وصفاته؟ يقول أنا أثبت الأسماء كلها وأثبت سبعا من الصفات ما هي هذه الصفات؟ نعم الحياة والعلم والقدرة والسمع والبصر والكلام والإرادة يسأله تثبتها على ما يليق بالله أم كما أنها للمخلوقين؟ يقول لا أثبت هذه الصفات كما يليق بالله عز وجل يقول وبقية الصفات؟ يقول لا أثبتها لا لماذا؟ يقول إذا أثبت بقية الصفات كالتعجوب والنزول آخر الليل وضحك الله عز وجل أكون شبهته بالمخلوقين يقول له المعتزلي يحاججه يقول إما أن تثبت الصفات كلها وإما أن تنفيها لماذا أثبت هذه السبع ولم تشبه الخالق بالمخلوق وإذا أثبت البقية شبهت الخالق بالمخلوق إما أن تثبت الصفات كلها تكون من أهل السنة وإما أن تنفي الصفات كلها فتكون ماذا؟ تكون معتزليا مثلي فقط أثبت ماذا؟ نعم أثبت الأسماء ولا أثبت الصفات يحاججه يأتي من هناك جهمي يقول أنت المعتزلي ماذا تثبت وماذا تنفي؟ يقول أثبت الأسماء بلا معنى ولا أثبت شيئا من الصفات يقول لك كيف تثبت هذه الأسماء؟ أما تخشى أن تقع في تشبيه؟ أليس الإنسان كذلك له مثل هذه الأسماء؟ والرب له مثل هذه الأسماء؟ أما تخشى الوقوع في التشبيه؟ فإما أن تنفي الأسماء كلها وصفات كلها فتكون جهميا مثلي وإما أن تثبتها كلها فتكون فردا من أهل السنة؟ يقيم عليه حج أليس كذلك؟ الآن من المتاح؟ الجهمي يأتي من هناك فرد من الفلاسفة يقول أنت أيها الجهمي ماذا تثبت وماذا تنفي؟ يقول أنفيها كلها لا أثبت لا أسماء ولا صفات يقول له اتق الله يا رجل أنت شبهت الرب جل وعلا بالمعدوم المعدوم لا أسماء له ولا صفات يقول له أخبرني ما المخرج ماذا أفعل؟ يقول له افعل مثلي كيف؟ أثبت ولا أثبت أنفي ولا أنفي كيف؟ تقول أنه جل وعلا حي لا ميت قادر لا عاجز سميع غير سميع بصير غير بصير يسمعهم فرد من أهل السنة يقول كيف هذا؟ اتق الله يا من تقول أنا من الفلاسفة أنت وصفت الله عز وجل بالممتنع من هو ليس بداخل ولا خارج ولا فوق ولا داخل ولا أمام ولا خلف ولا حي ولا ميت هذا ممتنع لا يوجد شيء بهذا الوصف كلهم يسألون السنين أخبرنا أنت ماذا نفعل بالإثبات وماذا نفعل فيه أن نفيه يقول افعل ما يقول الله عز وجل ليس كمثله شيء وهو السميع البصير تثبتون وعند الإثبات تتجنبون التشبيه والتمثيل وعندما تنفون عن الله ما لا يليق به تتجنبون التعطيل ليس كمثله شيء كما قال عز وجل ثم أثبت وهو السميع البصير تثبتون هكذا وتنفون هكذا فيقيم عليهم الحجة جميعا هذا مثال بسيط لفهم أحوال هذه الطوائف المنحرفة الضالة المخالفة لمذهبها للسنة والجماعة أسأل الله عز وجل أن ينبصرنا في ديننا والحمد لله رب العالمين


Seorang Muktazilah datang untuk berdialog dengan seorang Asy’ari atau Maturidi.

Muktazilah:
"Apa yang engkau tetapkan dan apa yang engkau nafikan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah?"

Asy’ari/Maturidi:
"Aku menetapkan semua nama-nama Allah dan aku menetapkan tujuh sifat."

Muktazilah:
"Apa saja tujuh sifat itu?"

Asy’ari/Maturidi:
"Kehidupan (الحياة), ilmu (العلم), kekuasaan (القدرة), pendengaran (السمع), penglihatan (البصر), ucapan/kalam (الكلام), dan kehendak (الإرادة)."

Muktazilah:
"Engkau menetapkannya sesuai dengan apa yang layak bagi Allah atau seperti sifat-sifat makhluk?"

Asy’ari/Maturidi:
"Tidak, aku menetapkan sifat-sifat tersebut sebagaimana yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla."

Muktazilah:
"Bagaimana dengan sifat-sifat lainnya?"

Asy’ari/Maturidi:
"Aku tidak menetapkannya."

Muktazilah:
"Mengapa tidak?"

Asy’ari/Maturidi:
"Jika aku menetapkan sifat-sifat seperti keheranan (التعجوب), turun-Nya Allah di akhir malam, atau tertawa-Nya Allah, maka aku akan menyerupakan Allah dengan makhluk."

Muktazilah:
"Kalau begitu, engkau harus memilih: menetapkan semua sifat sebagaimana dilakukan oleh Ahlus Sunnah, atau menafikan semuanya sehingga engkau menjadi seorang Muktazilah seperti aku. Aku hanya menetapkan nama-nama Allah tanpa menetapkan sifat-sifat-Nya. Mengapa engkau menetapkan tujuh sifat itu tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk, tetapi engkau tidak menetapkan sifat-sifat lainnya karena merasa menyerupakan Allah dengan makhluk?"


Kemudian datang seorang Jahmiyah dan berdialog dengan seorang Muktazilah.

Jahmiyah:
"Wahai Muktazilah, apa yang engkau tetapkan dan apa yang engkau nafikan?"

Muktazilah:
"Aku menetapkan nama-nama Allah, tetapi tanpa makna. Aku tidak menetapkan sifat-sifat Allah."

Jahmiyah:
"Bagaimana engkau menetapkan nama-nama tersebut? Bukankah manusia juga memiliki nama-nama serupa? Apakah engkau tidak takut terjatuh dalam tasybih (penyerupaan)? Engkau hanya memiliki dua pilihan: menafikan semua nama dan sifat seperti aku sehingga menjadi seorang Jahmiyah, atau menetapkan semuanya sebagaimana dilakukan oleh Ahlus Sunnah."


Kemudian datang seorang filsuf yang berdialog dengan seorang Jahmiyah.

Filsuf:
"Wahai Jahmiyah, apa yang engkau tetapkan dan apa yang engkau nafikan?"

Jahmiyah:
"Aku menafikan semuanya, baik nama maupun sifat Allah."

Filsuf:
"Takutlah kepada Allah! Engkau telah menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tidak ada (المعدوم). Bukankah sesuatu yang tidak ada itu tidak memiliki nama maupun sifat? Apa jalan keluarnya?"

Jahmiyah:
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

Filsuf:
"Lakukan seperti aku. Jangan menetapkan apapun dan jangan menafikan apapun. Katakan saja bahwa Allah tidak hidup atau mati, tidak mampu atau tidak berdaya, tidak mendengar atau tuli, tidak melihat atau buta."


Kemudian datang seorang Ahlus Sunnah yang berdialog dengan semua golongan tersebut.

Ahlus Sunnah:
"Bagaimana mungkin engkau berkata seperti itu? Takutlah kepada Allah! Wahai engkau yang mengaku filsuf, engkau telah menggambarkan Allah dengan sesuatu yang mustahil. Allah bukan berada di dalam atau di luar, bukan di atas atau di bawah, bukan di depan atau di belakang, bukan hidup atau mati—ini adalah deskripsi yang tidak masuk akal. Tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengan deskripsi seperti itu."

Ahlus Sunnah melanjutkan:
"Lakukanlah sebagaimana yang Allah firmankan:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

(Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat).

Ketika menetapkan sifat-sifat Allah, hindarilah penyerupaan (tasybih) dan penyamaan (tamtsil). Ketika menafikan sesuatu dari Allah, hindarilah sikap meniadakan sifat-Nya (ta’thil). Sebagaimana firman Allah: "Laisa kamitslihi syai'un wa huwa as-sami'ul basir", maka tetapkanlah bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Lakukanlah dengan cara ini: menetapkan sifat yang layak bagi Allah dan menafikan apa yang tidak pantas bagi-Nya."


Dengan cara ini, Ahlus Sunnah mendirikan hujjah terhadap semua golongan yang menyimpang ini. Ini adalah contoh sederhana untuk memahami kondisi kelompok-kelompok yang menyimpang dan sesat, yang bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Aku memohon kepada Allah agar Dia memberikan kita pemahaman dalam agama ini. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam.

 

Ditranskrip dengan sedikit perubahan dari https://youtu.be/_RBSOCIZc98