NON-MUSLIM BERTANYA, MUFTI MENJAWAB: MEMBONGKAR TABIR SENSITIF AGAMA DAN BUDAYA

Podcast Non-Muslim Bertanya Mufti Menjawab, bersama: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 08/2025


Diskusi intelektual antara Apek Cina dan Shahibus Samahah Mufti Negeri Perlis Dato Dr. MAZA ini bukan sekadar membicarakan hukum agama, melainkan juga menguji ketahanan wacana Islam ketika berhadapan dengan soalan-soalan kritis tentang keadilan gender, kebebasan beragama, moral policing, hingga identiti Malaysia di antara label “sekular” dan “Islam”. Dialog ini sekaligus menyingkap realiti bahawa isu-isu seperti faraid, poligami, hijab, dan kebebasan individu seringkali menjadi medan ujian antara ideal agama, tafsiran ulama, dan pengalaman hidup masyarakat majmuk.

PENGANTAR

Dialog terbuka antara seorang non-Muslim, Apek Cina (Tai Tzu Hao), dan Mufti Perlis, Dr. MAZA, membuka ruang diskusi yang jarang sekali terjadi secara terbuka di hadapan khalayak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak berhenti pada perkara teknikal agama, tetapi terus menyentuh aspek sensitif seperti hukum faraid yang dianggap berat sebelah gender, praktik poligami yang kerap dipolemikkan, hingga soal kebebasan beragama dan moral policing terhadap wanita muslim yang tidak berhijab. 

Lebih jauh, dialog ini menyingkap kerumitan hubungan antara tafsir agama, budaya setempat, dan realiti sosial negeri yang majmuk. Pertanyaan provokatif dari Apek Cina mencerminkan keresahan masyarakat bukan Islam terhadap bagaimana hukum Islam dipraktikkan dalam ranah publik, sementara jawaban Shahibus Samahah Mufti menghadirkan perspektif bahawa keadilan dalam Islam hanya dapat difahami apabila sistemnya dilihat secara menyeluruh. Di sinilah pertembungan antara ideal agama, tafsiran ulama, dan aspirasi masyarakat majmuk menemukan ruang dialektika yang tidak hanya menegangkan, tetapi juga mencerahkan.


📘 Rangkuman Podcast


Bagian 1: Pembukaan dan Konteks Dialog

🎤 Moderator membuka acara dengan mengucapkan salam dan memperkenalkan segmen khusus "Wisdom Talk Show" dengan tamu dari Kuala Lumpur, Saudara Tai Tzu Hao yang dikenal sebagai "Apek Cina".

📌 Poin-Poin Penting:

  • Disclaimer: Moderator menekankan bahwa semua pertanyaan yang akan diajukan bersifat akademik dan bukan untuk provokasi atau propaganda. Tujuannya adalah edukasi dan klarifikasi.

  • Tujuan Dialog: Menciptakan ruang untuk pertanyaan jujur dari komunitas non-Muslim, khususnya etnis Tionghoa, yang mungkin dianggap "panas" atau sensitif, tetapi perlu dijawab untuk menghilangkan prasangka dan menyelesaikan ketidakpahaman.


Bagian 2: Pertanyaan 1 – Keadilan dalam Hukum Waris (Faraid) Islam

👨‍💼 Penanya: Apek Cina (sebagai pengamat hukum)
Pertanyaan: Terkait hukum waris (Faraid) Islam yang memberikan porsi lebih besar kepada anak laki-laki daripada perempuan. Apakah ini adil, mengingat laki-laki juga punya kewajiban (seperti menafkahi) keluarga perempuan? Apa peran pemerintah dalam menegakkan keadilan bagi wanita?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA (Mufti Perlis):

Sub-bab 2.1: Memahami Sistem Islam Secara Holistik

  • Islam harus dipahami sebagai sistem yang utuh, bukan sepotong-sepotong. Memahami hanya satu aspek (seperti waris) tanpa melihat kewajiban lain akan menimbulkan persepsi ketidakadilan.

  • Tanggung jawab laki-laki dalam Islam sangat luas dan berat: menafkahi keluarga, memberikan perlindungan (baik kepada istri, anak, adik, maupun orang tua), dan membayar mahar. Semua beban finansial utama berada di pundak laki-laki.

  • Harta warisan yang didapatkan laki-laki (2 bagian) pada akhirnya akan dibelanjakan untuk memenuhi berbagai tanggung jawabnya tersebut kepada banyak orang. Sementara harta wanita (1 bagian) adalah miliknya sepenuhnya dan tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahi orang lain.

Sub-bab 2.2: Konsekuensi jika Laki-Laki Lalai

Jika seorang laki-laki (misalnya, seorang abang) menerima warisan lebih besar tetapi mengabaikan kewajibannya untuk melindungi adik perempuannya, maka:

  • Dia berdosa di sisi Allah SWT dan akan mendapat hukuman di akhirat.

  • Secara duniawi, jika sang adik sudah menikah, tanggung jawab beralih kepada suaminya. Jika belum, tanggung jawab tetap pada ayah atau walinya.

Peran Pemerintah: Pemerintah dapat memaksa laki-laki yang lalai tersebut berdasarkan semangat umum (public policy) bahwa laki-laki harus melindungi perempuan. Namun, mekanisme teknisnya (seperti memotong harta sang abang untuk diberikan ke adik) rumit dan harus melihat kondisi spesifik, seperti apakah sang adik benar-benar dalam keadaan membutuhkan.

📝 Ringkasan Bagian 2:
Dr. MAZA menekankan bahwa ketidakseimbangan bagian waris diimbangi oleh ketidakseimbangan tanggung jawab finansial dan sosial yang sangat besar yang dibebankan kepada laki-laki. Keadilan dalam Islam dilihat dari keseimbangan hak dan kewajiban secara keseluruhan, bukan pada satu instrumen saja.


Bagian 3: Pertanyaan 2 – Pandangan tentang Poligami

Pertanyaan: Apakah Mufti setuju dengan praktik poligami? Bagaimana pandangannya, terutama menyangkut kekhawatiran wanita non-Muslim yang ingin menikah dengan pria Muslim?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 3.1: Poligami sebagai Solusi (Ubātun li ba'dhil amrāḍ)

Poligami dalam Islam adalah obat untuk beberapa "penyakit" sosial, bukan tujuan utama. Contoh konteks yang dibenarkan:

  • Kebutuhan biologis suami yang tidak terpenuhi oleh istri (karena sakit, dll.), sehingga menghindarkan dari perzinahan.

  • Perlindungan bagi janda (misalnya, janda berumur 40 tahun) yang membutuhkan pelindung dan penopang finansial, di mana mencari pasangan lajang seusianya sangat sulit.

Sub-bab 3.2: Perbedaan Mendasar dengan "Simpanan"

  • Poligami yang sah melindungi hak-hak wanita secara hukum: mendapat nafkah, status keistriyan yang jelas, dan anak-anak memiliki garis keturunan yang sah.

  • "Wanita simpanan" justru tidak mendapatkan semua hak tersebut dan berada dalam posisi yang sangat rentan.

Sub-bab 3.3: Perlindungan bagi Wanita (Opsi yang Tersedia)

Seorang istri tidak bisa membatalkan hukum poligami, tetapi dia memiliki opsi:

  • Meminta cerai (fasakh) jika tidak sanggup hidup dalam tekanan batin akibat poligami suaminya. Islam mengizinkan hal ini.

  • Mencantumkan syarat dalam akad nikah (sejak awal) bahwa suami tidak boleh berpoligami. Ini dibenarkan berdasarkan hadis "Al-Muslimūn 'alā syurūṭihim" (Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka). Jika syarat dilanggar, istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan.

📝 Ringkasan Bagian 3:
Poligami dalam Islam bukanlah praktik yang bebas nilai, tetapi memiliki fungsi sosial dan syarat keadilan yang ketat. Wanita memiliki mekanisme perlindungan hukum, baik melalui perceraian maupun syarat dalam akad nikah, untuk menjaga diri mereka.


Bagian 4: Pertanyaan 3 – Kesetaraan Gender dan Poliandri

Pertanyaan (Akademik/Hipotetis): Jika laki-laki boleh berpoligami, mengapa wanita tidak boleh poliandri (memiliki lebih dari satu suami) dalam konteks kesetaraan gender?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 4.1: Kesetaraan vs. Perbedaan Peran (Musāwāh vs. Ikhtilāf al-adwār)

  • Islam tidak menafikan kesetaraan lelaki dan perempuan dalam hal hak dan keadilan.

  • Namun, Islam membedakan tugas dan peran (functions) berdasarkan kodrat dan fitrah masing-masing jenis kelamin.

    • Contoh: kewajiban mencari nafkah dan berperang dibebankan kepada laki-laki, sementara menyusui adalah peran utama wanita.

    • Perbedaan ini bukan diskriminasi, tetapi spesialisasi fungsi.

Sub-bab 4.2: Alasan Logis Larangan Poliandri

Dari sisi biologis dan psikologis:

  • Masalah nasab/keturunan: Siapa ayah dari anak yang dilahirkan? Meski sekarang ada tes DNA, secara psikologis dan sosial tetap menimbulkan masalah kompleks.

  • Psikologi laki-laki (ghairah/cemburu): Fitrah laki-laki sebagai pelindung (protector) dan pemilik kebanggaan (pride) membuatnya sangat sulit untuk berbagi istri dengan laki-laki lain. Ini berlaku universal, bahkan bagi yang tidak beragama.

Dari sisi sosial:

  • Sistem wali (pelindung) dalam Islam akan runtuh jika seorang wanita memiliki banyak suami, karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab sebagai pelindung utamanya.

📝 Ringkasan Bagian 4:
Islam mengakui kesetaraan dalam nilai kemanusiaan dan keadilan, tetapi memiliki pembagian peran yang jelas berdasarkan fitrah. Poliandri ditolak karena bertentangan dengan fitrah biologis, psikologis laki-laki, dan akan merusak struktur keluarga dan sosial yang dilindungi Islam.


Bagian 5: Pertanyaan 4 – Moral Policing dan Jilbab

Pertanyaan: Mengapa wanita Muslim yang tidak berjilbab sering mendapat kritikan keras dan moral policing? Apakah ini sesuai dengan Islam di era modern?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 5.1: Status Hukum Tidak Berjilbab

  • Hukumnya: Tidak berjilbab adalah kekurangan (naqṣ) dalam menjalankan etika berpakaian Islami (menutup aurat), bukanlah dosa yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

  • Penilaian Akhirat: Amalan manusia ditimbang secara keseluruhan. Seseorang mungkin kurang dalam hal jilbab, tetapi unggul dalam amal lain (shalat, sedekah, berbakti pada orang tua). Jika amal baiknya lebih berat, dia tetap berpeluang masuk surga.

Sub-bab 5.2: Penyebab Moral Policing dan Solusinya

  • Penyebab: Kritik sering muncul karena manusia cenderung menilai dari luar (zhāhir). Dalam masyarakat yang kuat identitas Muslimnya, orang yang tidak berjilbab terlihat "ganjil" atau "luar biasa", mirip seperti orang pakai t-shirt di acara berbatik.

  • Islam Melarang Moral Policing yang Keras:

    • Dr. MAZA mengutip hadis tentang sahabat yang sering minum khamar. Nabi melarang sahabat lain melaknatnya, karena beliau tahu "dia mencintai Allah dan Rasul-Nya", hanya saja lemah pada satu maksiat.

    • Ini menunjukkan sikap Nabi yang tidak membenarkan penghakiman moral yang kejam.

Solusi dan Nasihat:

  • Bagi yang berjilbab: Jangan mengucilkan, mendiskriminasi, atau berkata kasar. Jadikan momen itu sebagai kesempatan untuk dakwah dengan bijak dan nasihat yang baik.

  • Bagi yang tidak berjilbab: Pahami bahwa pilihan Anda mungkin menarik perhatian. Pilihlah "jalan yang aman" dengan menyesuaikan pakaian dengan norma masyarakat tempat Anda berada, sebagaimana kita memilih baju yang sesuai untuk suatu acara.

Sub-bab 5.3: Konteks Historis dan Tren di Malaysia

  • Perubahan Tren: Fenomena maraknya jilbab di Malaysia pasca-1980an dipengaruhi oleh dua faktor:

    1. Peningkatan kesadaran beragama (Islamic awakening).

    2. Tren dan budaya untuk terlihat lebih Islami, kadang mengandung unsur "pemasaran" atau ikut-ikutan.

  • Era Sebelumnya (zaman P. Ramlee): Wanita tidak berjilbab saat itu tidak serta-merta dianggap kurang iman, tetapi lebih mencerminkan tingkat kesadaran dan praktik keberagamaan yang berbeda pada masanya. Hal serupa terjadi pada praktik shalat yang sekarang lebih banyak dilakukan.

  • Perbandingan dengan Arab Saudi: Longgarnya aturan di Saudi bukan karena agama berubah, tetapi karena penafsiran dan budaya setempat yang berevolusi. Malaysia juga memiliki trennya sendiri (misalnya cadar) yang tidak sepenuhnya merepresentasikan mazhab mana pun.

📝 Ringkasan Bagian 5:
Tidak berjilbab adalah sebuah kekurangan, bukan dosa besar. Islam menolak moral policing yang keras dan kejam. Nabi mengajarkan untuk melihat kelebihan seseorang, bukan hanya kekurangannya. Kritik sosial yang muncul lebih pada persoalan norma sosial dan tren. Perkembangan gaya berjilbab di Malaysia dipengaruhi oleh peningkatan kesadaran dan faktor budaya, bukan semata-mata tolok ukur kesalehan.


Bagian 6: Pertanyaan 5 – Iman sebagai Urusan Pribadi vs. Penilaian Masyarakat

Pertanyaan: Menanggapi pernyataan tokoh seperti Siti Kasim bahwa iman adalah urusan pribadi dan tidak perlu selalu dihakimi masyarakat. Apa pandangan Mufti? Perlukah agama selalu dizahirkan (ditampakkan secara lahir)?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 6.1: Hakikat Iman dan Manifestasinya

  • Iman adalah keyakinan dalam hati yang hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah.

  • Namun, keyakinan yang kuat pasti termanifestasi (tajallī) dalam tindakan lahiriah.

  • Analogi:

    • Seorang yang mengaku pencinta alam tetapi membakar hutan dan membuang sampah sembarangan, maka pengakuannya diragukan.

    • Seorang ibu yang mengaku mencintai anaknya tetapi memukul dan mengabaikannya, maka klaimnya tidak terbukti.

    • Demikian pula, iman harus punya bukti lahiriah. Klaim iman tanpa amal salih adalah kontradiktif.

Sub-bab 6.2: Perbedaan Tafsir dan Ruang Dialog

  • Dalam Islam memang ada perbedaan tafsir (Sunni, Syiah, Sufi, dll.). Perbedaan ini adalah keniscayaan.

  • Menjustifikasi perbedaan tafsir adalah hak setiap orang, sama seperti dalam ilmu hukum di mana ada beragam penafsiran terhadap sebuah undang-undang.

  • Ruang Dialog:

    • Setiap kelompok berhak menyatakan pendapatnya dan berargumen bahwa tafsir kelompok lain kurang tepat dengan merujuk pada dalil (Al-Quran, Hadis).

    • Menyatakan suatu tafsiran salah tidak serta-merta merusak harmoni, selama dilakukan dengan cara yang baik dan tidak disertai kekerasan.

    • Harmoni bukan berarti tidak boleh ada perbedaan pendapat.

📝 Ringkasan Bagian 6:
Iman bukanlah urusan privat semata yang terpisah dari tindakan. Iman yang benar akan terwujud dalam amal perbuatan. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah wajar dan harus disikapi dengan dialog argumentatif yang sehat berdasarkan dalil, bukan dengan saling menyalahkan secara emosional atau memaksakan pendapat.


Bagian 7: Pertanyaan 6 – Sekularisme vs. Negara Islam di Malaysia

Pertanyaan: Mengingat keberagaman Malaysia, apakah lebih cocok menganut sekularisme daripada menjadi negara Islam?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 7.1: Memahami Hakikat "Negara"

  • Malaysia sebagai entitas tidak beragama. Yang beragama adalah rakyatnya.

  • Setiap rakyat Malaysia, Muslim atau bukan, bebas menjalankan kehidupan agamanya masing-masing.

  • Kehidupan Muslim diatur oleh hukum Syariah, sementara non-Muslim diatur oleh hukum Sipil. Kedua sistem hukum ini berada di bawah naungan negara Malaysia.

Sub-bab 7.2: Substansi vs. Label

  • Persoalan sekular atau negara Islam bukan pada label-nya, tetapi pada substansi dan praktiknya.

  • Malaysia telah mengadopsi banyak prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahannya, seperti keadilan, menafkahi orang miskin, dan melindungi harta benda, tanpa harus menyebutnya dengan label "Islam".

  • Yang terpenting adalah bagaimana agama dipraktikkan dalam kehidupan bernegara, bukan pada penamaannya. Memberi label "Islam" tetapi praktiknya zalim adalah percuma. Sebaliknya, jika prinsip keadilan Islam diterapkan, meski disebut sekular, pada hakikatnya itu adalah nilai Islam.

Sub-bab 7.3: Contoh Kasus – Logo "No Pork, No Lard"

  • Dr. MAZA menyinggung kasus di Selangor yang sempat melarang penggunaan logo "No Pork, No Lard" oleh restoran non-Muslim.

  • Pandangan Dr. MAZA: Restoran non-Muslim berhak menggunakan logo tersebut karena:

    1. Itu adalah bentuk informasi kepada konsumen, termasuk non-Muslim yang mungkin vegetarian atau tidak suka babi.

    2. Tidak ada logo halal JAKIM bukan berarti haram. Banyak kedai Muslim yang menjual makanan halal tanpa sertifikat JAKIM (seperti dapur rumah sendiri).

    3. Sertifikat halal JAKIM hanya memberikan kepastian (confirmation) bahwa produk tersebut 100% halal.

📝 Ringkasan Bagian 7:
Malaysia adalah negara yang unik di mana rakyatnya bebas menjalankan agamanya di bawah payung hukum yang berbeda. Fokus seharusnya bukan pada debat label "sekular" atau "Islam", tetapi pada penerapan nilai-nilai universal Islam seperti keadilan dan kebajikan dalam pemerintahan. Pelarangan hal-hal kecil seperti logo "No Pork" justru tidak praktis dan tidak esensial.


Bagian 8: Pertanyaan 7 – Kekhawatiran Non-Muslim dan Pengaruh Gaya Hidup

Pertanyaan: Mengapa sering muncul isu pembatasan terhadap aktivitas non-Muslim? Apakah murni dipolitisasi? Bagaimana pengaruh gaya hidup non-Muslim terhadap Muslim?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 8.1: Penyebab Kekakuan yang Dirasakan

Dr. MAZA mengakui bahwa kadang umat Islam terlihat "sempit" dan kaku. Ini disebabkan oleh beberapa faktor:

  • Komersialisasi Agama: Banyak pihak yang memelintir agama untuk keuntungan pribadi, politik, atau popularitas.

  • Pemahaman yang Ekstrem: Sebagian kelompok menunjukkan sikap ekstrem untuk dianggap "lebih Islami".

  • Politik: Agama sering dijadikan alat politik, di mana kebijakan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan, membuat non-Muslim bingung mana yang benar-benar Islam.

Sub-bab 8.2: Nasihat untuk Non-Muslim Memahami Islam

  • Jangan menilai Islam hanya dari perilaku orang Melayu. Islam diturunkan untuk semua manusia, bukan hanya untuk orang Melayu.

  • Lihatlah pada teks suci (divine text) yaitu Al-Quran dan Hadis yang sahih untuk memahami Islam yang sebenarnya.

  • Contoh: Banyak orang Barat yang masuk Islam justru karena membaca terjemahan Al-Quran sendiri, bukan karena melihat perilaku Muslim.

Sub-bab 8.3: Prinsip Pembatasan – Kebebasan Individu vs. Dampak Publik

  • Kebebasan individu non-Muslim untuk melakukan aktivitasnya (minum alkohol, dll.) tidak diganggu selama dilakukan di ruang privat.

  • Pembatasan muncul ketika aktivitas itu dilakukan di ruang publik karena memiliki dampak dan efek sosial yang lebih luas.

Contoh:

  • Minum alkohol di publik dapat mempengaruhi orang lain, menyebabkan mabuk, dan memicu masalah sosial (seperti KDRT), yang juga tidak diinginkan oleh non-Muslim.

  • Pakaian tidak sopan di instansi pemerintah dianggap tidak menghormati etika berbusana di tempat formal, sama seperti presiden yang datang ke Gedung Putih diharapkan memakai jas.

  • Makan di depan orang yang berpuasa di sekolah dasar bisa jadi dilarang bukan karena hukum Islam melarangnya (non-Muslim tidak wajib puasa), tetapi sebagai kebijakan administratif (pentadbiran) untuk mengajarkan rasa hormat dan menghindari pertanyaan-pertanyaan rumit dari anak-anak Muslim yang masih belajar berpuasa.

📝 Ringkasan Bagian 8:
Kekakuan yang dirasakan sering berasal dari faktor politisasi dan pemahaman yang sempit, bukan dari ajaran Islam inti. Non-Muslim disarankan untuk belajar Islam dari sumbernya, bukan dari perilaku individu. Pembatasan aktivitas non-Muslim biasanya bukan karena alasan agama murni, tetapi pertimbangan administratif dan dampak sosial di ruang publik.


Bagian 9: Pertanyaan 8 – Bisnis Eksklusif Muslim dan Interaksi dengan Non-Muslim

Pertanyaan: Bagaimana pandangan tentang bisnis (seperti spa) yang hanya melayani Muslim dan menolak non-Muslim dengan alasan menghindari masalah kesucian?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

  • Menolak pelanggan non-Muslim secara umum adalah tidak dibenarkan.

  • Nabi Muhammad SAW sendiri hidup berdampingan dan berinteraksi dengan non-Muslim (Yahudi, dll.), bahkan pernah dijamu makan di rumah mereka.

  • Islam mengajarkan praktisitas: Jika ada najis yang jelas (seperti bekas babi atau anjing), maka cukup dibersihkan sesuai tata cara Islam (sertu).

  • Mengada-adakan masalah yang tidak ada (seperti parno dengan uang yang mungkin pernah dipegang non-Muslim) adalah tidak praktis dan tidak diajarkan dalam Islam.

Kesimpulan: Selama tidak ada najis yang jelas dan nyata, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan untuk berinteraksi dan melayani non-Muslim.


Bagian 10: Pertanyaan 9 – Kebebasan Memilih Agama dan Isu Murtad

Pertanyaan: Mengapa umat Islam di Malaysia yang sejak lahir tidak diberikan kebebasan untuk memilih agama, berbeda dengan non-Muslim yang bebas membandingkan dan memilih?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 10.1: Agama sebagai Keyakinan, bukan Baju

  • Agama adalah soal keyakinan (‘aqīdah) yang menyangkut Tuhan, kenabian, dan kehidupan setelah mati. Ia bukan seperti memilih baju yang bisa dicoba-coba dan diganti-ganti seenaknya.

  • Yang kita ketahui dari seseorang adalah apa yang diikrarkannya. Jika seseorang mengikrarkan diri Muslim, maka kita memperlakukan dia sebagai Muslim.

Sub-bab 10.2: Realitas Sosial dan Hukum di Malaysia

  • Secara hukum, seseorang yang murtad (keluar dari Islam) tidak dapat mengubah agama yang tercantum di KTP-nya. Ini adalah debat panjang.

  • Secara realitas sosial, komunitas Melayu sebagai komunitas yang hampir seluruhnya Muslim di Malaysia memiliki ketahanan identitas keislaman yang sangat kuat selama ratusan tahun. Individu yang murtad dari kalangan Melayu asli sangatlah jarang, bahkan hampir tidak ada sebagai sebuah komunitas.

  • Kebijakan ini lebih didasarkan pada pertimbangan administrasi negara dan perlindungan terhadap identitas Melayu yang diikat oleh konstitusi, bukan semata-mata karena hukum agama. Hukum agama (tentang murtad) tetap ada, tetapi penerapannya di Malaysia disesuaikan dengan konteks sosial yang unik.

📝 Ringkasan Bagian 9 & 10:
Islam mengajarkan untuk bersikap praktis dan tidak mengada-ada dalam interaksi dengan non-Muslim. Soal kebebasan beragama bagi Muslim di Malaysia adalah persoalan kompleks yang menyangkut keyakinan, identitas komunitas, dan administrasi negara, bukan sekadar hak individu belaka.


Bagian 11: Pertanyaan 10 – Melonggarkan Aturan untuk Pelancongan dan Ekonomi

Pertanyaan: Haruskah aturan (seperti larangan jual alkohol dan dress code) dilonggarkan di kawasan turis untuk mendongkrak ekonomi?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

  1. Perlu data yang kuat apakah benar pelonggaran aturan akan signifikan menaikkan jumlah turis dan pendapatan negara.

  2. Ekonomi tidak boleh hanya bergantung pada sektor turis dan unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai dasar masyarakat.

  3. Alkohol dilihat sebagai sesuatu yang jelas mudaratnya, baik bagi peminum maupun orang di sekitarnya. Tidak patut mengorbankan nilai-nilai kebaikan hanya untuk mengejar keuntungan ekonomi.

  4. Mengenai dress code turis, Dr. MAZA memahami insiden teguran yang tidak sopan kepada turis. Namun, setiap masyarakat berhak memiliki standar nilai moralnya sendiri untuk ruang publik.

    • Penetapan standar ini harus mempertimbangkan banyak faktor (sensitivitas setempat, kebebasan individu, kepentingan turis) secara seimbang, bukan hanya mengutamakan kepentingan turis semata.


Bagian 12: Pertanyaan 11 – Fatwa yang Bertentangan dan Otoritas Keagamaan

Pertanyaan: Jika partai politik mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa Mufti, siapa yang harus diikuti?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA:

Sub-bab 12.1: Apa Itu Fatwa?

  • Fatwa adalah pendapat hukum mengenai masalah agama yang tidak jelas hukumnya. Masalah yang sudah jelas (seperti haramnya alkohol) tidak perlu fatwa.

  • Fatwa boleh dikeluarkan oleh siapapun yang memiliki keahlian (ulama), tidak harus mufti resmi. Sepanjang sejarah Islam, banyak ulama non-pemerintah yang fatwanya diakui.

  • Mufti yang dilantik pemerintah adalah seperti Jaksa Agung atau Juru Bicara Resmi pemerintah dalam hal agama. Fatwanya bersifat resmi untuk kepentingan administrasi negara.

Sub-bab 12.2: Menyikapi Fatwa yang Bertentangan

  • Masyarakat awam boleh mengikuti fatwa mana pun.

  • Namun, Islam mengajarkan untuk mengikuti argumentasi (ḥujjah) terkuat, bukan mengikuti sektarianisme (ḥizbiyyah) atau fanatisme partai.

  • Dengarkan argumen dari kedua belah pihak, mana yang lebih kuat dalil dan logikanya. Jangan hanya ikut karena itu adalah partai yang kita dukung.

  • Bagi pemerintah, tentu yang akan digunakan adalah fatwa dari mufti atau badan fatwa resmi yang dilantiknya.


Bagian 13: Penutup dan Kesimpulan Dialog

👨‍💼 Apek Cina mengucapkan terima kasih kepada Dr. MAZA atas jawaban yang smooth, edukatif, dan membantu menjawab banyak kesalahpahaman.

  • Dia mengakui bahwa beberapa jawaban mungkin masih sulit diterima karena perbedaan sudut pandang dan budaya, tetapi keikhlasan Dr. MAZA sangat dia hargai.

  • Pesan Penting: Perbedaan seharusnya memperkaya pemikiran, bukan memecah belah. Masyarakat Malaysia sudah terbiasa dengan budaya saling menghormati (seperti Muslim yang paham soal makanan Tionghoa). Dialog seperti ini sangat diperlukan.

🎤 Moderator menutup acara dengan:

  • Mengucapkan terima kasih kepada semua pihak.

  • Mengundang non-Muslim lainnya untuk berpartisipasi dalam segmen "Non-Muslim Bertanya" di masa depan.

Penutup Rangkuman:
Dialog ini adalah contoh yang sangat baik dari komunikasi antaragama yang sehat, akademis, dan penuh rasa hormat. Dr. MAZA berhasil menjelaskan konsep-konsep Islam yang sering disalahpahami dengan argumentasi yang logis, kontekstual, dan berlandaskan dalil. Poin kuncinya adalah pentingnya memahami Islam secara utuh, melihatnya dari perspektif yang holistik, dan membedakan antara ajaran agama murni dengan praktik budaya dan politik. Dialog semacam ini penting untuk membangun harmoni dalam masyarakat majemuk seperti Malaysia.