ALLAH AKAN MENOLONG PEMERINTAH YANG ADIL SEKALIPUN KAFIR

فَإِّنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازعُوا فِّي أَنَّ عَاقِّبَةَ الظُّلْمِّ وَخِّيمَةٌ وَعَاقِّبَةُ الْعَدْلِّ كَرِّيمَةٌ وَلِّهَذَا يُرْوَى: اللََُّّه يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِّلَةَ وَإِّنْ كَانَتْ كَافِّرَةً وَلََا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِّمَةَ وَ إِّنْ كَانَتْ مُؤْمِّنَةً 

ٍSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan, sedangkan balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa ‘Allah akan menolong pemerintah yang adil sekalipun kafir dan akan membinasakan pemerintah yang zalim sekalipun beriman’. [Majmū’ Al-Fatāwā, ed. Abdurrahman bin Muhammad Qasim (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, 1995) 28: 63]

Oleh: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 2012

Dari pena Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah hingga sejarah Najasyi, Islam mengajarkan bahwa keadilan melampaui sekadar identitas agama. Pemimpin kafir yang adil bisa menjadi pelindung umat, sedangkan pemimpin Muslim yang zalim dapat menghancurkan bangsanya sendiri, memaksa rakyat mencari suaka di negeri yang dianggap “musuh”.

Karena esensi politik (pentadbiran) secara umum adalah firman Allah ta'ala : 

 إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًۭا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu memberikan amanah (suatu urusan) kepada orang yang layak (berkualifikasi), dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu... (QS. An-Nisa 58)

Urusan-urusan duniawi manusia akan lebih tertegak dengan keadilan walaupun di dalamnya terdapat perbuatan-perbuatan dosa, dibandingkan dengan kezaliman yang di dalamnya tidak disertai dengan perbuatan-perbuatan dosa lainnya… Apabila perkara dunia ditegakkan dengan keadilan (oleh orang kafir), maka akan tertegak walaupun pelaku adil tersebut tidak akan mendapatkan pahala di akhirat. Kapan saja perkara dunia tidak ditegakkan dengan keadilan, perkara dunia tersebut tidak akan tegak, meskipun pemiliknya memiliki iman yang dapat memberinya pahala di akhirat). [Ahmad Ibn Taimiyah, Al-Amru Bi Al-Ma’rūf Wa Al-Nahyu ‘an Al-Munkar (Wizarah Syu`un al-Islamiyyah wa al-Da’wah wa al-Irsyad, n.d.). 29]

🌿 Pengantar

Keadilan adalah oksigen bagi sebuah negara—tanpanya, tak peduli seberapa banyak simbol agama berkibar, rakyat akan tercekik. Ibnu Taymiyyah pernah menegaskan bahwa Allah akan menolong negara kafir yang adil, namun tidak akan menolong negara Muslim yang zalim. Pernyataan ini menampar persepsi sempit sebagian umat yang mengira cukup dengan label “Islam” untuk menjamin keberkahan pemerintahan. Sejarah membuktikan, kezaliman dapat membuat kaum Muslim sendiri lari mencari perlindungan di negeri yang non-Muslim tetapi adil.

Kisah Najasyi di Habasyah menjadi saksi. Raja Kristen yang diam-diam memeluk Islam ini melindungi umat Muhammad ﷺ dari kezaliman Quraisy, tanpa harus mengumumkan keimanannya dan tetap memimpin dalam sistem yang ada. Bahkan Rasulullah ﷺ tidak memintanya mundur atau mengubah seluruh sistem negaranya. Pesan besarnya jelas: keadilan dan kemaslahatan rakyat adalah fondasi politik Islam, sedangkan formalisme agama tanpa keadilan hanyalah topeng yang menunggu untuk runtuh.


📚 Faedah Lengkap

  1. Pertanyaan dan Landasan Bahasan

    • Seorang penanya mengangkat pendapat Ibn Taymiyyah tentang kepemimpinan: Allah akan menolong pemerintahan yang adil walau kafir, dan tidak akan menolong pemerintahan Muslim jika zalim.

    • Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk membahas prinsip politik Islam: keadilan sebagai syarat keberlangsungan sebuah pemerintahan.

  2. Penjelasan Ibn Taymiyyah

    • Pernyataan tersebut termaktub dalam kitab As-Siyāsah Asy-Syar’iyyah.

    • Penekanan: Allah bersama pemerintahan yang adil, walaupun pemimpinnya kafir.

    • Manusia bisa hidup aman di bawah pemimpin kafir yang adil, tetapi akan menderita di bawah pemimpin Muslim yang zalim.

  3. Korelasi dengan Realitas Modern

    • Sejarah membuktikan, tokoh-tokoh gerakan Islam di era Husni Mubarak (Mesir), Saddam Hussein (Irak), dan Zine El Abidine Ben Ali (Tunisia) justru lari ke negara-negara Eropa untuk mencari perlindungan.

    • Mereka tidak lari ke negara Muslim, melainkan ke negara non-Muslim yang relatif aman dari kezaliman politik.

    • Contoh: Rachid Ghannouchi (Tunisia) hidup puluhan tahun di Inggris, baru kembali setelah Ben Ali jatuh.

  4. Contoh dari Zaman Nabi ﷺ

    • Saat sahabat ditindas di Mekah, Nabi ﷺ memerintahkan mereka hijrah ke Habasyah (Ethiopia).

    • Alasannya: di sana ada raja (Najasyi Ashamah) yang “tidak menzalimi seorang pun”.

  5. Profil Najasyi Ashamah

    • Seorang raja beragama Kristen.

    • Secara diam-diam memeluk Islam, tetapi tidak mengumumkannya pada rakyatnya.

    • Memimpin tetap dalam kerangka sistem kerajaan Kristen.

    • Tidak mengubah sistem pemerintahan secara menyeluruh meskipun telah beriman.

  6. Kisah Ummu Habibah

    • Ramlah binti Abu Sufyan, sepupu Nabi ﷺ, hijrah ke Habasyah bersama suaminya, Ubaidillah bin Jahsy.

    • Suaminya murtad masuk agama Kristen, meninggalkannya sendirian.

    • Nabi ﷺ meminangnya saat ia berada di Habasyah.

    • Najasyi membayarkan mahar untuk Nabi ﷺ atas pernikahan ini.

  7. Sikap Nabi ﷺ terhadap Najasyi

    • Nabi ﷺ tidak memintanya meninggalkan jabatan atau berhijrah ke Madinah.

    • Najasyi tetap memimpin hingga wafat dalam sistem yang ada.

    • Pada hari wafatnya, Nabi ﷺ bersabda: “Hari ini telah meninggal seorang lelaki saleh, saudara kalian Ashamah”, lalu menyolatkannya secara ghaib.

  8. Pelajaran Penting dari Kisah Najasyi

    • Pemimpin yang adil, walaupun kafir, dapat menjadi pelindung umat Islam.

    • Keadilan lebih diutamakan daripada sekadar label agama dalam konteks pemerintahan.

    • Tidak semua kondisi memungkinkan penerapan syariat secara menyeluruh; yang wajib dijaga adalah prinsip keadilan dan maslahat rakyat.

  9. Relevansi dengan Politik Kontemporer

    • Taliban menjadi contoh bahwa penerapan syariat secara total tanpa kesiapan dan strategi bisa gagal mempertahankan pemerintahan.

    • Perubahan sistem memerlukan pertimbangan kemampuan dan situasi, bukan sekadar idealisme.

    • Keadilan adalah fondasi; tanpa itu, pemerintahan akan runtuh, walaupun mengaku menerapkan agama.