KETIKA NIAT DAN BACAAN QUR’AN MENJADI SUMBER GANGGUAN

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis 


🌿 Pengantar

Dalam sebagian masyarakat, agama sering kali dikemas dalam bentuk ritual tambahan yang diyakini sebagai tanda kesungguhan, padahal tak pernah diajarkan Nabi ﷺ. Melafazkan niat sebelum salat atau memutar bacaan Qur’an dengan volume tinggi hingga mengganggu orang lain kerap dibungkus dengan label “kecintaan kepada agama”. Namun, apakah itu memang cinta, atau sekadar tradisi yang tidak teruji dalilnya?

Tadzkirah ini mengingatkan kita bahwa syariat dibangun atas ilmu dan hikmah, bukan kebiasaan tanpa panduan. Menjadikan agama sebagai ajang pamer, tren media sosial, atau bahkan sumber gangguan bagi orang lain justru mengkhianati tujuan ibadah itu sendiri. Jika Nabi ﷺ mengajarkan kelembutan dan pertimbangan, mengapa kita rela mengorbankan keduanya demi mempertahankan amalan yang tidak memiliki dasar?


📚 Faedah Lengkap

  1. Pembukaan Isu Melafazkan Niat

    • Melafazkan niat sebelum salat (misalnya, “Ushalli fardha al-zuhr…”) tidak ada dalam sunnah Nabi ﷺ maupun para sahabat.

    • Niat adalah kerja hati; syariat tidak pernah memerintahkan melafazkannya.

    • Semua perbuatan manusia secara alami diawali niat; tanpa niat, perbuatan itu tidak mungkin terjadi.

  2. Analogi tentang Hakikat Niat

    • Contoh: saat seseorang makan, ia tidak perlu melafazkan “Aku niat makan” — perbuatannya sudah menunjukkan niatnya.

    • Begitu pula jika seseorang memukul atau menusuk orang lain, tidak mungkin terjadi tanpa niat, kecuali jika tidak sadar.

    • Penekanan: jika benar-benar tidak ada niat, itu berarti perbuatan dilakukan tanpa kesadaran, yang secara hukum syara’ tidak dikenakan taklif.

  3. Masalah Kebiasaan Melafazkan Niat di Masyarakat

    • Tradisi melafazkan niat salat muncul sebagai kebiasaan, lalu dianggap bagian dari agama.

    • Ada orang yang merasa “tidak sah” salatnya jika tidak melafazkan niat — ini salah kaprah.

    • Menjadikan sesuatu yang tidak diajarkan Nabi ﷺ sebagai bagian dari ibadah adalah bid’ah.

  4. Larangan Mengganggu Orang di Masjid dengan Suara Keras

    • Berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud: Nabi ﷺ melarang mengangkat suara bacaan Al-Qur’an hingga mengganggu orang lain yang sedang beribadah.

    • Imam boleh membaca keras pada salat jahr (Maghrib, Isya, Subuh), tetapi jamaah atau individu lain tidak boleh bersuara keras sehingga mengganggu.

    • Di masjid, semua jamaah berhak khusyuk; suara keras dapat mengalihkan konsentrasi mereka.

  5. Kritik Tradisi Memutar Bacaan Keras

    • Dahulu ada kampung yang memutar zikir tengah malam dengan pengeras suara, membuat satu kampung tidak bisa tidur.

    • Syariat mengatur adab agar tidak mengganggu orang sakit, anak kecil, wanita haid (yang tidak salat), bahkan non-Muslim di sekitar.

    • Ibnu Jauzi dalam Talbis Iblis menyebut bahwa menganggap perbuatan bid’ah sebagai agama adalah tipuan syaitan.

  6. Gangguan di Ruang Publik

    • Memutar ceramah atau bacaan Qur’an keras-keras di ruang publik bisa mengganggu orang lain, termasuk non-Muslim.

    • Ini dapat menciptakan kesan buruk terhadap Islam, dianggap sebagai agama yang tidak menghormati privasi dan kenyamanan orang.

  7. Pendapat Ulama Kontemporer

    • Syaikh Ibn ‘Utsaimin: yang boleh disiarkan keluar masjid dengan speaker hanyalah azan.

    • Bacaan Qur’an atau ceramah tidak boleh diperdengarkan keluar jika mengganggu tetangga, bahkan di lingkungan 100% Muslim seperti Saudi.

  8. Fenomena Agama sebagai Tren

    • Ada orang yang memanfaatkan agama untuk popularitas, pencitraan, atau mengumpulkan dana.

    • Contoh: memamerkan ibadah di media sosial demi “likes” atau pujian.

    • Amalan pribadi seharusnya menjadi rahasia antara hamba dengan Allah, bukan konsumsi publik.

  9. Penutup – Prinsip Umum

    • Ibadah harus mengikuti tuntunan Nabi ﷺ, bukan selera atau kebiasaan masyarakat.

    • Tidak boleh mengganggu kenyamanan orang lain dengan alasan “menyebarkan agama”.

    • Menjaga adab dan hikmah dalam ibadah adalah bagian dari kesempurnaan agama.



TAMBAHAN INFORMASI :

Dalam kalimat “Tradisi melafazkan niat salat…” itu, kata tradisi maksudnya adalah kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun di tengah masyarakat, yang awalnya hanya dianggap sebagai cara atau metode tertentu, tapi kemudian dianggap bagian dari ajaran agama oleh sebagian orang.

📌 Jadi, perbedaan pentingnya:

  • Tradisi → praktik yang hidup di masyarakat, bisa muncul dari kebiasaan, budaya, atau pemahaman lokal.

  • Agama → ajaran yang bersumber dari dalil syar‘i (Al-Qur’an, Hadis, Ijma‘, Qiyas).

Dalam contoh ini, melafazkan niat bukanlah kewajiban syar‘i yang diajarkan Nabi ﷺ, tapi di banyak tempat ia menjadi tradisi yang diwariskan dan dianggap wajib, sehingga sulit dibedakan oleh sebagian orang antara kebiasaan masyarakat dan tuntunan agama yang asli.


🕰 Latar Belakang Historis Tradisi Melafazkan Niat Salat

1️⃣ Asal Konsep Niat

  • Dalam syariat Islam, niat adalah amalan hati yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan.

  • Dalil utama:

    إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
    "Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya." (HR. Bukhari & Muslim)

  • Nabi ﷺ dan para sahabat tidak pernah melafazkan niat salat dengan suara tertentu sebelum takbiratul ihram.


2️⃣ Munculnya Lafaz Niat

  • Periode awal: Pada generasi salaf, niat cukup di hati. Lafaz niat tidak dikenal.

  • Periode pertengahan: Dalam beberapa mazhab, sebagian ulama muta’akhkhirīn (generasi ulama akhir) menyarankan melafazkan niat lirih sebagai bantuan bagi orang yang sulit menghadirkan niat di hati, terutama bagi awam.

  • Contoh: Sebagian ulama Syafi‘iyyah membolehkannya sebagai ta‘wīn (bantuan), bukan kewajiban.

  • Catatan penting: Ini pendapat fiqh, bukan perintah langsung dari Nabi ﷺ.


3️⃣ Perkembangan Menjadi Tradisi

  • Di Nusantara (terutama wilayah bermazhab Syafi‘i), melafazkan niat diajarkan di surau, madrasah, dan pesantren sebagai bagian dari tata cara salat.

  • Lama kelamaan, kebiasaan ini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari syarat salat oleh masyarakat awam.

  • Akibatnya:

    • Banyak yang merasa tidak sah salatnya jika belum melafazkan niat.

    • Melafazkan niat dipahami sebagai syarat syar‘i, padahal asalnya hanyalah bantuan teknis.


4️⃣ Sikap Ulama

  • Pendapat yang membolehkan: Menganggapnya sebagai mubah atau mustahabb untuk membantu konsentrasi, selama tidak diyakini wajib.

  • Pendapat yang menolak: Menganggapnya bid‘ah idhāfiyyah (tambahan dalam ibadah) karena Nabi ﷺ tidak mencontohkan.

  • Semua sepakat: Hakikat niat tetap di dalam hati, lafaz hanyalah perkara tambahan.