WAHABI’ DI MATA BARAT DAN MELAYU: ANTARA FAKTA DAN LABEL

Di dunia Muslim, istilah "Wahabi" sudah lama menjadi kosa kata yang penuh muatan: bagi sebagian, ia identik dengan pemurnian akidah; bagi yang lain, ia hanyalah label untuk menyerang. Tapi benarkah semua yang disebut "Wahabi" adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab? Atau bahkan benar-benar mewakili pemikirannya? 

Tadzkirah ini membuka tirai antara fakta dan stigma. Ketika label digunakan tanpa ilmu, yang tersisa hanyalah prasangka. Sudah waktunya menimbang kembali: adakah kita benar-benar memahami siapa yang kita kritik?

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis



🧭 Pengantar

Dalam sejarah Islam kontemporer, tidak ada istilah yang seambigu "Wahabi". Ia bisa berarti gerakan tajdid, bisa juga berarti ekstremisme tergantung siapa yang berbicara, dari mana latarnya, dan kepada siapa tuduhan itu diarahkan.

Tadzkirah ini membuka diskursus dengan pendekatan kritis dan historis. Ia tidak menafikan adanya sisi keras dalam beberapa ekspresi gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun ia juga menolak simplifikasi bahwa semua bentuk tajdid atau Salafiyyah lantas otomatis adalah “Wahabi”. Bahkan istilah ini sendiri punya makna berbeda di dunia Barat dan di kalangan Melayu.

Dalam kerangka akademik, menuduh tanpa mendefinisikan adalah tindakan yang tidak sah. Dan membangun argumentasi berdasarkan label, tanpa memeriksa substansi, adalah kegagalan intelektual. Islam sendiri mengajarkan untuk menilai orang berdasarkan apa yang mereka katakan dan lakukan, bukan sekadar gelar yang ditempelkan pada mereka.


📚 Rangkuman Faedah


1️⃣ Asal-Usul dan Tujuan Gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab

  • Gerakan ini muncul sebagai upaya memberantas khurafat dan praktik takhayul di Jazirah Arab.

  • Secara fikih, Muhammad bin Abdul Wahhab bermazhab Hanbali dan terinspirasi oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.

  • Tujuan utamanya adalah pemurnian akidah dan ibadah, bukan untuk menumbangkan sistem politik tertentu.

  • Namun, gerakannya berkembang dalam iklim kering dan keras, memengaruhi pendekatannya yang tegas.


2️⃣ Perbedaan Konteks: India vs. Arab

  • Tokoh seperti Asy-Syaikh Waliullah ad-Dahlawī di India membawa pesan tajdid serupa, tetapi lebih halus karena pengaruh budaya lokal.

  • Gerakan India lebih cenderung mengakomodasi elemen spiritual dan tarekat.

  • Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi dakwah dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya.


POLITIK DALAM ISLAM: ANTARA AQIDAH DAN FIQH

Banyak kalangan hari ini membingkai politik sebagai bagian mutlak dari aqidah, hingga siapa yang berbeda pandangan dianggap menyimpang atau bahkan keluar dari garis Islam. Namun benarkah semua perkara politik itu menyentuh wilayah aqidah? 

Tadzkirah ini membuka ruang tafsir yang jernih dan proporsional: bahwa tidak setiap urusan pemerintahan, kekuasaan, dan strategi umat harus diletakkan di atas altar keyakinan pokok. Islam membedakan antara aqidah yang tetap dan fiqh yang fleksibel, antara prinsip abadi dan strategi ijtihadi. Inilah saatnya kita kembali menakar politik dalam timbangan yang adil—dengan ilmu, bukan emosi.

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis



🧭 Pengantar

Dalam khazanah keilmuan Islam, pembahasan tentang hubungan antara politik dan aqidah bukanlah tema baru. Namun, dalam era kontemporer yang penuh dengan semangat pergerakan dan mobilisasi wacana keagamaan, sering kali terjadi penyempitan makna aqidah hingga mencakup hal-hal yang semestinya berada di ranah fiqh atau siyasah.

Tadzkirah ini mengajak kita untuk memulai dari yang paling mendasar: definisi. Apa itu aqidah? Apa itu politik (siyāsah)? Dalam tradisi usuliyyah, mendefinisikan istilah adalah fondasi setiap pembahasan. Kesalahan dalam mendefinisikan akan berakibat pada kesalahan dalam menyimpulkan.

Politik dalam pandangan Islam adalah mengatur urusan umat dengan prinsip maslahat. Kata "siyasah" tidak ditemukan dalam Al-Qur’an secara langsung, namun disebutkan dalam hadis sahih. Ulama klasik seperti al-Imam an-Nawawī menjelaskan bahwa siyasah adalah bentuk pengurusan oleh para Nabi terhadap urusan umat, sebagaimana para pemimpin mengatur rakyat mereka.

Namun, menjadikan seluruh praktik politik sebagai bagian dari aqidah adalah bentuk pemutlakan yang berlebihan. Dalam sejarah Islam, kita mendapati figur seperti Nabi Yusuf ‘alayhissalām dan Raja Najasyi yang terlibat dalam sistem pemerintahan yang belum Islami secara hukum, namun tetap dinilai beriman dan saleh oleh Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa politik adalah ranah fiqh, bukan aqidah, selama prinsip pokok iman tetap terjaga.

Dengan pendekatan ilmiah, tadzkirah ini memperlihatkan urgensi membedakan antara prinsip keyakinan dan ijtihad strategi. Ia mendorong kita untuk tidak menggiring setiap perbedaan pandangan politik kepada vonis aqidah, karena hal itu justru mempersempit keluasan syariat dan merusak ukhuwah.


📚 Rangkuman Faedah

1️⃣ Definisi: Aqidah dan Politik Bukan Entitas yang Sama

  • Aqidah menyangkut keyakinan pokok yang bersifat tetap, seperti iman kepada Allah, Rasul, dan hari akhir.

  • Politik (siyasah) adalah pengelolaan urusan umat berdasarkan maslahat, bersifat ijtihadi, dan fleksibel.

  • Menyamakan keduanya adalah kekeliruan konseptual yang berisiko membawa implikasi hukum yang tidak proporsional.


2️⃣ Dalil: Politik Ada dalam Hadis, Bukan dalam Teks Aqidah Pokok

  • Kata "siyasah" tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi muncul dalam hadis riwayat Muslim, yang menunjukkan bahwa para Nabi dahulu mengatur urusan umat mereka.

  • Al-Imam an-Nawawī menjelaskan bahwa "tasūsuhum al-anbiyāʾ" berarti mengurus umat dalam urusan maslahat, bukan menanamkan keyakinan.

  • Maka, politik adalah aktivitas praktis, bukan keyakinan.


AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH: ANTARA SUNNAH YANG DIHIDUPKAN DAN KLAIM YANG DIPERDAGANGKAN

Menguak realitas dakwah yang benar-benar menghidupkan Sunnah di tengah dominasi narasi kelompok yang mengkapling kebenaran, membedah definisi hakiki Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bayang-bayang polarisasi keagamaan dan fanatisme label, serta menelusuri akar historis, landasan syar’i, dan distorsi konseptual yang melanda istilah ini di era kontemporer.

Oleh: Dr. Rozaimi Ramle - AJK Fatwa Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 03/2017



🎓 PENGANTAR

Dalam dunia Islam hari ini, ada satu istilah yang nyaris menjadi "label sakti" untuk menunjukkan kebenaran: "Ahlus Sunnah wal Jamaah". Sebagian menjadikannya panji kebanggaan, sebagian lain menggunakannya sebagai palu penghakiman. Bahkan, tidak sedikit yang secara gegabah menyematkan status "bukan Ahlus Sunnah" kepada saudara seiman hanya karena berbeda fikih, metode, atau ekspresi ibadah.

❗ Namun pertanyaannya: Apakah Ahlus Sunnah itu sekadar identitas kelompok?
❗ Apakah ia label geografis, tradisional, atau institusional?
❗ Apakah siapa yang paling lantang menyuarakan, otomatis menjadi pemilik sah istilah ini?

💥 Faktanya, Ahlus Sunnah bukan milik eksklusif siapa pun, tetapi merupakan manhaj (metodologi) hidup yang dibangun di atas kesetiaan kepada Nabi ﷺ, penghormatan kepada para sahabat, dan komitmen menjaga persatuan umat (jamaah) sesuai prinsip Islam.

📚 Ringkasan Faedah

📌 1. Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak Memahami Istilah yang Diklaim Banyak Pihak

Kajian ini dibuka dengan penekanan bahwa istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah istilah yang agung namun sering kali digunakan secara serampangan. Banyak kelompok mengklaim sebagai bagian darinya, padahal secara prinsip dan sikap sangat jauh dari metodologi Ahlus Sunnah yang sejati.

Klaim ini berbahaya karena:

  • Bisa menjadi alat eksklusivitas.

  • Bisa mendorong kepada penyesatan (tabdi’) bahkan pengkafiran (takfir) terhadap pihak lain.

  • Tidak jarang menjerumuskan umat ke dalam perpecahan dan penghalalan darah.


📖 2. Dasar Dalil: Sunnah dan Jama’ah Sebagai Pilar Utama

Rasulullah ﷺ telah memberikan wasiat dalam hadits al-‘Irbāḍ bin Sāriyah:

"فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي..."
“Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafā’ Rāsyidūn yang diberi petunjuk sepeninggalku…” (HR. Abu Dawud, sahih)

Hadis ini menjadi fondasi bahwa:

  • Ahlus Sunnah adalah mereka yang loyal terhadap Sunnah Nabi dan para sahabat.

  • Bukan sekadar mengaku-ngaku mengikuti Sunnah, tapi menjadikannya metodologi hidup.