MELANTIK NON-MUSLIM MENJADI PEMIMPIN ATAU WAKIL RAKYAT DALAM SISTEM DEMOKRASI

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


Di negara demokratis seperti Malaysia dan Indonesia, yang warganya datang dari beragam agama, isu kepemimpinan non-Muslim selalu jadi perbincangan hangat. Al-Qur’an memang melarang umat Islam menjadikan orang kafir sebagai awliyāʼ—pelindung dan penentu arah hidup. Tapi, menariknya, sejarah Islam awal justru mencatat hal berbeda: Khalifah Umar bin al-Khattab pernah mempercayakan seorang Nasrani sebagai sekretaris keuangan, dan di zaman Umayyah maupun Abbasiyah banyak non-Muslim ikut serta dalam jabatan teknis-administratif tanpa bersentuhan dengan urusan syariat. Fakta ini seolah mengingatkan kita: larangan tersebut bukanlah mutlak, melainkan kontekstual. Jadi, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah—dalam sistem demokrasi modern, sanggupkah umat Islam membedakan antara kepemimpinan inti yang memang wajib Muslim dengan jabatan publik teknis yang bisa dipegang non-Muslim demi kemaslahatan bangsa yang majemuk?


PENGANTAR

Dalam konteks negara Muslim demokratis seperti Malaysia dan Indonesia, di mana sistem politik berjalan secara terbuka dan masyarakatnya majemuk dalam agama, isu kepemimpinan non-Muslim menjadi sangat relevan untuk dibahas. Al-Qur’an memang mengingatkan agar kaum Muslim tidak menjadikan orang kafir sebagai awliyāʼ (pelindung dan penentu arah hidup). Namun, apakah larangan itu berlaku mutlak terhadap semua non-Muslim, atau hanya ditujukan pada mereka yang jelas memusuhi Islam? Pertanyaan ini semakin menantang ketika demokrasi memberi hak politik setara bagi semua warga negara.

Menariknya, sejarah Islam awal memberi contoh: pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, seorang Nasrani pernah dipercaya sebagai sekretaris keuangan (kātib al-kharāj) karena kepakarannya dalam administrasi. Pada era Umayyah dan Abbasiyah awal, pejabat non-Muslim juga ditemukan dalam posisi teknis, terutama dalam bidang keuangan, diplomasi, dan penerjemahan. Fakta ini menyingkap satu hal penting: sejak generasi awal, umat Islam sudah membedakan antara kepemimpinan inti yang menyangkut dasar-dasar agama dan negara (yang hanya untuk Muslim) dengan jabatan teknis-administratif yang bisa dipegang non-Muslim demi kemaslahatan. Maka, apakah wajar jika hari ini kita kembali menimbang ulang larangan itu dalam bingkai teks suci dan realitas demokrasi modern?

GAZA: UJIAN AQIDAH ATAU SEKADAR KONFLIK POLITIK

Oleh: 
  • Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis
  • Shahibus Samahah Al Fadhil Ustaz Fawwaz - Mufti Wilayah Federasi Malaysia
Acara: Pentas Peduli Gaza @ Dataran Merdeka Kuala Lumpur Malaysia, Tema: Solidaritas Umat untuk Palestina. Turut dihadiri oleh PMX - Arsip 24/08/2025



🌍 PENGANTAR

Isu Gaza bukan sekadar berita duka dari Timur Tengah, melainkan cermin kondisi umat Islam secara global. Forum Pentas Peduli Gaza @ Dataran Merdeka menghadirkan renungan mendalam: bagaimana mungkin umat dengan lebih dari 1,6 miliar jiwa tampak begitu lemah di hadapan segelintir musuh? Jawabannya tidak terletak pada kekuatan senjata semata, tetapi pada kelemahan internal—perpecahan, cinta dunia, dan abainya umat terhadap amanah Allah. Diskusi ini mengungkap bahwa Gaza adalah ujian aqidah, bukan sekadar konflik politik.

Lebih jauh, forum ini menegaskan bahwa membela Gaza berarti membela kehormatan Islam sendiri. Masjid al-Aqṣā adalah simbol aqidah, tanah para nabi adalah warisan suci, dan penderitaan rakyat Palestina adalah panggilan iman. Doa, solidaritas, pendidikan generasi, hingga pengorbanan nyata ditawarkan sebagai jalan kebangkitan umat. Membaca rangkuman ini bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menantang hati: apakah kita masih sekadar penonton, atau siap menjadi bagian dari perjuangan yang lebih besar?


📖 Rangkuman Lengkap


Bagian 1: Pembukaan Acara dan Doa

1.1. Salam dan Tahmid

Acara dimulai dengan salam dan puji syukur kepada Allah ﷻ, serta shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Pembicara membuka dengan mengingatkan hadirin bahwa pertemuan ini adalah majlis ilmu dan solidaritas umat.

1.2. Doa Permohonan

Doa dibacakan agar:

  • Allah menurunkan rahmat-Nya kepada umat Islam.

  • Memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin yang dizalimi.

  • Memberikan kekuatan kepada hadirin untuk bersatu dalam menegakkan kebenaran.

SIFAT SEORANG PEMIMPIN

Oleh: Prof. Dr. Rozaimi Ramle - Fiqh wa Ushuluhu Mu'tah Universiti of Jordan, AJK Fatwa Negeri Perlis - Seminar Ilmu Tema Leadership , Arsip 7/2025

Semua orang ribut soal siapa yang pantas jadi pemimpin. Tapi, tahukah kita apa sifat pemimpin sejati menurut Islam? Ppemimpin sejati bukan sekadar populer, tapi punya visi, adil, amanah, dan meneladani Nabi ﷺ. Pertanyaannya, apakah pemimpin kita hari ini—atau bahkan diri kita sendiri—sudah memenuhi standar itu?

🔰 PENGANTAR

Semua orang bicara soal pemimpin: siapa yang layak, siapa yang gagal, siapa yang harus diganti. Tapi jarang sekali kita bertanya dengan jujur: apa sebenarnya sifat seorang pemimpin yang diakui dalam Islam? Apakah cukup bermodal popularitas? Atau sekadar keberanian berorasi? Atau justru kepemimpinan adalah amanah berat yang akan menyeret kita pada kehinaan di akhirat jika disalahgunakan?

Dalam kuliah ini, pemateri membongkar standar kepemimpinan Islami yang sering kita abaikan: kejelasan visi, keteladanan Nabi, keadilan tanpa pilih kasih, hingga amanah dalam setiap detik waktu kerja. Pertanyaannya menusuk: jika Nabi sendiri menolak kepemimpinan tanpa kesiapan, lalu mengapa kita begitu mudah menobatkan siapa saja hanya karena gelar atau kekuasaan? Dan lebih jauh lagi, sudahkah kita memimpin diri dan keluarga dengan standar yang sama—atau jangan-jangan kita pun termasuk yang gagal memimpin?



📒 Rangkuman Kuliah


🕌 Bagian 1: Pendahuluan dan Konteks Kepemimpinan

1.1 Pembukaan dan Salam

Kuliah dibuka dengan:

  • Salam Islami (Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh)

  • Pujian kepada Allah (Alhamdulillah)

  • Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW

  • Ucapan terima kasih kepada pimpinan majlis serta hadirin


1.2 Latar Belakang: Kepemimpinan dalam Setiap Tingkatan

Pemateri menyampaikan bahwa topik "Sifat Seorang Pemimpin" adalah topik yang sangat luas.

Islam memandang bahwa kepemimpinan itu ada pada setiap tingkatan, tidak hanya pada level tertinggi seperti pemimpin negara.

🔑 Poin Kunci:

  • Setiap individu adalah pemimpin dalam ruang lingkupnya masing-masing.

  • Tingkatan kepemimpinan meliputi:

    • Pimpinan Tertinggi Negara

    • Suami (pemimpin keluarga)

    • Istri (pemimpin di rumah suaminya)

  • Kepemimpinan adalah sebuah keperluan (kebutuhan) dalam kehidupan manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa sistem kepemimpinan.


1.3 Konsep Jama'ah dan Ketaatan

Pemateri menjelaskan makna hadits tentang "mati jahiliyah" secara kontekstual.

Beliau menekankan bahwa yang dimaksud "keluar dari jama'ah" bukanlah keluar dari partai politik atau organisasi tertentu.

📜 Hadits & Penjelasan:

ANTARA TAAT DAN MENGKRITIK: FIQH HUBUNGAN UMAT DENGAN PEMERINTAH

Menyingkap panduan syariat dalam menjaga keseimbangan antara kewajiban taat dan hak mengkritik pemerintah, tanpa jatuh dalam fitnah anarkhis.
 
Panelis: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 05/2023



🌿 PENGANTAR

Apa arti taat kepada Ulil Amri di zaman sekarang? Apakah berarti menutup mata atas segala kebijakan pemerintah, walaupun zalim? Atau justru berarti berani mengkritik dengan cara yang benar, tanpa jatuh ke dalam dosa pemberontakan?

Inilah pertanyaan besar yang sering membingungkan banyak muslim. Sebagian orang bersuara lantang: “Pemimpin harus ditaati walau zalim!” Sebagian lain membalas dengan nada keras: “Tidak! Jika zalim, wajib dilawan!” Lalu di manakah posisi yang benar menurut syariat?

📌 Diskusi ilmiah bersama Shahibus Samahah Mufti Negeri Perlis ini mencoba menjawabnya dengan mengambil tema “Ulil Amri: Antara Taat dan Ijtihad” melalui pendekatan al-Qur’an, hadis sahih, pendapat para ulama, sejarah Khulafā’ Rāsyidīn, hingga persoalan kontemporer seperti demokrasi, media sosial, dan pluralitas mazhab.

Beberapa pertanyaan mendasar yang dibahas antara lain:

  • Apa makna Ulil Amri dalam istilah Islam?

  • Sampai di mana batas ketaatan rakyat kepada pemimpin?

  • Apakah kritik dan perbedaan pendapat dengan pemerintah dibolehkan?

  • Bagaimana hukum keluar (khuruj) melawan penguasa?

  • Apa pelajaran dari praktik para sahabat dan imam mazhab?

Diskusi ini penting bukan hanya untuk pelajar syariah, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami bagaimana Islam mengatur hubungan antara rakyat, ulama, dan pemerintah.

⚖️ Di dalamnya kita akan menemukan bahwa Islam bukan agama otoritarian yang membenarkan ketaatan buta, dan juga bukan agama anarkis yang menghalalkan pemberontakan setiap kali tidak puas. Islam menekankan ketaatan yang bersyarat, kritik yang konstruktif, serta ijtihad pemerintah dalam menjaga kemaslahatan umat.

Selamat menyelami sebuah pembahasan yang tidak hanya akademik, tetapi juga menyentuh realitas hidup berbangsa dan bernegara.



📘 Rangkuman Faedah

Bagian 1: Pendahuluan dan Definisi Ulil Amri

1.1. Pengenalan Topik

  • Pembahasan dimulai dengan pengenalan topik utama, yaitu konsep Ulil Amri (أُولِي الْأَمْرِ) yang mencakup:

    • Ketaatan (ṭā‘ah - طاعة)

    • Ijtihad (اجتهاد) atau perbedaan pendapat (isythetat/ikhtilaf - اشتهات/اختلاف)

  • Panelis meminta perhatian penuh karena topik ini dianggap cukup kompleks dan mendalam.

1.2. Panelis

  • Diskusi dipandu oleh seorang moderator dengan panelis yang diperkenalkan.

  • Salah satunya adalah Shahibus Samahah Dato' Arif Pekasa, Dr. Asri Zainal Abidin - Mufti Kerajaan Negeri Perlis, yang diminta untuk memberikan penjelasan awal (mukadimah - مقدمه).

1.3. Pertanyaan Pembuka

Moderator mengajukan beberapa pertanyaan kunci untuk memandu diskusi:

  • Apa makna bahasa dan istilah Ulil Amri?

  • Di mana posisi Ulil Amri dalam struktur Islam?

    • Apakah mereka hanya berfungsi sebagai pemberi nasihat (penasihat)?

    • Apakah hanya sebagai pengawas (hisbah - حسبه)?

    • Ataukah memiliki peran lebih?

  • Bagaimana pemahaman yang benar tentang kedudukan Ulil Amri?


Bagian 2: Kedudukan dan Kewajiban Taat kepada Ulil Amri

2.1. Konteks Sosial dan Kebutuhan akan Pemerintahan

  • Mufti menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mustahil hidup sendiri.

  • Untuk mengatur kehidupan sosial dan mencegah kekacauan (huru hara - هروهارا), Islam menetapkan:

    • Sistem kepemimpinan (imamah - إمامة)

    • Pemerintahan (ulil amri - أولي الأمر)

    • Politik syar‘i (siyāsah syar‘iyyah - سياسة شرعية)

DIALOG SENSITIF, JAWABAN TEGAS: MUFTI MENYIBAK TABU DALAM WACANA ISLAM

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Q&A dengan Masyarakat Non-Muslim Negeri Perlis. Ramadhan 2025 di Masjid Alwi Kota Kangar, Ibukota Negeri Perlis



🔎 Pertanyaan-pertanyaan panas tentang poligami, hijab, kebebasan beragama, hingga pernikahan Nabi dengan Aisyah kerap dijadikan bahan serangan terhadap Islam. Dalam dialog ini, Mufti menjawabnya secara akademik, rasional, dan penuh hikmah, sekaligus meruntuhkan prasangka yang selama ini dipelihara oleh ketidaktahuan.

PENGANTAR

Di era masyarakat majmuk seperti hari ini, pertanyaan-pertanyaan sensitif tentang agama kerap kali muncul, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Mengapa Islam melarang penggambaran Nabi Muhammad? Bagaimana sebenarnya konsep poligami dipahami? Apakah Islam mendorong pemaksaan keyakinan kepada orang lain? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering dipandang tabu, bahkan dianggap berbahaya untuk diutarakan. Namun, justru dari sinilah titik tolak sebuah dialog intelektual yang sehat seharusnya dimulai.

Dialog publik bersama seorang Mufti ini menawarkan sebuah model: keterbukaan tanpa kehilangan prinsip. Jawaban-jawaban yang diberikan tidak hanya berpijak pada dalil Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga dikontekstualisasikan dengan realitas sosial, logika akal sehat, bahkan perbandingan lintas budaya dan sejarah. Di sinilah letak kekuatan Islam sebagai agama yang hidup — bukan sekadar doktrin kaku, melainkan panduan universal yang mampu menjawab keresahan manusia dari zaman ke zaman.


📘 Rangkuman Dialog Harmoni: Memahami Islam dalam Masyarakat Majemuk


Bagian 1: Pembukaan dan Konteks Acara

🎤 Moderator membuka acara buka puasa bersama yang dihadiri oleh komunitas multikultural Perlis, termasuk perwakilan dari:

  • Persatuan Buddha Perlis

  • Chinese Chamber of Commerce

  • Komunitas India

  • Komunitas Siam

  • Saudara Baru (Mualaf) yang aktif mengikuti kelas di Percim dan Hidaya Center

📌 Tujuan Acara:

  1. Berbagi Pesan Islam: Menyampaikan mesej Islam kepada semua pihak.

  2. Membangun Hubungan Harmonis: Mempererat hubungan antar bangsa dan agama di Perlis.

  3. Melanjutkan Inisiatif: Merupakan kelanjutan dari program sebelumnya seperti kunjungan ke persatuan non-Muslim dan pertemuan pemimpin agama di rumah Mufti.

📝 Ringkasan Bagian 1:
Acara ini adalah bagian dari strategi proaktif Pusat Kebijaksanaan Islam Perlis (Perlis Centre of Wisdom) untuk membangun harmoni dengan pendekatan khas Perlis, melalui dialog dan silaturahmi langsung.


Bagian 2: Pengenalan Praktik Ibadah di Masjid oleh Mufti

👨‍⚖️ Mufti menyambut hangat dan menjelaskan dasar-dasar aktivitas di masjid kepada tamu non-Muslim.

Sub-bab 2.1: Arah Kiblat dan Tata Cara Shalat

  • Qiblat: Umat Islam menghadap ke arah Ka'bah di Makkah saat shalat. Ini adalah simbol disiplin dan kesatuan, bukan menyembah Makkah.

  • Shaf (Barisan): Shalat dilakukan dalam barisan rapat yang dipimpin oleh seorang Imam. Makmum mengikuti semua gerakan Imam.

  • Pemisahan Area: Area shalat untuk laki-laki dan perempuan dipisah untuk menjaga kekhusyukan dan etika.

AMANAH ILAHI DI BALIK TEMBOK MASJID: ANTARA KEIKHLASAN, INTEGRITAS, DAN UJIAN DUNIAWI

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 08/2025

Pengurusan masjid bukan sekadar soal kebersihan bangunan dan aturan administrasi, melainkan refleksi iman yang mempertaruhkan integritas, kejujuran finansial, dan ketahanan spiritual. Di sinilah teruji apakah para pengurus benar-benar berorientasi kepada Allah atau tergelincir pada jebakan duniawi berupa pujian, gengsi, dan godaan materi.

PENGANTAR

Pengurusan masjid sering kali dipandang sebatas urusan teknikal—menjaga kebersihan, mengurus dana, dan mengatur jadwal ibadah. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, ia adalah amanah ilahi yang penuh dengan dimensi spiritual, sosial, dan moral. Menjadi pengurus masjid berarti memikul takdir besar yang tidak semua orang mendapatkannya, sebuah posisi yang oleh Al-Qur’an ditempatkan pada martabat mulia. Justru di titik inilah, kesetiaan pada Allah SWT diuji: apakah pengurus mampu menjaga integritas dan keikhlasan, ataukah tergoda oleh popularitas, gengsi, dan kepentingan duniawi.

Lebih provokatif lagi, masjid kerap dijadikan panggung pembuktian—antara pengurus yang benar-benar ikhlas dan mereka yang sekadar mengejar nama. Transparansi dana, larangan komersialisasi, serta peringatan keras agar tidak menjadikan masjid sebagai ajang adu gengsi adalah indikator sejauh mana amanah ini dijaga. Maka, pertanyaan kritis yang muncul bukan sekadar “sejauh mana masjid dimakmurkan,” tetapi juga “apakah pengurusnya benar-benar makmur dengan nilai ilahi, atau justru terjebak dalam simbol kosong yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah?”


📘 Rangkuman Kuliah: Amanah dan Tanggungjawab Pengurus Masjid


Bagian 1: Pembukaan dan Konteks Amanah

🎤 Pembukaan:
Pembicara membuka dengan salam dan penghormatan kepada para hadirin, termasuk CEO MAIPS, Pengarah JAIP, Chancellor, Profesor, Imam Besar, dan seluruh jemaah yang hadir.

📌 Poin-Poin Penting:

  • Niat Berbagi: Materi ini adalah berbagi pengalaman (perkongsian bersama), bukan pengajaran satu arah.

  • Takdir sebagai Amanah: Hidup manusia diisi dengan takdir-takdir yang memberi peluang berbuat kebaikan. Salah satu takdir terbesar adalah diamanahkan mengurus masjid.

  • Kemuliaan Amanah: Masjid adalah tempat yang paling disukai Allah. Ditakdirkan menjadi pengurusnya adalah kehormatan besar (syaraful ‘azhim).

📝 Ringkasan Bagian 1:
Pengurus masjid harus menyadari bahwa posisi mereka adalah takdir dan kehormatan ilahi, bukan sekadar jabatan administratif. Kesadaran ini menjadi fondasi utama dalam menjalankan semua tugas selanjutnya.

NON-MUSLIM BERTANYA, MUFTI MENJAWAB: MEMBONGKAR TABIR SENSITIF AGAMA DAN BUDAYA

Podcast Non-Muslim Bertanya Mufti Menjawab, bersama: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 08/2025


Diskusi intelektual antara Apek Cina dan Shahibus Samahah Mufti Negeri Perlis Dato Dr. MAZA ini bukan sekadar membicarakan hukum agama, melainkan juga menguji ketahanan wacana Islam ketika berhadapan dengan soalan-soalan kritis tentang keadilan gender, kebebasan beragama, moral policing, hingga identiti Malaysia di antara label “sekular” dan “Islam”. Dialog ini sekaligus menyingkap realiti bahawa isu-isu seperti faraid, poligami, hijab, dan kebebasan individu seringkali menjadi medan ujian antara ideal agama, tafsiran ulama, dan pengalaman hidup masyarakat majmuk.

PENGANTAR

Dialog terbuka antara seorang non-Muslim, Apek Cina (Tai Tzu Hao), dan Mufti Perlis, Dr. MAZA, membuka ruang diskusi yang jarang sekali terjadi secara terbuka di hadapan khalayak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak berhenti pada perkara teknikal agama, tetapi terus menyentuh aspek sensitif seperti hukum faraid yang dianggap berat sebelah gender, praktik poligami yang kerap dipolemikkan, hingga soal kebebasan beragama dan moral policing terhadap wanita muslim yang tidak berhijab. 

Lebih jauh, dialog ini menyingkap kerumitan hubungan antara tafsir agama, budaya setempat, dan realiti sosial negeri yang majmuk. Pertanyaan provokatif dari Apek Cina mencerminkan keresahan masyarakat bukan Islam terhadap bagaimana hukum Islam dipraktikkan dalam ranah publik, sementara jawaban Shahibus Samahah Mufti menghadirkan perspektif bahawa keadilan dalam Islam hanya dapat difahami apabila sistemnya dilihat secara menyeluruh. Di sinilah pertembungan antara ideal agama, tafsiran ulama, dan aspirasi masyarakat majmuk menemukan ruang dialektika yang tidak hanya menegangkan, tetapi juga mencerahkan.


📘 Rangkuman Podcast


Bagian 1: Pembukaan dan Konteks Dialog

🎤 Moderator membuka acara dengan mengucapkan salam dan memperkenalkan segmen khusus "Wisdom Talk Show" dengan tamu dari Kuala Lumpur, Saudara Tai Tzu Hao yang dikenal sebagai "Apek Cina".

📌 Poin-Poin Penting:

  • Disclaimer: Moderator menekankan bahwa semua pertanyaan yang akan diajukan bersifat akademik dan bukan untuk provokasi atau propaganda. Tujuannya adalah edukasi dan klarifikasi.

  • Tujuan Dialog: Menciptakan ruang untuk pertanyaan jujur dari komunitas non-Muslim, khususnya etnis Tionghoa, yang mungkin dianggap "panas" atau sensitif, tetapi perlu dijawab untuk menghilangkan prasangka dan menyelesaikan ketidakpahaman.


Bagian 2: Pertanyaan 1 – Keadilan dalam Hukum Waris (Faraid) Islam

👨‍💼 Penanya: Apek Cina (sebagai pengamat hukum)
Pertanyaan: Terkait hukum waris (Faraid) Islam yang memberikan porsi lebih besar kepada anak laki-laki daripada perempuan. Apakah ini adil, mengingat laki-laki juga punya kewajiban (seperti menafkahi) keluarga perempuan? Apa peran pemerintah dalam menegakkan keadilan bagi wanita?

👨‍⚖️ Jawaban Dr. MAZA (Mufti Perlis):

Sub-bab 2.1: Memahami Sistem Islam Secara Holistik

  • Islam harus dipahami sebagai sistem yang utuh, bukan sepotong-sepotong. Memahami hanya satu aspek (seperti waris) tanpa melihat kewajiban lain akan menimbulkan persepsi ketidakadilan.

  • Tanggung jawab laki-laki dalam Islam sangat luas dan berat: menafkahi keluarga, memberikan perlindungan (baik kepada istri, anak, adik, maupun orang tua), dan membayar mahar. Semua beban finansial utama berada di pundak laki-laki.

  • Harta warisan yang didapatkan laki-laki (2 bagian) pada akhirnya akan dibelanjakan untuk memenuhi berbagai tanggung jawabnya tersebut kepada banyak orang. Sementara harta wanita (1 bagian) adalah miliknya sepenuhnya dan tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahi orang lain.

MERDEKA PADA ZAHIR, TERJAJAH PADA JIWA: KRISIS IDENTITAS UMAT ISLAM KONTEMPORER

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


Walaupun kolonial Barat telah lama diusir, penjajahan gaya hidup dan pemikiran masih membelenggu umat. Jiwa yang seharusnya hanya mengabdi kepada Allah kini terikat pada sistem, tren, dan kekuasaan manusia. Jika kemerdekaan hanya berhenti pada simbol politik, maka umat tetap tawanan batiniah. Inilah ironi sejarah: tubuh bebas, tetapi hati masih dijajah.


PENGANTAR

Kemerdekaan sering diagungkan sebagai puncak martabat bangsa, namun benarkah umat Islam hari ini benar-benar merdeka? Di pentas sejarah, penjajah Barat mungkin telah diusir, bendera kebangsaan mungkin sudah dikibarkan, tetapi hakikatnya masih ramai yang menjadi tawanan ideologi, budaya, dan hawa nafsu. Pertanyaan kritisnya: apakah kita sekadar merdeka pada jasad, tetapi tetap terbelenggu pada jiwa?

Islam sejak awal diturunkan bukan hanya untuk membebaskan tanah air dari penjajahan lahiriah, tetapi lebih mendalam lagi—untuk memerdekakan jiwa manusia daripada perhambaan sesama makhluk. Ketika manusia tunduk kepada hawa nafsu, sistem Barat, atau tekanan masyarakat, hakikatnya mereka belum merdeka meskipun mengibarkan slogan kemerdekaan. Di sinilah letak provokasi intelektualnya: beranikah kita mengaku sebagai umat yang merdeka, sementara hati kita masih diikat oleh belenggu selain Allah?


📖 Rangkuman 


🟢 Makna Kemerdekaan Sejati 🕊️

  • Pertanyaan pokok: Apa arti kemerdekaan yang ditanamkan kepada generasi muda hari ini?

  • Jawaban Islam: Jiwa Muslim sentiasa merdeka – baik dijajah ataupun tidak.

  • Hakikat: Seorang Muslim adalah hamba Allah semata, bukan hamba kepada manusia.

Hikmah:

  • Ubudiyah (pengabdian) hanya kepada Allah membuat jiwa bebas dari tunduk kepada makhluk.


🟢 Risalah Islam Membawa Kemerdekaan 🌍

  • Kisah Rib‘ī bin ‘Amir di hadapan panglima Parsi:

    • Islam datang untuk:

      1. Mengeluarkan manusia dari perhambaan sesama manusia → menjadi hamba Allah.

      2. Dari kezaliman agama-agama → kepada keadilan Islam.

      3. Dari sempitnya dunia → kepada keluasan dunia & akhirat.

Dalil Qur’an:

  • أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ“Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23).

Hikmah:

  • Jika tidak jadi hamba Allah → manusia tetap jadi hamba selain-Nya (hawa nafsu, artis, idola, pemimpin).

KHAZANAH KEILMUAN ISLAM: ANTARA WARISAN ULAMA DAN BAHAYA FANATISME

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Perkampungan Sunnah Siri ke 4 Tajuk Kegemilangan Para Imam Mujtahid, Tarikh 2017


Para imam mujtahid meninggalkan warisan ilmu yang luas, saling menghormati, bahkan mengubah pandangan mereka ketika menemukan dalil yang lebih kuat. Ironisnya, sebagian umat Islam kini justru mengurung diri dalam fanatisme mazhab sempit, seakan kebenaran hanya terhimpun pada satu tokoh. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar pewaris para ulama, atau sekadar pewaris perpecahan yang lahir dari kejahilan?

PENGANTAR

Ilmu dalam Islam bukan sekadar aksesori ibadah, tetapi fondasi yang membezakan manusia berakal dari mereka yang tenggelam dalam kegelapan kejahilan. Sejak wahyu pertama, Islam diletakkan di atas dasar pengetahuan dan hujah, menjadikan ulama sebagai pewaris para nabi dan ilmu sebagai warisan paling agung. Namun, ironisnya, di tengah umat yang memiliki khazanah intelektual seluas samudera, masih ramai yang fanatik buta pada mazhab tertentu, cepat menghukum pandangan lain sebagai “sesat,” tanpa menyedari bahawa perbedaan itu pernah lahir dari ijtihad para imam besar yang kita muliakan hari ini.

Pertanyaan provokatifnya: bagaimana mungkin kita mengaku mencintai ilmu tetapi tetap mendewakan taklid, sedangkan para imam sendiri pernah mengubah pandangan mereka demi kebenaran? Jika para tokoh agung seperti Imam Syafi‘i, Imam Malik, atau Imam Ahmad berani menanggung dera, hinaan, bahkan penjara demi mempertahankan hujah, apakah kita rela mewarisi keberanian itu—atau kita sekadar mewarisi kebiasaan bertengkar tanpa ilmu? Islam mengangkat martabat ulama bukan kerana pakaian mereka, tetapi kerana keberanian mereka menegakkan ilmu dengan sabar dan yakin.


📖 Rangkuman 


🟢 Pembukaan – Islam Agama Ilmu 📚

  • Islam bukan agama khurafat atau taklid buta, tapi agama hujah & ilmu.

  • Allah menegaskan: orang berilmu tidak sama dengan orang jahil.

Dalil Qur’an:

  • قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (QS. Az-Zumar: 9).

  • إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (QS. Fāṭir: 28).

Faedah:

  • Ilmu menumbuhkan rasa takut kepada Allah.

  • Kejahilan = sumber kerusakan agama.


🟢 Ilmu sebagai Tanda Kebaikan 🌟

Hadis utama:

  • Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, Allah faqihkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari & Muslim).

  • Nabi ﷺ hanyalah pembagi ilmu, Allah yang memberi pemahaman.

Faedah kecil:

  • Doa Nabi ﷺ: رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (Ya Allah tambahkanlah aku ilmu).

  • Kejahilan wajib diperangi, ilmu wajib ditegakkan.

ALLAH AKAN MENOLONG PEMERINTAH YANG ADIL SEKALIPUN KAFIR

فَإِّنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازعُوا فِّي أَنَّ عَاقِّبَةَ الظُّلْمِّ وَخِّيمَةٌ وَعَاقِّبَةُ الْعَدْلِّ كَرِّيمَةٌ وَلِّهَذَا يُرْوَى: اللََُّّه يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِّلَةَ وَإِّنْ كَانَتْ كَافِّرَةً وَلََا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِّمَةَ وَ إِّنْ كَانَتْ مُؤْمِّنَةً 

ٍSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan, sedangkan balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa ‘Allah akan menolong pemerintah yang adil sekalipun kafir dan akan membinasakan pemerintah yang zalim sekalipun beriman’. [Majmū’ Al-Fatāwā, ed. Abdurrahman bin Muhammad Qasim (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, 1995) 28: 63]

Oleh: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 2012

Dari pena Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah hingga sejarah Najasyi, Islam mengajarkan bahwa keadilan melampaui sekadar identitas agama. Pemimpin kafir yang adil bisa menjadi pelindung umat, sedangkan pemimpin Muslim yang zalim dapat menghancurkan bangsanya sendiri, memaksa rakyat mencari suaka di negeri yang dianggap “musuh”.

Karena esensi politik (pentadbiran) secara umum adalah firman Allah ta'ala : 

 إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًۭا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu memberikan amanah (suatu urusan) kepada orang yang layak (berkualifikasi), dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu... (QS. An-Nisa 58)

Urusan-urusan duniawi manusia akan lebih tertegak dengan keadilan walaupun di dalamnya terdapat perbuatan-perbuatan dosa, dibandingkan dengan kezaliman yang di dalamnya tidak disertai dengan perbuatan-perbuatan dosa lainnya… Apabila perkara dunia ditegakkan dengan keadilan (oleh orang kafir), maka akan tertegak walaupun pelaku adil tersebut tidak akan mendapatkan pahala di akhirat. Kapan saja perkara dunia tidak ditegakkan dengan keadilan, perkara dunia tersebut tidak akan tegak, meskipun pemiliknya memiliki iman yang dapat memberinya pahala di akhirat). [Ahmad Ibn Taimiyah, Al-Amru Bi Al-Ma’rūf Wa Al-Nahyu ‘an Al-Munkar (Wizarah Syu`un al-Islamiyyah wa al-Da’wah wa al-Irsyad, n.d.). 29]

🌿 Pengantar

Keadilan adalah oksigen bagi sebuah negara—tanpanya, tak peduli seberapa banyak simbol agama berkibar, rakyat akan tercekik. Ibnu Taymiyyah pernah menegaskan bahwa Allah akan menolong negara kafir yang adil, namun tidak akan menolong negara Muslim yang zalim. Pernyataan ini menampar persepsi sempit sebagian umat yang mengira cukup dengan label “Islam” untuk menjamin keberkahan pemerintahan. Sejarah membuktikan, kezaliman dapat membuat kaum Muslim sendiri lari mencari perlindungan di negeri yang non-Muslim tetapi adil.

Kisah Najasyi di Habasyah menjadi saksi. Raja Kristen yang diam-diam memeluk Islam ini melindungi umat Muhammad ﷺ dari kezaliman Quraisy, tanpa harus mengumumkan keimanannya dan tetap memimpin dalam sistem yang ada. Bahkan Rasulullah ﷺ tidak memintanya mundur atau mengubah seluruh sistem negaranya. Pesan besarnya jelas: keadilan dan kemaslahatan rakyat adalah fondasi politik Islam, sedangkan formalisme agama tanpa keadilan hanyalah topeng yang menunggu untuk runtuh.


📚 Faedah Lengkap

  1. Pertanyaan dan Landasan Bahasan

    • Seorang penanya mengangkat pendapat Ibn Taymiyyah tentang kepemimpinan: Allah akan menolong pemerintahan yang adil walau kafir, dan tidak akan menolong pemerintahan Muslim jika zalim.

    • Pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk membahas prinsip politik Islam: keadilan sebagai syarat keberlangsungan sebuah pemerintahan.

  2. Penjelasan Ibn Taymiyyah

    • Pernyataan tersebut termaktub dalam kitab As-Siyāsah Asy-Syar’iyyah.

    • Penekanan: Allah bersama pemerintahan yang adil, walaupun pemimpinnya kafir.

    • Manusia bisa hidup aman di bawah pemimpin kafir yang adil, tetapi akan menderita di bawah pemimpin Muslim yang zalim.

KELUASAN FIQH KENEGARAAN: ANTARA TEKS, KONTEKS, DAN KEBIJAKSANAAN

Syariat Islam bukanlah kerangka sempit yang membelenggu akal, melainkan jalan luas yang menuntun kepada keadilan, rahmat, dan maslahat. Ketika fiqh kenegaraan dipersempit hanya pada literal teks, lahirlah kejumudan; ketika ia dipaksa tunduk pada tafsir maqasid yang liar, lahirlah penyimpangan. Jalan tengah wasatiyyah adalah kunci keseimbangan, agar Islam tetap relevan menjawab cabaran zaman.

Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


Pengantar

Perbahasan tentang fiqh kenegaraan selalu menyingkap pertembungan antara teks dan realiti. Islam tidak pernah memberi kema‘suman kepada sesiapa selepas Rasulullah ﷺ; tokoh sehebat mana pun tetap manusia biasa yang ada jasa besar, namun tetap mungkin melakukan kesilapan. Kerana itu, perbincangan tentang fiqh kenegaraan tidak boleh jumud, tetapi juga tidak boleh bebas tanpa batas. Prinsip besar yang diangkat oleh Ibn Qayyim—bahawa syariah adalah keadilan, rahmat, hikmah, dan maslahat—memberi garis panduan bahawa segala hukum yang menyimpang dari nilai-nilai itu, meskipun dinamakan syariah, hakikatnya bukanlah syariah.

Dalam kerangka inilah, sejarah para sahabat menunjukkan fleksibiliti luar biasa: Umar menghentikan hudud ketika kelaparan, Uthman mengatur kebijakan baru terhadap unta, Ali melanjutkan dengan modifikasi, dan Mu‘adz berijtihad dalam zakat. Semua ini menggambarkan keluasan fiqh dalam ranah politik, sosial, dan kenegaraan. Tantangannya bagi umat Islam hari ini adalah bagaimana menghidupkan roh wasatiyyah—jalan tengah yang menghubungkan nas parsial dengan maqasid universal—agar fiqh kenegaraan tidak menjadi beban kaku yang menjauhkan umat dari rahmat Islam, dan juga tidak terjerumus dalam liberalisme kosong yang memutuskan agama dari teks sucinya.


📘 Rangkuman Kuliah: Keluasan Fikah Kenegaraan (Fiqh Siyasah)


Bagian 1: Pembukaan dan Prinsip Dasar dalam Menilai Tokoh

🎤 Mufti membuka acara dengan salam dan penghormatan kepada para hadirin, termasuk:

  • Datuk Asyanoeddin Bin Yunus (sahabat dan guru)

  • Datuk Ishamuddin (guru politik)

  • Prof. Dr. Muhammad Ruzai Miramli (Presiden konvensi)

  • Ustaz Khairul Anwar (pimpinan konvensi)

  • Para pejabat dan perwakilan pemerintah

📌 Poin-Poin Penting

  1. Ketaatan pada Perintah
    Mufti menyatakan bahwa kehadirannya adalah untuk menjunjung titah Perdana Menteri yang meminta agar majlis ini diteruskan.

  2. Prinsip Kemanusiaan dan Keadilan dalam Menilai Tokoh
    Mufti memulai dengan mengutip ungkapan penting dari Syeikh Muhibuddin Al-Khatib dalam muqaddimah kitab Al-Awasim minal Qawasim:

    Prinsip Utama:
    "Kita, Islam, tidak pernah beri'tikad dengan kemaksuman (kemaaksuman) untuk sesiapa pun selepas daripada Rasulullah SAW. Wa kullu man idda'a al-`ismata li ahadin ba'da Rasulillah SAW. Fa huwa kathib. (Sesiapa saja yang mendakwa kemaksuman untuk seseorang selepas Rasulullah SAW, dia adalah pendusta)."

🔍 Penjelasan Prinsip

  • Manusia adalah Insan:
    Setiap manusia, betapapun hebatnya, memiliki ruang untuk kebenaran (haq) dan kebaikan (khair), serta kesilapan (khata') dan kebatilan (batil).

  • Wajib Bersikap Adil:

    • Terhadap ahli kebenaran: Jangan sampai kesilapan-kesilapan kecil membuat kita melupakan dan menafikan kebaikan serta sumbangan besar yang mendominasi hidup mereka.

    • Terhadap ahli kebatilan: Jangan sampai cetusan-cetusan kebaikan yang jarang dilakukan membuat kita mengelirukan orang lain bahwa mereka termasuk golongan yang salih.

  • Kontekstualisasi Kritik:
    Sumbangan dan jasa besar seorang tokoh harus diangkat sebagai tema utama, sementara kesilapan atau perbedaan pandangan dapat dibahas dalam diskusi akademik tanpa menafikan jasa besarnya.

📝 Ringkasan Bagian 1

Pendekatan yang berimbang dan adil sangat penting dalam menilai para pemikir dan ulama. Tidak ada yang maksum setelah Nabi. Kita harus menghargai sumbangan besar seorang tokoh sambil tetap bisa mengkritisi pandangan-pandangan tertentu mereka secara akademis.


Bagian 2: Landasan Teori — Maqasid Syariah dan Keluasan Fikah

Mufti kemudian memasuki inti kuliah dengan menjelaskan landasan filosofis dari keluasan fikah, khususnya fikah kenegaraan (fiqh siyasah).

Sub-bab 2.1: Kutipan Pemikiran Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah

Mufti mengangkat kutipan monumental Imam Ibn Qayyim yang sering diulang oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi:

Arabic Text (Ibn Qayyim):
إِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنَاهَا وَأَسَاسُهَا عَلَى الْحِكَمِ وَمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ، وَهِيَ عَدْلٌ كُلُّهَا، وَرَحْمَةٌ كُلُّهَا، وَمَصَالِحُ كُلُّهَا، وَحِكْمَةٌ كُلُّهَا. فَكُلُّ مَسْأَلَةٍ خَرَجَتْ عَنْ الْعَدْلِ إِلَى الْجَوْرِ، وَعَنْ الرَّحْمَةِ إِلَى ضِدِّهَا، وَعَنْ الْمَصْلَحَةِ إِلَى الْمَفْسَدَةِ، وَعَنْ الْحِكْمَةِ إِلَى الْبَعْثِ، فَلَيْسَتْ مِنْ الشَّرِيعَةِ وَإِنْ أُدْخِلَتْ فِيهَا بِالتَّأْوِيلِ

Terjemahan:
"Sesungguhnya syariah itu bangunannya dan asasnya adalah atas hikmah dan kemaslahatan hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat. Syariah itu adalah keadilan keseluruhannya, rahmat keseluruhannya, maslahat keseluruhannya, dan hikmah keseluruhannya. Maka setiap masalah yang keluar dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat kepada kebalikannya, dari maslahat kepada mafsadat (kerusakan), dan dari hikmah kepada kesia-siaan, maka ia bukan dari syariah, sekalipun dimasukkan ke dalam syariah dengan ta'wil."

📝 Ringkasan Sub-bab 2.1:
Inti syariah adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah. Setiap tindakan atau hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal ini—meskipun dibungkus dengan nama syariah—pada hakikatnya bukanlah bagian dari syariah.


Sub-bab 2.2: Pembagian Domain Hukum — Ibadah vs. Muamalah

Mufti menjelaskan perbedaan mendasar antara dua domain hukum dalam Islam, sebuah pembedaan yang krusial untuk memahami fiqh siyasah:

1. Domain Ibadah (Al-‘Ibadat)

  • Prinsip: Al-Aslu fil ‘ibadat at-ta‘abbud wat-tizam bin-nusus (Prinsip dalam ibadah adalah ketundukan dan kepatuhan mutlak pada teks/nas).

  • Sifat: Tertutup untuk inovasi (bid‘ah). Tidak ada pembaruan.

    • Contoh: Tata cara shalat, puasa, haji.

    • Tidak ada kelonggaran kontekstual.

2. Domain Muamalah dan Adat (Al-‘Adat wal Mu‘amalat)

  • Termasuk di dalamnya urusan kenegaraan dan politik (as-siyasah).

  • Prinsip: Al-ittifatu ‘alal ma‘ani wal maqasid (Fokus pada makna dan tujuan-tujuan hukum).

  • Sifat: Terbuka, dinamis, dan sangat memperhatikan konteks, waktu, tempat, dan kemaslahatan (maslahah).

    • Teks dipahami dalam bingkai maqasid-nya.

📝 Ringkasan Sub-bab 2.2:
Fikah kenegaraan berada dalam domain muamalah, yang bersifat fleksibel dan bertujuan untuk merealisasikan keadilan dan kemaslahatan, bukan domain ibadah yang rigid dan tekstual.


Bagian 3: Contoh Praktis Keluasan Fikah dari Sejarah Islam

Mufti memberikan banyak contoh historis bagaimana para sahabat Nabi dan pemimpin awal Islam menerapkan prinsip maqasid dalam pemerintahan.

Sub-bab 3.1: Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab

  1. Pemberian untuk Mu’allaf
    Umar menghentikan pemberian bagian zakat untuk mu’allaf (orang yang baru masuk Islam) yang pada zaman Nabi diberikan.

    • Alasannya: kondisi Islam sudah kuat, tidak perlu lagi “memancing” orang dengan materi.

    • Tindakan ini menunaikan maksud nas (memperkuat Islam), bukan menafikannya.

  2. Pembagian Tanah Rampasan Perang (Sawad al-‘Iraq)
    Berbeda dengan Nabi yang membagikan tanah Khaibar, Umar tidak membagikan tanah Iraq yang ditaklukkan kepada para mujahidin.

    • Ia menjadikannya sebagai tanah milik negara (waqf) untuk kemaslahatan generasi penduduk lokal dan generasi Muslim masa depan.

    • Ia berhujah dengan semangat QS. Al-Hasyr: 9 untuk mencegah kecemburuan sosial.

  3. Penghentian Hukum Potong Tangan (Hudud as-Sariqah) di Masa Kelaparan
    Umar menangguhkan hukuman potong tangan selama masa kelaparan karena kondisi darurat (dharurah) dan keterpaksaan (ikrah) membuat tindakan mencuri tidak memenuhi unsur yang dimaksud oleh nas.

  4. Jizyah untuk Bani Taghlib
    Umar setuju untuk tidak menggunakan istilah “jizyah” untuk kaum Nasrani Bani Taghlib yang keberatan dengan istilah tersebut.

    • Mereka membayar dengan jumlah yang sama tetapi disebut “shadaqah” atau “zakat”.

    • Kebijakan ini menunjukkan keluwesan politik dan psikologis.


Sub-bab 3.2: Kebijakan Khalifah Lainnya

  1. Kebijakan Mu’adz bin Jabal di Yaman
    Mu’adz mengambil zakat fitrah dalam bentuk nilai (uang) bukan barang (gandum), karena lebih maslahat untuk dikirim ke Madinah.

    • Kebijakan yang inovatif ini tidak dibantah oleh Nabi dan kemudian menjadi dasar pandangan mazhab Hanafi.

  2. Kebijakan Utsman bin ‘Affan terhadap Unta Tersesat
    Berbeda dengan kebijakan Nabi dan Abu Bakar yang membiarkan unta tersesat, Utsman menangkap dan menjualnya untuk menjaga hak pemilik dan ketertiban.

    • Ini karena konteks masyarakat telah berubah menjadi lebih kompleks.

  3. Kebijakan Ali bin Abi Thalib
    Ali meneruskan kebijakan Utsman tetapi tidak menjual unta, hanya menahannya sampai pemiliknya datang.


📝 Ringkasan Bagian 3

Para pemimpin awal Islam tidak menerapkan nas secara kaku. Mereka melakukan ijtihad dengan mendahulukan semangat keadilan, kemaslahatan universal, dan realitas kontekstual di atas makna literal teks dalam urusan muamalah dan siyasah.


Bagian 4: Tiga Aliran dalam Memahami Nas dan Kritiknya

Mufti menyampaikan (merujuk pada Al-Qaradawi) bahwa dalam menghadapi nas, terdapat tiga aliran pemikiran:

1. Az-Zahiriyyah al-Judud (Neo-Literalist)

  • Ciri: Sangat ketat dan tekstual. Menolak segala bentuk interpretasi kontekstual.

    • Contoh: Menolak istilah “cukai” dan bersikeras pada “jizyah”, menolak bayar zakat dengan uang.

  • Kritik: Terlalu sempit, kaku, dan tidak peka terhadap maqasid syariah serta perubahan zaman.

2. Al-Mu‘attilah al-Judud (Neo-Rasionalis/Ekstrem)

  • Ciri: Terlalu mengedepankan maqasid syariah hingga mengabaikan nas-nas yang sahih dan jelas (sharih).

    • Menghalalkan yang haram dengan alasan maslahat.

  • Kritik: Berbahaya karena dapat menggerus batasan-batasan syariah yang tetap.

    • “Tak study Nas, asyik maqasid syariah.”

3. Al-Wasathiyah (Jalan Tengah yang Seimbang)

  • Ciri: Ar-rabtu baynan-nususi al-juz’iyyah wal-maqasidi al-kulliyyah (Menghubungkan teks-teks spesifik dengan tujuan-tujuan universal syariah).

  • Pendekatan: Memahami nas tidak hanya secara literal, tetapi dalam bingkai maqasidnya. Mencari titik temu antara teks dan konteks.

  • Contoh:

    • Memahami perintah “menyalahi orang kafir” (mukhalafatul kuffar) dalam hal gaya hidup (seperti jenggot) bukan sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai wasilah untuk menjaga identitas.

    • Jika konteksnya sudah berbeda, implementasinya bisa berubah selama tujuan utamanya tercapai.


📝 Ringkasan Bagian 4

Aliran yang ideal adalah aliran pertengahan (wasathiyah) yang memadukan ketaatan pada teks yang sahih dengan pemahaman yang mendalam terhadap tujuan-tujuan universal syariah (maqasid syariah).


Bagian 5: Aplikasi dalam Kepemimpinan dan Politik Kontemporer

Mufti memberikan contoh aplikasi prinsip-prinsip ini dalam politik dan kepemimpinan.

  1. Perjanjian Hudaibiyah
    Nabi membuat keputusan strategis yang awalnya tidak dipahami bahkan ditentang oleh sebagian sahabat (seperti Umar).

    • Keputusan itu ternyata membawa maslahat yang sangat besar bagi perkembangan Islam.

    • Ini menunjukkan wewenang pemimpin (Waliyul Amr) dalam membuat kebijakan strategis berdasarkan ijtihadnya.

  2. Penunjukan Pejabat berdasarkan Kompetensi
    Nabi tidak memberikan jabatan pemerintahan kepada Abu Dzar yang shaleh tetapi dianggap “lemah”, dan justru melantik Amr bin Ash yang baru masuk Islam tetapi sangat cakap.

    • Ini menunjukkan bahwa dalam siyasah, kompetensi (kafa’ah) seringkali lebih diutamakan daripada tingkat kesalehan personal untuk jabatan tertentu.

  3. Kerjasama dengan Pihak Lain
    Nabi memuji “Hilful Fudhul” (Sumpah Para Pemulia), sebuah perjanjian pra-Islam untuk membela orang yang tertindas.

    • Nabi bersabda: “Seandainya aku dijemput untuk hal yang serupa dalam Islam, niscaya aku akan penuhi.”

    • Ini menunjukkan bahwa kerjasama untuk tujuan kebaikan dan keadilan dibenarkan, meskipun mitra kerjasamanya bukan dari kalangan Muslim.


📝 Ringkasan Bagian 5

Dalam politik dan kepemimpinan, pertimbangan maslahat, kompetensi, dan strategi seringkali lebih diutamakan daripada pertimbangan ritual atau simbolik semata. Seorang pemimpin memiliki kewenangan untuk berijtihad membuat kebijakan (siyasah syar’iyyah) selama bertujuan untuk merealisasikan keadilan dan kemaslahatan rakyat.


Bagian 6: Penutup dan Kesimpulan

Mufti menutup kuliah dengan menekankan pentingnya memiliki wawasan pemikiran yang luas (horizon pemikiran), khususnya bagi gerakan pembaharuan Islam.

  • Peringatan:
    Jangan sampai dalam masalah fikih muamalah yang dinamis, kita menjadi sekaku dan seekstrem dalam masalah ibadah yang tetap.

  • Seruan:
    Perlunya kematangan berfikir (kepikaan) agar umat Islam dapat terus maju dan menghadapi tantangan zaman dengan solusi yang relevan dan berkeadilan.

Mufti memohon maaf karena tidak menyiapkan slide dan menyampaikan materinya berdasarkan ingatan dan pemikiran yang disusun pagi itu.


📝 Ringkasan Akhir Kuliah

Fikah Kenegaraan (Fiqh Siyasah) adalah domain yang sangat luas dan dinamis.
Ia dibangun di atas prinsip keadilan, maslahat, dan hikmah. Pemahaman terhadapnya memerlukan pendekatan yang seimbang (tawazun) antara teks (nas) dan konteks (waqi), antara kehendak spesifik teks (juz’iyyat) dan tujuan universal syariah (maqasid kulliyyah).

Keluwesan ini bukanlah penyimpangan, tetapi justru merupakan pengamalan yang paling otentik dari semangat syariah itu sendiri, sebagaimana dicontohkan oleh para pendahulu umat yang shaleh.


POLITIK TAKFIRI: KETIKA AGAMA DIJADIKAN SENJATA KEKUASAAN

Pengkafiran atas dasar politik bukanlah warisan kesalehan, melainkan penyimpangan beragama yang mengoyak persatuan umat. Di balik retorika agama, politik takfiri sejatinya hanyalah permainan kuasa yang menjadikan label “kafir” sebagai peluru untuk menumbangkan lawan. 

Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


PEGANTAR

Fenomena politik takfiri—atau pengkafiran atas dasar politik—merupakan salah satu gejala berbahaya dalam sejarah maupun realitas umat Islam kontemporer. Jika pada masa awal Islam praktik takfir sering dikaitkan dengan kelompok Khawarij yang mengkafirkan sesama Muslim karena perbedaan pandangan, maka di era modern ia tampil dalam wajah baru: agama dijadikan senjata untuk mendelegitimasi lawan politik. Padahal, takfir bukanlah perkara remeh. Para ulama sejak dahulu menegaskan bahwa seseorang yang telah masuk Islam dengan yakin tidak boleh dikeluarkan darinya kecuali dengan bukti yang sama kuat, sehingga vonis kafir tanpa dasar yang sah justru mengundang kerusakan besar.

Penggunaan takfir dalam arena politik tidak hanya menyimpangkan ajaran agama, tetapi juga berpotensi merusak tatanan sosial. Tuduhan kafir yang disematkan pada pihak berbeda pandangan memicu kebencian, polarisasi, bahkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Padahal, al-Qur’an dan Sunnah Nabi ﷺ dengan tegas melarang umat untuk tergesa-gesa mengkafirkan orang lain hanya demi keuntungan duniawi. Dengan demikian, kajian tentang politik takfiri bukan sekadar diskursus teologis, melainkan peringatan moral dan sosial agar umat senantiasa berhati-hati menjaga lidah, akal, dan hati dalam menyikapi perbedaan.


Rangkuman

1. Pendahuluan: Definisi Politik Takfiri

  • Politik takfiri: dari bahasa Arab At-Takfīr as-Siyāsī, artinya pengkafiran politik.

  • Yaitu mengkafirkan orang lain atas dasar kepentingan politik, bukan berdasarkan kebenaran syar’i.

  • Tujuannya:

    • Menjatuhkan lawan politik.

    • Meminta pihak lain menghukum lawan dengan legitimasi agama.


2. Perbedaan Takfir Qadhi vs Takfir Politik

  • Takfir Qadhi: keputusan hakim (qadhi) bila ada bukti seseorang benar-benar murtad.

  • Takfir Politik: dilakukan demi tujuan politik, bukan karena dalil yang sah.

  • Sangat berbahaya karena menjadikan agama sebagai alat politik.

HAMAS, STUDI TENTANG PEMIKIRAN DAN SEPAK TERJANGNYA - ARABIC

حركة المقاومة الإسلامية (حماس) : دراسات في الفكر والتجربة

The Islamic Resistance Movement (Hamas): Studies of Thoughts & Experience

(Ready PDF in Arabic & English Version)

أصدر مركز الزيتونة للدراسات والاستشارات في بيروت كتاباً جديداً بعنوان “حركة المقاومة الإسلامية حماس: دراسات في الفكر والتجربة”، شارك في كتابته نخبة من الأساتذة المتخصصين في القضية الفلسطينية وخمسة من كبار قادة حماس. ويقع هذا الكتاب في 672 صفحة من القطع الكبير. وهو من تحرير الدكتور محسن محمد صالح.

Pusat Al-Zaytuna untuk Studi dan Konsultasi di Beirut telah merilis buku baru berjudul "Gerakan Perlawanan Islam Hamas: Studi dalam Pemikiran dan Sepak Terjang", yang ditulis oleh sekelompok profesor yang mengkhususkan diri dalam masalah Palestina dan lima pemimpin senior Hamas. Buku ini memiliki 672 halaman dalam format besar. Buku ini disunting oleh Dr. Mohsen Mohammed Saleh.

يتوزع الكتاب على جزأين، الأول: دراسات علمية حول حماس وتجربتها، وهو يشمل 11 دراسة. وتقدم الدراسات المحكّمة، استعراضاً تاريخياً لنشأة حركة حماس وتطورها، كأحد أبرز حركات المقاومة الفلسطينية، وكحركة تحظى بشعبية واسعة في الوسط الفلسطيني، وكحركة تتبنى الإسلام عقيدة وسلوكاً ومنهجاً. وتناقش الرؤية السياسية لحركة حماس، وتوضح نظرة حماس للعدو الصهيوني، وموقفها من مشاريع التسوية السلمية، ومن الفصائل الفلسطينية، ورؤيتها لعملية الإصلاح السياسي والاجتماعي؛ كما تناقش الدراسات دوائر علاقات حماس العربية والإسلامية والدولية.

Buku ini terbagi menjadi dua bagian, yang pertama: studi ilmiah tentang Hamas dan sepak terjangnya, yang mencakup 11 studi. Studi-studi ini menyajikan tinjauan sejarah tentang asal usul gerakan Hamas dan perkembangannya, sebagai salah satu gerakan perlawanan Palestina yang paling menonjol, serta gerakan yang sangat populer di kalangan masyarakat Palestina, dan sebagai gerakan yang mengadopsi Islam sebagai keyakinan, perilaku, dan pendekatan. Mereka juga membahas visi politik Hamas, menjelaskan pandangan Hamas terhadap musuh Zionis, sikapnya terhadap proyek-proyek penyelesaian damai, fraksi-fraksi Palestina, serta pandangannya terhadap proses reformasi politik dan sosial; juga membahas lingkup hubungan Hamas secara Arab, Islam, dan internasional.

KHILAF PARA IMAM MUJTAHID: ANTARA UZUR, IJTIHAD, DAN ADAB ILMU

Perbedaan fatwa bukan tanda kelemahan, tetapi hasil dari metodologi ketat para imam dalam menilai hadis dan menimbang dalil. Ironisnya, justru sebagian umat awam lebih berani menghukum para imam sebagai “salah” atau “sesat” ketimbang mencoba memahami proses ijtihad mereka. Kajian ini mengajak kita menyelami ruang akademik yang melahirkan khilaf, agar kita belajar bersikap dewasa: beradab terhadap ilmu, kritis terhadap hujjah, dan tidak fanatik pada label mazhab.


Oleh: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Perkampungan Sunnah Siri ke 4 Tema: Kegemilangan Para Imam Mujtahid, Tarikh 2017 di Negeri Perlis, Sesi 3

📚 PENGANTAR

Dalam tradisi keilmuan Islam, perbedaan pendapat bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru bukti kedalaman metodologi para ulama. Kitab Raf‘u al-Malām ‘an al-A’immati al-A‘lām karya Ibn Taymiyyah, yang dikupas dalam kuliah ini, membuka mata kita bahwa ijtihad para imam tidak lahir dari hawa nafsu, melainkan dari kerja keras menimbang sanad, menelaah matan, dan menimbang hujjah yang terkadang menghasilkan kesimpulan berbeda. Perbedaan dalam menilai sebuah hadis—apakah shahih, hasan, atau dha‘if—membawa konsekuensi nyata dalam hukum fikih, mulai dari masalah kesucian air hingga cara kita mengangkat tangan dalam salat. Dengan memahami proses ilmiah di baliknya, kita belajar bahwa khilaf bukanlah jurang, melainkan ruang untuk berpikir lebih dalam dan lebih dewasa.

Namun, di sinilah letak provokasinya: jika para imam yang hafal ribuan hadis, pakar bahasa, dan ahli usul fiqh saja tetap berbeda pendapat, beranikah kita—yang bahkan belum khatam satu kitab hadis—menghukum mereka dengan kata-kata “salah” atau “sesat”? Justru, kuliah ini menantang kita untuk menanggalkan fanatisme buta dan menggantinya dengan adab ilmu. Alih-alih menjadikan perbedaan sebagai bahan ejekan atau celaan, seharusnya kita menjadikannya sebagai latihan intelektual—belajar menimbang dalil, menghargai proses ijtihad, dan memilih yang rajih dengan hati yang lapang. Inilah pendidikan akal sekaligus tarbiyah adab yang ingin diwariskan para ulama.


📚 Rangkuman Lengkap

Kitab: Raf‘u al-Malām ‘an al-A’immati al-A‘lām — Ibn Taymiyyah
Penyampai: S.S. Dato’ Dr. MAZA
Siri: 3 (Siri terakhir dari tiga siri pengajian)
Topik utama: Membahas sebab ke-3 kenapa para imam mujtahid bisa berbeda pendapat walaupun sama-sama mencari kebenaran.


🕌 I. Pendahuluan

1. Salam & doa pembuka

  • Tahmid (pujian kepada Allah), isti‘ādzah (memohon perlindungan dari keburukan diri & amal).

  • Mengingatkan hadirin akan musafir beliau setelah majlis ini.

2. Latar belakang kuliah

  • Kitab ini adalah karya Ibn Taymiyyah untuk mengangkat cercaan terhadap para imam besar (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, Ahmad, dll.).

  • Pesan utama: Jangan menyangka perbedaan mazhab lahir dari kebodohan atau keinginan menyelisihi sunnah, tetapi ada alasan ilmiah.

SAAT DALIL YANG SAMA MELAHIRKAN HUKUM YANG BERBEDA

Banyak yang mengira perbedaan mazhab hanyalah hasil “pilihan selera” atau sekadar tradisi lokal (amalan turun-temurun yang diwarisi tanpa pernah ditelusuri sumber dan jarang diuji dalilnya). Faktanya, setiap perbedaan itu lahir dari proses ilmiah yang teliti—mulai dari penilaian sanad, pengamatan realitas masyarakat, hingga pertimbangan maqāṣid syarī‘ah. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, melalui karyanya Raf‘u al-Malām ‘an A’immati al-A‘lām, membuka tabir alasan-alasan ilmiah mengapa para imam bisa sampai pada kesimpulan yang berbeda tanpa saling menyesatkan. 


Oleh: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Perkampungan Sunnah Siri ke 4 Tema: Kegemilangan Para Imam Mujtahid, Tarikh 2017 di Negeri Perlis, Sesi 2

📚 PENGANTAR

Pernahkah Anda merasa heran, mengapa para imam besar seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad bisa berbeda pendapat dalam masalah yang sama—bahkan yang dalilnya tampak “jelas” di hadapan kita? Bukankah kebenaran itu satu, dan hadis Nabi ﷺ hanya satu? Lalu, mengapa satu imam menolak sebuah hadis yang oleh imam lain dianggap sahih? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering berakhir pada sikap simplistik: membenarkan satu mazhab sambil “menyalahkan” mazhab lain. Padahal, di balik perbedaan itu tersembunyi disiplin ilmiah yang rumit, proses tarjīḥ yang ketat, dan adab keilmuan yang tinggi—sesuatu yang jarang dibedah secara tuntas di ruang publik.


📜 Pendahuluan

  • Tema: Melanjutkan kupasan Raf‘u al-Malām ‘an A’immati al-A‘lām karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (kajian malam kedua).

  • Fokus: Memahami penyebab perbedaan pendapat para imam besar dan bagaimana adab kita dalam menilainya.

  • Tujuan:

    1. Menunjukkan keilmuan dan keadilan para imam.

    2. Menghilangkan sikap mencela ulama hanya karena perbedaan.

    3. Membimbing umat dalam memilih pendapat yang kuat berdasarkan dalil.


1️⃣ Makna dan Kedudukan “Imam”

1.1 Definisi Imam

  • Bukan hanya imam salat; maksudnya adalah ulama besar yang memimpin umat dalam ilmu dan bimbingan agama.

  • Kedudukan mereka bukan hasil jabatan resmi, tapi penetapan Allah.

1.2 Dalil

﴿وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ﴾ (QS. As-Sajdah: 24)

 "Kami menjadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami."

1.3 Syarat Kepemimpinan Agama

  • Ibn Qayyim menukil dari Ibn Taimiyyah:
    "Dengan kesabaran dan keyakinan, diperoleh kepemimpinan dalam agama."