ILUSI KEBEBASAN DALAM DEMOKRASI: PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PILIHAN DAN TAKDIR

Membongkar ilusi kebebasan dalam sistem demokrasi modern, menyingkap debat klasik antara takdir dan kehendak bebas, serta menimbang ulang peran Muslim dalam memilih pemimpin — dengan perspektif teologis, fikih praktis, dan prinsip muamalah Islami yang mencerahkan.

Oleh : Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


๐Ÿ“š Demokrasi, Takdir, dan Pilihan: Apakah Kita Benar-Benar Memilih?

Dalam era demokrasi yang mengangkat slogan kebebasan memilih, masyarakat sering kali terjebak dalam ilusi bahwa mereka sepenuhnya bebas menentukan masa depan mereka. “Saya bebas memilih siapa pun yang saya kehendaki,” demikian keyakinan umum yang sering tidak dikaji ulang secara mendalam. Tetapi, apakah benar manusia memiliki kehendak bebas yang mutlak? Ataukah pilihan kita sebenarnya telah diarahkan—bahkan dibentuk—oleh berbagai faktor tak kasat mata?

๐Ÿ’ฅ Tadzkirah yang menjadi dasar tulisan ini membuka dimensi berpikir yang jarang disentuh secara jujur. Ia menghubungkan antara perdebatan klasik dalam teologi Islam dengan praktik sosial-politik modern seperti pemilihan umum. Konteks ini tidak hanya menyentuh aspek duniawi, tetapi menelusup ke dalam inti akidah, kerangka fikih, dan hukum-hukum muamalah.

Melalui pendekatan akademik dan retorika yang tajam, pembicara menantang para pendengar untuk:

  • Mengkaji ulang posisi manusia sebagai makhluk yang konon “bebas” memilih.

  • Memahami bahwa tidak semua pilihan itu lahir dari kebebasan absolut.

  • Menilai politik bukan dari kaca mata fanatisme kelompok, tetapi dari neraca tanggung jawab syar'i.

๐ŸŽฏ Jika Anda ingin memahami peran Anda sebagai Muslim dalam politik modern secara benar dan berimbang—tanpa terjebak dalam narasi sempit partai, simbol agama, atau propaganda pahala-syurga—maka tadzkirah ini adalah bahan renungan yang wajib Anda simak sampai akhir.


๐Ÿ“ RANGKUMAN RINGKASAN FAEKAH SECARA DETAIL & SISTEMATIK


๐Ÿ”ฎ 1. Debat Teologis: Apakah Manusia Musayyar atau Mukhayyar?

Tadzkirah diawali dengan membahas persoalan teologis mendasar:

  • Musayyar: Manusia dipaksa oleh takdir, tidak memiliki kehendak.

  • Mukhayyar: Manusia diberi kebebasan untuk memilih.

๐Ÿ“Œ Diskursus ini telah melahirkan berbagai mazhab akidah seperti:

  • Jabariyyah: Segala perbuatan manusia ditentukan mutlak oleh Allah.

  • Qadariyyah & Mu’tazilah: Menolak bahwa Allah menentukan perbuatan manusia.

  • Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Menyatakan bahwa Allah menciptakan semua perbuatan, tetapi manusia diberi kehendak untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya.

๐Ÿ’ก Kesimpulan: Allah Maha Adil. Ia menciptakan semua perbuatan, tapi manusia diberi kapasitas untuk memilih yang baik atau buruk. Pahala dan dosa ditentukan oleh niat dan kehendak, bukan hanya hasil perbuatan.


๐ŸŒŒ 2. Kehendak Bebas Manusia Itu Relatif dan Terbatas

Melalui analogi sederhana, dijelaskan bahwa:

“Saat kita ke restoran dan memilih menu, kita merasa bebas. Namun sejatinya, pilihan kita hanya terbatas pada menu yang tersedia.”

Demikian juga dalam pemilihan umum:

  • Kita hanya memilih dari calon yang tersedia, bukan dari semua kemungkinan ideal.

  • Bahkan ketika kita memilih dengan “suka hati,” suka itu sendiri telah dibentuk oleh iklan, media, dan tekanan sosial.

๐Ÿง  Pelajaran: Kebebasan manusia itu terbatas pada ruang lingkup yang telah ditentukan, dan sering kali dibentuk oleh lingkungan luar yang tak disadari.


๐Ÿง  3. Konsep Jahat dan Baik: Siapa yang Menciptakan Kejahatan?

Tadzkirah menyentuh ranah teologi lanjutan:

  • Allah adalah pencipta mutlak segala sesuatu (ุฎَุงู„ِู‚ُ ูƒُู„ِّ ุดَูŠْุกٍ).

  • Maka kejahatan pun, secara penciptaan, berasal dari Allah.

  • Namun kejahatan itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri — ia adalah ketiadaan kebaikan, sebagaimana gelap adalah ketiadaan cahaya.

๐Ÿ“š Analogi: Ketika matahari tertutup, muncul kegelapan. Tapi kegelapan bukan ciptaan “jahat”, ia hanya kondisi yang muncul dari hilangnya cahaya.

๐ŸŽฏ Faedah: Baik dan jahat adalah konsep yang terikat pada konteks, bukan nilai mutlak tanpa dimensi.


๐Ÿงณ 4. Pahala dan Dosa: Niat Memegang Peranan Kunci

Disampaikan contoh konkret:

  • Orang yang berniat pergi ke masjid tapi tertahan karena sakit → tetap mendapat pahala seperti yang datang.

  • Orang yang berniat membunuh, membawa senjata, tapi gagal → tetap berdosa karena niat dan tekad yang nyata (‘azm).

๐Ÿ“Œ Hadis:

ุงู„ู‚ุงุชู„ ูˆุงู„ู…ู‚ุชูˆู„ ููŠ ุงู„ู†ุงุฑ
“Pembunuh dan yang dibunuh, keduanya masuk neraka.”
Karena keduanya sama-sama ingin saling membunuh.

๐Ÿง  Kesimpulan: Dalam Islam, niat dan tekad adalah dasar pertanggungjawaban moral, bukan hanya aksi fisik.


๐Ÿ—ณ️ 5. Pemilihan Umum Termasuk Muamalah, Bukan Ibadah

Aspek penting yang dijelaskan:

  • Urusan politik termasuk dalam muamalah, bukan akidah atau ibadah mahdhah.

  • Dalam muamalah, hukum asalnya adalah mubah, selama tidak ada dalil pelarangan.

  • Maka tidak boleh:

    • Mengklaim bahwa memilih calon tertentu berpahala seperti ibadah.

    • Mengkafirkan atau menyesatkan yang memilih calon berbeda.

๐Ÿ“Œ Analogi: Seperti memilih makanan halal — agama membolehkan selama tidak ada dalil pengharaman.

“Kita tidak perlu tanya dalil ‘boleh makan ikan talapia’, tapi kita perlu tanya dalil kalau ikan itu dilarang.”


⚠️ 6. Kritik terhadap Politik Simbolik dan Agama Partai

Disampaikan secara tajam bahwa:

  • Tidak ada partai politik yang bisa mengklaim dirinya sebagai satu-satunya wakil agama.

  • Tidak boleh mengatakan:

    “Siapa yang pilih lambang partai saya akan masuk surga. Siapa yang tidak pilih, masuk neraka.”

๐Ÿ’ฅ Ini bentuk eksploitasi agama dalam politik, yang sangat berbahaya dan menyesatkan umat.

๐ŸŽฏ Pelajaran: Islam tidak menjadikan loyalitas partai sebagai bagian dari iman. Agama tidak sempit dan tidak boleh disekat oleh identitas politik.


๐Ÿงญ PENUTUP

Pada akhirnya, manusia memang diberi pilihan. Tapi pilihan itu datang dengan tanggung jawab — bukan hanya di hadapan negara, tetapi di hadapan Allah. Maka:

  • Pilihlah berdasarkan ilmu dan kajian, bukan sentimen.

  • Jangan cepat tergoda oleh simbol, jargon agama, atau “janji pahala” dari manusia.

  • Gunakan hak memilih dalam kerangka muamalah yang adil, rasional, dan bertanggung jawab secara syar'i.

๐ŸŽง Jika Anda ingin menyelami seluruh dimensi pemikiran ini lebih dalam—mulai dari akidah, teologi, hingga respons terhadap realitas politik—maka dengarkan audio tadzkirahnya sampai tuntas. Tadzkirah ini bukan hanya menambah wawasan, tapi juga membongkar banyak persepsi keliru tentang agama dan demokrasi.