Syariat Islam bukanlah kerangka sempit yang membelenggu akal, melainkan jalan
luas yang menuntun kepada keadilan, rahmat, dan maslahat. Ketika fiqh
kenegaraan dipersempit hanya pada literal teks, lahirlah kejumudan; ketika ia
dipaksa tunduk pada tafsir maqasid yang liar, lahirlah penyimpangan. Jalan
tengah wasatiyyah adalah kunci keseimbangan, agar Islam tetap relevan menjawab
cabaran zaman.
Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis
Pengantar
Perbahasan tentang fiqh kenegaraan selalu menyingkap pertembungan antara
teks dan realiti. Islam tidak pernah memberi kema‘suman kepada sesiapa
selepas Rasulullah ﷺ; tokoh sehebat mana pun tetap manusia biasa yang ada
jasa besar, namun tetap mungkin melakukan kesilapan. Kerana itu,
perbincangan tentang fiqh kenegaraan tidak boleh jumud, tetapi juga tidak
boleh bebas tanpa batas. Prinsip besar yang diangkat oleh Ibn Qayyim—bahawa
syariah adalah keadilan, rahmat, hikmah, dan maslahat—memberi garis panduan
bahawa segala hukum yang menyimpang dari nilai-nilai itu, meskipun dinamakan
syariah, hakikatnya bukanlah syariah.
Dalam kerangka inilah, sejarah para sahabat menunjukkan fleksibiliti luar
biasa: Umar menghentikan hudud ketika kelaparan, Uthman mengatur kebijakan
baru terhadap unta, Ali melanjutkan dengan modifikasi, dan Mu‘adz berijtihad
dalam zakat. Semua ini menggambarkan keluasan fiqh dalam ranah politik,
sosial, dan kenegaraan. Tantangannya bagi umat Islam hari ini adalah
bagaimana menghidupkan roh wasatiyyah—jalan tengah yang menghubungkan nas
parsial dengan maqasid universal—agar fiqh kenegaraan tidak menjadi
beban kaku yang menjauhkan umat dari rahmat Islam, dan juga tidak terjerumus
dalam liberalisme kosong yang memutuskan agama dari teks sucinya.
📘 Rangkuman Kuliah: Keluasan Fikah Kenegaraan (Fiqh Siyasah)
Bagian 1: Pembukaan dan Prinsip Dasar dalam Menilai Tokoh
🎤 Mufti membuka acara dengan salam dan penghormatan kepada para hadirin, termasuk:
-
Datuk Asyanoeddin Bin Yunus (sahabat dan guru)
-
Datuk Ishamuddin (guru politik)
-
Prof. Dr. Muhammad Ruzai Miramli (Presiden konvensi)
-
Ustaz Khairul Anwar (pimpinan konvensi)
-
Para pejabat dan perwakilan pemerintah
📌 Poin-Poin Penting
-
Ketaatan pada Perintah
Mufti menyatakan bahwa kehadirannya adalah untuk menjunjung titah Perdana Menteri yang meminta agar majlis ini diteruskan.
-
Prinsip Kemanusiaan dan Keadilan dalam Menilai Tokoh
Mufti memulai dengan mengutip ungkapan penting dari Syeikh Muhibuddin Al-Khatib dalam muqaddimah kitab Al-Awasim minal Qawasim:
Prinsip Utama:
"Kita, Islam, tidak pernah beri'tikad dengan kemaksuman (kemaaksuman
) untuk sesiapa pun selepas daripada Rasulullah SAW. Wa kullu man idda'a al-`ismata li ahadin ba'da Rasulillah SAW. Fa huwa kathib. (Sesiapa saja yang mendakwa kemaksuman untuk seseorang selepas Rasulullah SAW, dia adalah pendusta)."
🔍 Penjelasan Prinsip
-
Manusia adalah Insan:
Setiap manusia, betapapun hebatnya, memiliki ruang untuk kebenaran (haq
) dan kebaikan (khair
), serta kesilapan (khata'
) dan kebatilan (batil
).
-
Wajib Bersikap Adil:
-
Terhadap ahli kebenaran: Jangan sampai kesilapan-kesilapan kecil membuat kita melupakan dan menafikan kebaikan serta sumbangan besar yang mendominasi hidup mereka.
-
Terhadap ahli kebatilan: Jangan sampai cetusan-cetusan kebaikan yang jarang dilakukan membuat kita mengelirukan orang lain bahwa mereka termasuk golongan yang salih.
-
Kontekstualisasi Kritik:
Sumbangan dan jasa besar seorang tokoh harus diangkat sebagai tema utama, sementara kesilapan atau perbedaan pandangan dapat dibahas dalam diskusi akademik tanpa menafikan jasa besarnya.
📝 Ringkasan Bagian 1
Pendekatan yang berimbang dan adil sangat penting dalam menilai para pemikir dan ulama. Tidak ada yang maksum setelah Nabi. Kita harus menghargai sumbangan besar seorang tokoh sambil tetap bisa mengkritisi pandangan-pandangan tertentu mereka secara akademis.
Bagian 2: Landasan Teori — Maqasid Syariah dan Keluasan Fikah
Mufti kemudian memasuki inti kuliah dengan menjelaskan landasan filosofis dari keluasan fikah, khususnya fikah kenegaraan (fiqh siyasah
).
Sub-bab 2.1: Kutipan Pemikiran Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah
Mufti mengangkat kutipan monumental Imam Ibn Qayyim yang sering diulang oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi:
Arabic Text (Ibn Qayyim):
إِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنَاهَا وَأَسَاسُهَا عَلَى الْحِكَمِ وَمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ، وَهِيَ عَدْلٌ كُلُّهَا، وَرَحْمَةٌ كُلُّهَا، وَمَصَالِحُ كُلُّهَا، وَحِكْمَةٌ كُلُّهَا. فَكُلُّ مَسْأَلَةٍ خَرَجَتْ عَنْ الْعَدْلِ إِلَى الْجَوْرِ، وَعَنْ الرَّحْمَةِ إِلَى ضِدِّهَا، وَعَنْ الْمَصْلَحَةِ إِلَى الْمَفْسَدَةِ، وَعَنْ الْحِكْمَةِ إِلَى الْبَعْثِ، فَلَيْسَتْ مِنْ الشَّرِيعَةِ وَإِنْ أُدْخِلَتْ فِيهَا بِالتَّأْوِيلِ
Terjemahan:
"Sesungguhnya syariah itu bangunannya dan asasnya adalah atas hikmah dan kemaslahatan hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat. Syariah itu adalah keadilan keseluruhannya, rahmat keseluruhannya, maslahat keseluruhannya, dan hikmah keseluruhannya. Maka setiap masalah yang keluar dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat kepada kebalikannya, dari maslahat kepada mafsadat (kerusakan), dan dari hikmah kepada kesia-siaan, maka ia bukan dari syariah, sekalipun dimasukkan ke dalam syariah dengan ta'wil."
📝 Ringkasan Sub-bab 2.1:
Inti syariah adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah. Setiap tindakan atau hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal ini—meskipun dibungkus dengan nama syariah—pada hakikatnya bukanlah bagian dari syariah.
Sub-bab 2.2: Pembagian Domain Hukum — Ibadah vs. Muamalah
Mufti menjelaskan perbedaan mendasar antara dua domain hukum dalam Islam, sebuah pembedaan yang krusial untuk memahami fiqh siyasah:
1. Domain Ibadah (Al-‘Ibadat
)
2. Domain Muamalah dan Adat (Al-‘Adat wal Mu‘amalat
)
-
Termasuk di dalamnya urusan kenegaraan dan politik (as-siyasah
).
-
Prinsip: Al-ittifatu ‘alal ma‘ani wal maqasid
(Fokus pada makna dan tujuan-tujuan hukum).
-
Sifat: Terbuka, dinamis, dan sangat memperhatikan konteks, waktu, tempat, dan kemaslahatan (maslahah
).
📝 Ringkasan Sub-bab 2.2:
Fikah kenegaraan berada dalam domain muamalah, yang bersifat fleksibel dan bertujuan untuk merealisasikan keadilan dan kemaslahatan, bukan domain ibadah yang rigid dan tekstual.
Bagian 3: Contoh Praktis Keluasan Fikah dari Sejarah Islam
Mufti memberikan banyak contoh historis bagaimana para sahabat Nabi dan pemimpin awal Islam menerapkan prinsip maqasid dalam pemerintahan.
Sub-bab 3.1: Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab
-
Pemberian untuk Mu’allaf
Umar menghentikan pemberian bagian zakat untuk mu’allaf (orang yang baru masuk Islam) yang pada zaman Nabi diberikan.
-
Alasannya: kondisi Islam sudah kuat, tidak perlu lagi “memancing” orang dengan materi.
-
Tindakan ini menunaikan maksud nas (memperkuat Islam), bukan menafikannya.
-
Pembagian Tanah Rampasan Perang (Sawad al-‘Iraq)
Berbeda dengan Nabi yang membagikan tanah Khaibar, Umar tidak membagikan tanah Iraq yang ditaklukkan kepada para mujahidin.
-
Ia menjadikannya sebagai tanah milik negara (waqf) untuk kemaslahatan generasi penduduk lokal dan generasi Muslim masa depan.
-
Ia berhujah dengan semangat QS. Al-Hasyr: 9 untuk mencegah kecemburuan sosial.
-
Penghentian Hukum Potong Tangan (Hudud as-Sariqah
) di Masa Kelaparan
Umar menangguhkan hukuman potong tangan selama masa kelaparan karena kondisi darurat (dharurah
) dan keterpaksaan (ikrah
) membuat tindakan mencuri tidak memenuhi unsur yang dimaksud oleh nas.
-
Jizyah untuk Bani Taghlib
Umar setuju untuk tidak menggunakan istilah “jizyah” untuk kaum Nasrani Bani Taghlib yang keberatan dengan istilah tersebut.
Sub-bab 3.2: Kebijakan Khalifah Lainnya
-
Kebijakan Mu’adz bin Jabal di Yaman
Mu’adz mengambil zakat fitrah dalam bentuk nilai (uang) bukan barang (gandum), karena lebih maslahat untuk dikirim ke Madinah.
-
Kebijakan Utsman bin ‘Affan terhadap Unta Tersesat
Berbeda dengan kebijakan Nabi dan Abu Bakar yang membiarkan unta tersesat, Utsman menangkap dan menjualnya untuk menjaga hak pemilik dan ketertiban.
-
Kebijakan Ali bin Abi Thalib
Ali meneruskan kebijakan Utsman tetapi tidak menjual unta, hanya menahannya sampai pemiliknya datang.
📝 Ringkasan Bagian 3
Para pemimpin awal Islam tidak menerapkan nas secara kaku. Mereka melakukan ijtihad dengan mendahulukan semangat keadilan, kemaslahatan universal, dan realitas kontekstual di atas makna literal teks dalam urusan muamalah dan siyasah.
Bagian 4: Tiga Aliran dalam Memahami Nas dan Kritiknya
Mufti menyampaikan (merujuk pada Al-Qaradawi) bahwa dalam menghadapi nas, terdapat tiga aliran pemikiran:
1. Az-Zahiriyyah al-Judud (Neo-Literalist)
-
Ciri: Sangat ketat dan tekstual. Menolak segala bentuk interpretasi kontekstual.
-
Kritik: Terlalu sempit, kaku, dan tidak peka terhadap maqasid syariah serta perubahan zaman.
2. Al-Mu‘attilah al-Judud (Neo-Rasionalis/Ekstrem)
3. Al-Wasathiyah (Jalan Tengah yang Seimbang)
-
Ciri: Ar-rabtu baynan-nususi al-juz’iyyah wal-maqasidi al-kulliyyah
(Menghubungkan teks-teks spesifik dengan tujuan-tujuan universal syariah).
-
Pendekatan: Memahami nas tidak hanya secara literal, tetapi dalam bingkai maqasidnya. Mencari titik temu antara teks dan konteks.
-
Contoh:
-
Memahami perintah “menyalahi orang kafir” (mukhalafatul kuffar
) dalam hal gaya hidup (seperti jenggot) bukan sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai wasilah untuk menjaga identitas.
-
Jika konteksnya sudah berbeda, implementasinya bisa berubah selama tujuan utamanya tercapai.
📝 Ringkasan Bagian 4
Aliran yang ideal adalah aliran pertengahan (wasathiyah
) yang memadukan ketaatan pada teks yang sahih dengan pemahaman yang mendalam terhadap tujuan-tujuan universal syariah (maqasid syariah
).
Bagian 5: Aplikasi dalam Kepemimpinan dan Politik Kontemporer
Mufti memberikan contoh aplikasi prinsip-prinsip ini dalam politik dan kepemimpinan.
-
Perjanjian Hudaibiyah
Nabi membuat keputusan strategis yang awalnya tidak dipahami bahkan ditentang oleh sebagian sahabat (seperti Umar).
-
Penunjukan Pejabat berdasarkan Kompetensi
Nabi tidak memberikan jabatan pemerintahan kepada Abu Dzar yang shaleh tetapi dianggap “lemah”, dan justru melantik Amr bin Ash yang baru masuk Islam tetapi sangat cakap.
-
Kerjasama dengan Pihak Lain
Nabi memuji “Hilful Fudhul” (Sumpah Para Pemulia), sebuah perjanjian pra-Islam untuk membela orang yang tertindas.
-
Nabi bersabda: “Seandainya aku dijemput untuk hal yang serupa dalam Islam, niscaya aku akan penuhi.”
-
Ini menunjukkan bahwa kerjasama untuk tujuan kebaikan dan keadilan dibenarkan, meskipun mitra kerjasamanya bukan dari kalangan Muslim.
📝 Ringkasan Bagian 5
Dalam politik dan kepemimpinan, pertimbangan maslahat, kompetensi, dan strategi seringkali lebih diutamakan daripada pertimbangan ritual atau simbolik semata. Seorang pemimpin memiliki kewenangan untuk berijtihad membuat kebijakan (siyasah syar’iyyah
) selama bertujuan untuk merealisasikan keadilan dan kemaslahatan rakyat.
Bagian 6: Penutup dan Kesimpulan
Mufti menutup kuliah dengan menekankan pentingnya memiliki wawasan pemikiran yang luas (horizon pemikiran
), khususnya bagi gerakan pembaharuan Islam.
-
Peringatan:
Jangan sampai dalam masalah fikih muamalah yang dinamis, kita menjadi sekaku dan seekstrem dalam masalah ibadah yang tetap.
-
Seruan:
Perlunya kematangan berfikir (kepikaan
) agar umat Islam dapat terus maju dan menghadapi tantangan zaman dengan solusi yang relevan dan berkeadilan.
Mufti memohon maaf karena tidak menyiapkan slide dan menyampaikan materinya berdasarkan ingatan dan pemikiran yang disusun pagi itu.
📝 Ringkasan Akhir Kuliah
Fikah Kenegaraan (Fiqh Siyasah
) adalah domain yang sangat luas dan dinamis.
Ia dibangun di atas prinsip keadilan, maslahat, dan hikmah. Pemahaman terhadapnya memerlukan pendekatan yang seimbang (tawazun
) antara teks (nas
) dan konteks (waqi
), antara kehendak spesifik teks (juz’iyyat
) dan tujuan universal syariah (maqasid kulliyyah
).
Keluwesan ini bukanlah penyimpangan, tetapi justru merupakan pengamalan yang paling otentik dari semangat syariah itu sendiri, sebagaimana dicontohkan oleh para pendahulu umat yang shaleh.