LEGASI CINTA RASUL: WARISAN ABADI NABI MUHAMMAD ﷺ UNTUK UMAT

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 09/2025

Kematian seorang pemimpin besar biasanya menandakan berakhirnya sebuah perjuangan. Namun, ketika Rasulullah ﷺ wafat pada 12 Rabi‘ul Awwal, justru dari peristiwa itu lahirlah kebangkitan yang lebih besar. Abu Bakr al-Ṣiddīq r.a. mengingatkan para sahabat dengan ayat Al-Qur’an, bahwa Nabi hanyalah Rasul, sementara agama ini adalah milik Allah ﷻ yang hidup dan tidak pernah mati.


Dalam sebuah tadzkirah berjudul “Legasi Cinta Rasul”, Prof. Dato’ Dr. MAZA menguraikan:

  • Bagaimana fitrah manusia selalu mencari Tuhan, dan hanya wahyu yang dapat menuntun pencarian itu.

  • Perjalanan dakwah Rasulullah ﷺ, dari penentangan di Mekah, hijrah ke Madinah, hingga penaklukan Mekah yang penuh dengan pemaafan.

  • Legasi besar Nabi ﷺ berupa Al-Qur’an dan Sunnah, yang menjadi panduan umat hingga akhir zaman.

  • Kecintaan sahabat yang luar biasa, mencintai Nabi ﷺ lebih dari diri mereka sendiri.

  • Relevansi ajaran dan teladan Rasulullah ﷺ dalam menghadapi cabaran umat Islam modern: kepemimpinan, keluarga, perjuangan, dan akhlak.

Di akhir tadzkirah, Prof. MAZA menegaskan bahwa cinta sejati kepada Rasulullah ﷺ bukanlah slogan atau sekadar perayaan, melainkan ketaatan penuh terhadap ajaran beliau. Inilah cinta yang akan menjadi cahaya dalam hidup dan penyelamat di akhirat.

🌸 Tadzkirah ini bukan sekadar mengenang, tetapi ajakan untuk menghidupkan cinta Rasul dalam kehidupan sehari-hari, agar warisan beliau tetap menyala dalam hati setiap Muslim.

Berikut rangkumannya:

ADAB IKHTILAF: SENI BERBEDA PENDAPAT DALAM ISLAM TANPA MELUKAI UKHUWAH

Seminar ilmu bedah buku Adab Ikhtilaf dalam Islam untuk pelajar muslim dan sebagian non-muslim

Panelis: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 09/2025

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah fitrah yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam agama. Namun, bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi perbedaan agar ia menjadi rahmat, bukan fitnah?



Kuliah ini tidak hanya relevan bagi pelajar ilmu agama, tetapi juga bagi semua umat Islam yang ingin memahami bagaimana mengelola perbedaan pandangan dengan hikmah. Dari contoh sahabat Nabi ﷺ yang berbeda dalam memahami perintah hingga peringatan terhadap bahaya eksploitasi agama oleh pihak yang tidak amanah, Prof. MAZA menegaskan: agama harus mendekatkan kita kepada Allah, bukan memecah belah umat.

🌿 Mari menyelami inti pesan kuliah ini: bagaimana ikhtilaf menjadi jalan menuju keluasan ilmu dan kedewasaan iman.

Berikut rangkumannya:

12 RABI‘UL AWWAL: HARI TERBESAR UMAT ISLAM KEHILANGAN RASULULLAH ﷺ

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Hari itu, Madinah berubah sunyi.
Langit seakan meredup, hati-hati sahabat hancur, dan bumi terasa kehilangan cahayanya. Tanggal 12 Rabi‘ul Awwal bukan hanya hari lahir Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga hari paling pilu: hari wafatnya sang kekasih Allah, penutup para nabi, rahmat bagi seluruh alam.


Para sahabat terpukul — ‘Umar bin Khattab menolak percaya hingga menghunus pedang, ‘Utsman bin ‘Affan terdiam bisu, dan seluruh Madinah terhuyung dalam kesedihan. Namun Abu Bakar ash-Shiddiq berdiri tegak, menenangkan umat dengan kalimat yang menggetarkan jiwa:

"Barang siapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Tetapi barang siapa menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan mati.”

Kematian Nabi ﷺ adalah musibah terbesar umat Islam. Akan tetapi, beliau meninggalkan warisan yang abadi: al-Qur’an dan sunnah, sebagai cahaya penuntun di tengah kegelapan dunia.

Kini, lebih dari 1400 tahun telah berlalu sejak hari pilu itu. Namun, setiap kali kita mengingatnya, seakan-akan luka itu kembali menganga: bagaimana mungkin umat ini bisa hidup tanpa bimbingan langsung dari sosok yang paling mulia?

Namun, wahai saudaraku…
Rasulullah ﷺ memang telah wafat, tetapi sunnahnya tetap hidup. Cinta sejati kepada beliau bukan hanya dengan air mata, melainkan dengan ketaatan dan kesetiaan pada risalahnya.

Mari kita jadikan setiap detak jantung sebagai saksi cinta, setiap amal sebagai bukti rindu, dan setiap doa sebagai janji untuk bertemu beliau kelak di surga, bersama Ar-Rafīq al-A‘lā yang beliau rindukan. 

Berikut ini rangkumannya:

JAWABAN ILMIAH SOAL HUDUD YANG SERING DIPUTARBALIKKAN

Pembentang materi: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis

Hudud sering menjadi bahan tuduhan kejam terhadap syariat Islam. Media Barat menggambarkannya sebagai hukum yang barbar: potong tangan pencuri, rajam pezina, pancung orang murtad. Sayangnya, sebagian umat Islam sendiri ikut mempercayai narasi ini sehingga muncul ketakutan seolah-olah negara Islam adalah negara yang penuh darah.



Padahal, hudud dalam Islam bukan sekadar hukuman fisik, melainkan batasan hukum Allah untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan. Syariat Islam tidak pernah dimaksudkan untuk menindas, melainkan untuk melindungi masyarakat. Bahkan, sejarah menunjukkan hudud sangat jarang diterapkan karena syaratnya begitu ketat — fungsi utamanya adalah pencegahan (deterrent), bukan teror.

🌺 Menuduh hudud sebagai sadis sama saja dengan menolak hukum Allah ﷻ. Padahal, di balik ketentuan ini terdapat hikmah besar: menjaga keamanan, menegakkan keadilan, dan melindungi hak-hak manusia. Dunia modern pun memiliki hukuman berat seperti kursi listrik, suntikan mati, atau penjara seumur hidup, namun tidak pernah disebut barbar. Mengapa hukum Allah justru dicap demikian?

Hudud bukanlah wajah kejam Islam, melainkan cerminan keadilan dan rahmat jika dipahami secara benar. Tugas kita sebagai umat adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, meluruskan kesalahpahaman, dan menegakkan syariat dengan penuh hikmah. ✨

Semoga Allah ﷻ memberi kita pemahaman yang benar, menjaga kita dari fitnah tuduhan miring terhadap Islam, dan meneguhkan umat di atas jalan kebenaran. آمين يا رب العالمين

Berikut rangkumannya:

BULAN KEMATIAN NABI ﷺ: PELAJARAN BESAR DARI RABI‘UL AWWAL

Kisah wafatnya Rasulullah ﷺ di bulan Rabi‘ul Awwal bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi sebuah peringatan agung bahwa setiap yang hidup pasti akan mati. Wasiat terakhir beliau — jaga shalat dan pedulilah orang-orang lemah — tetap relevan untuk kita amalkan hingga hari ini.

Mari jadikan bulan Rabi‘ul Awwal bukan hanya momentum untuk mengenang kelahiran Nabi ﷺ, tetapi juga untuk mengingat kewafatan beliau. Sebab dari sanalah kita belajar hakikat cinta sejati: bukan sekadar merayakan, melainkan menghidupkan sunnahnya sepanjang hayat.

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis



Rabi‘ul Awwal sering dikenal sebagai bulan kelahiran Rasulullah ﷺ. Hampir di seluruh dunia Islam, umat merayakannya dengan berbagai tradisi Maulid. Namun, jarang sekali kita mengingat bahwa di bulan yang sama, tepatnya pada hari Senin, 12 Rabi‘ul Awwal tahun 11 H, Nabi Muhammad ﷺ wafat meninggalkan umatnya.

Kewafatan beliau bukan sekadar catatan sejarah, melainkan momen penuh ibrah (pelajaran) bagi umat Islam. Pada detik-detik terakhir, beliau menegaskan kembali pentingnya shalat sebagai tiang agama dan menyeru agar umat memperhatikan hak-hak orang lemah. Rasulullah ﷺ wafat dengan kalimat terakhir: “Balir-Rafīq al-A‘lā” — memilih bersama Allah, Sang Teman yang Maha Tinggi.

Melalui kisah wafatnya Nabi ﷺ, kita diajak untuk merenungi hakikat hidup dan mati, serta kembali meneguhkan komitmen mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab, meski Rasulullah ﷺ telah wafat, risalah Islam tetap hidup sepanjang zaman.

✨ Semoga Allah ﷻ meneguhkan kita di atas jalan Rasulullah ﷺ, menghidupkan sunnahnya, dan mematikan kita dalam keadaan husnul khātimah. آمين يا رب العالمين

Berikut ini rangkumannya:

ISRA'ILIYYAT FIT TAFSIR - INSIGHTS AND CAUTIONS

Oleh: 
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Isra'iliyyat dalam Tafsir: Wawasan dan Kewaspadaan (Insights and Cautions) | Perlis International Sunnah Convention 2025 | Note: Audio berbahasa Inggris



Isra'iliyyat dalam Tafsir: Wawasan dan Kewaspadaan (Insights and Cautions)

Isra'iliyyat adalah istilah yang digunakan dalam studi Islam untuk merujuk kepada kisah, narasi, atau riwayat yang berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen, khususnya yang diambil dari sumber-sumber seperti Taurat, Talmud, atau Perjanjian Lama, yang sering kali dimasukkan ke dalam penafsiran Al-Qur'an (tafsir). Dalam konteks tafsir, Isra'iliyyat biasanya berkaitan dengan penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung cerita nabi-nabi terdahulu atau peristiwa masa lalu.

Wawasan (Insights):

  1. Sumber Historis: Isra'iliyyat sering digunakan oleh mufassir (ahli tafsir) awal, seperti Tabari, untuk memberikan konteks sejarah atau memperkaya cerita yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Misalnya, kisah Nabi Yusuf, Musa, atau cerita-cerita tentang penciptaan Adam.
  2. Menarik Perhatian: Banyak kisah Isra'iliyyat yang menarik perhatian pembaca karena sifatnya yang detail, imajinatif, dan kadang-kadang penuh simbolisme.
  3. Jembatan dengan Tradisi Agama Lain: Isra'iliyyat membantu menunjukkan bagaimana Al-Qur'an terhubung dengan tradisi agama lain, seperti Yahudi dan Kristen, serta menunjukkan elemen-elemen universal dari kisah-kisah para nabi.
Kewaspadaan (Cautions):

  1. Keaslian Diragukan: Tidak semua Isra'iliyyat memiliki sumber yang dapat dipercaya. Sebagian berasal dari tradisi lisan yang sulit diverifikasi kebenarannya atau diselewengkan oleh perubahan dari generasi ke generasi.
  2. Tidak Diakui Syariat: Dalam Islam, Isra'iliyyat dibagi menjadi tiga kategori:
    • Yang sesuai dengan syariat Islam: Boleh diterima selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadis.
    • Yang bertentangan dengan syariat Islam: Harus ditolak.
    • Yang tidak diakui atau ditolak: Tidak boleh diterima begitu saja tanpa bukti dari sumber Islam.
  3. Potensi Penyimpangan: Terlalu banyak menggunakan Isra'iliyyat dalam tafsir bisa mengalihkan perhatian dari pesan utama Al-Qur'an atau bahkan menimbulkan kesalahpahaman tentang akidah dan hukum Islam.
  4. Pendekatan Para Ulama: Ulama seperti Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyyah sangat berhati-hati terhadap Isra'iliyyat, hanya menggunakan kisah-kisah tersebut sebagai pelengkap, bukan sumber utama dalam tafsir.

Kesimpulan: Isra'iliyyat bisa menjadi alat yang bermanfaat dalam memperkaya pemahaman kita terhadap konteks sejarah dan cerita dalam Al-Qur'an, tetapi harus digunakan dengan hati-hati. Seorang Muslim harus mengutamakan Al-Qur'an dan Hadis yang sahih sebagai pedoman utama, serta berhati-hati terhadap narasi yang tidak jelas asal-usulnya.

Rangkuman kuliah:

MEMBONGKAR MITOS BID’AH HASANAH

Dalam kehidupan beragama hari ini, tidak sulit menemukan ritual, amalan, dan perayaan keagamaan yang dilakukan dengan niat baik, semangat yang tinggi, dan bahkan berbalut dalil-dalil retoris dari para tokoh agama. Namun, tidak semua hal yang tampak religius itu bersumber dari agama.

Ahli Panel: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip Seminar Penghayatan As-Sunnah, 2 Oktober 2005 Institut As-Sunnah Negeri Perlis


Salah satu istilah yang sering dijadikan tameng pembenaran terhadap praktik-praktik keagamaan yang tidak ada tuntunannya dari Nabi ﷺ adalah: "bid’ah hasanah" — sebuah istilah yang kerap digunakan secara longgar, bahkan sembarangan.

Seringkali orang berkata:

“Memang tidak dilakukan Nabi, tapi ini baik kok.”
“Ini tidak bertentangan dengan Islam, justru mendekatkan kita pada Allah.”
“Banyak ulama besar juga melakukannya, masak salah?”

Dengan argumen seperti ini, agama dikacaukan oleh sentimen, dan nash-nash ditinggalkan demi kebiasaan.

Kuliah ini hadir untuk membongkar dengan terang — bukan hanya apa itu bid’ah, tapi juga bagaimana istilah “bid’ah hasanah” disalahpahami dan digunakan secara tidak jujur, bahkan oleh sebagian tokoh agama sendiri.

🧠 Apakah kebaikan dalam ibadah ditentukan oleh “niat baik”? Atau tetap harus bersandar pada sunnah Nabi dan tuntunan syariat?

MELANTIK NON-MUSLIM MENJADI PEMIMPIN ATAU WAKIL RAKYAT DALAM SISTEM DEMOKRASI

Oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


Di negara demokratis seperti Malaysia dan Indonesia, yang warganya datang dari beragam agama, isu kepemimpinan non-Muslim selalu jadi perbincangan hangat. Al-Qur’an memang melarang umat Islam menjadikan orang kafir sebagai awliyāʼ—pelindung dan penentu arah hidup. Tapi, menariknya, sejarah Islam awal justru mencatat hal berbeda: Khalifah Umar bin al-Khattab pernah mempercayakan seorang Nasrani sebagai sekretaris keuangan, dan di zaman Umayyah maupun Abbasiyah banyak non-Muslim ikut serta dalam jabatan teknis-administratif tanpa bersentuhan dengan urusan syariat. Fakta ini seolah mengingatkan kita: larangan tersebut bukanlah mutlak, melainkan kontekstual. Jadi, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah—dalam sistem demokrasi modern, sanggupkah umat Islam membedakan antara kepemimpinan inti yang memang wajib Muslim dengan jabatan publik teknis yang bisa dipegang non-Muslim demi kemaslahatan bangsa yang majemuk?


PENGANTAR

Dalam konteks negara Muslim demokratis seperti Malaysia dan Indonesia, di mana sistem politik berjalan secara terbuka dan masyarakatnya majemuk dalam agama, isu kepemimpinan non-Muslim menjadi sangat relevan untuk dibahas. Al-Qur’an memang mengingatkan agar kaum Muslim tidak menjadikan orang kafir sebagai awliyāʼ (pelindung dan penentu arah hidup). Namun, apakah larangan itu berlaku mutlak terhadap semua non-Muslim, atau hanya ditujukan pada mereka yang jelas memusuhi Islam? Pertanyaan ini semakin menantang ketika demokrasi memberi hak politik setara bagi semua warga negara.

Menariknya, sejarah Islam awal memberi contoh: pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, seorang Nasrani pernah dipercaya sebagai sekretaris keuangan (kātib al-kharāj) karena kepakarannya dalam administrasi. Pada era Umayyah dan Abbasiyah awal, pejabat non-Muslim juga ditemukan dalam posisi teknis, terutama dalam bidang keuangan, diplomasi, dan penerjemahan. Fakta ini menyingkap satu hal penting: sejak generasi awal, umat Islam sudah membedakan antara kepemimpinan inti yang menyangkut dasar-dasar agama dan negara (yang hanya untuk Muslim) dengan jabatan teknis-administratif yang bisa dipegang non-Muslim demi kemaslahatan. Maka, apakah wajar jika hari ini kita kembali menimbang ulang larangan itu dalam bingkai teks suci dan realitas demokrasi modern?

GAZA: UJIAN AQIDAH ATAU SEKADAR KONFLIK POLITIK

Oleh: 
  • Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis
  • Shahibus Samahah Al Fadhil Ustaz Fawwaz - Mufti Wilayah Federasi Malaysia
Acara: Pentas Peduli Gaza @ Dataran Merdeka Kuala Lumpur Malaysia, Tema: Solidaritas Umat untuk Palestina. Turut dihadiri oleh PMX - Arsip 24/08/2025



🌍 PENGANTAR

Isu Gaza bukan sekadar berita duka dari Timur Tengah, melainkan cermin kondisi umat Islam secara global. Forum Pentas Peduli Gaza @ Dataran Merdeka menghadirkan renungan mendalam: bagaimana mungkin umat dengan lebih dari 1,6 miliar jiwa tampak begitu lemah di hadapan segelintir musuh? Jawabannya tidak terletak pada kekuatan senjata semata, tetapi pada kelemahan internal—perpecahan, cinta dunia, dan abainya umat terhadap amanah Allah. Diskusi ini mengungkap bahwa Gaza adalah ujian aqidah, bukan sekadar konflik politik.

Lebih jauh, forum ini menegaskan bahwa membela Gaza berarti membela kehormatan Islam sendiri. Masjid al-Aqṣā adalah simbol aqidah, tanah para nabi adalah warisan suci, dan penderitaan rakyat Palestina adalah panggilan iman. Doa, solidaritas, pendidikan generasi, hingga pengorbanan nyata ditawarkan sebagai jalan kebangkitan umat. Membaca rangkuman ini bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menantang hati: apakah kita masih sekadar penonton, atau siap menjadi bagian dari perjuangan yang lebih besar?


📖 Rangkuman Lengkap


Bagian 1: Pembukaan Acara dan Doa

1.1. Salam dan Tahmid

Acara dimulai dengan salam dan puji syukur kepada Allah ﷻ, serta shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Pembicara membuka dengan mengingatkan hadirin bahwa pertemuan ini adalah majlis ilmu dan solidaritas umat.

1.2. Doa Permohonan

Doa dibacakan agar:

  • Allah menurunkan rahmat-Nya kepada umat Islam.

  • Memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin yang dizalimi.

  • Memberikan kekuatan kepada hadirin untuk bersatu dalam menegakkan kebenaran.

SIFAT SEORANG PEMIMPIN

Oleh: Prof. Dr. Rozaimi Ramle - Fiqh wa Ushuluhu Mu'tah Universiti of Jordan, AJK Fatwa Negeri Perlis - Seminar Ilmu Tema Leadership , Arsip 7/2025

Semua orang ribut soal siapa yang pantas jadi pemimpin. Tapi, tahukah kita apa sifat pemimpin sejati menurut Islam? Ppemimpin sejati bukan sekadar populer, tapi punya visi, adil, amanah, dan meneladani Nabi ﷺ. Pertanyaannya, apakah pemimpin kita hari ini—atau bahkan diri kita sendiri—sudah memenuhi standar itu?

🔰 PENGANTAR

Semua orang bicara soal pemimpin: siapa yang layak, siapa yang gagal, siapa yang harus diganti. Tapi jarang sekali kita bertanya dengan jujur: apa sebenarnya sifat seorang pemimpin yang diakui dalam Islam? Apakah cukup bermodal popularitas? Atau sekadar keberanian berorasi? Atau justru kepemimpinan adalah amanah berat yang akan menyeret kita pada kehinaan di akhirat jika disalahgunakan?

Dalam kuliah ini, pemateri membongkar standar kepemimpinan Islami yang sering kita abaikan: kejelasan visi, keteladanan Nabi, keadilan tanpa pilih kasih, hingga amanah dalam setiap detik waktu kerja. Pertanyaannya menusuk: jika Nabi sendiri menolak kepemimpinan tanpa kesiapan, lalu mengapa kita begitu mudah menobatkan siapa saja hanya karena gelar atau kekuasaan? Dan lebih jauh lagi, sudahkah kita memimpin diri dan keluarga dengan standar yang sama—atau jangan-jangan kita pun termasuk yang gagal memimpin?



📒 Rangkuman Kuliah


🕌 Bagian 1: Pendahuluan dan Konteks Kepemimpinan

1.1 Pembukaan dan Salam

Kuliah dibuka dengan:

  • Salam Islami (Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh)

  • Pujian kepada Allah (Alhamdulillah)

  • Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW

  • Ucapan terima kasih kepada pimpinan majlis serta hadirin


1.2 Latar Belakang: Kepemimpinan dalam Setiap Tingkatan

Pemateri menyampaikan bahwa topik "Sifat Seorang Pemimpin" adalah topik yang sangat luas.

Islam memandang bahwa kepemimpinan itu ada pada setiap tingkatan, tidak hanya pada level tertinggi seperti pemimpin negara.

🔑 Poin Kunci:

  • Setiap individu adalah pemimpin dalam ruang lingkupnya masing-masing.

  • Tingkatan kepemimpinan meliputi:

    • Pimpinan Tertinggi Negara

    • Suami (pemimpin keluarga)

    • Istri (pemimpin di rumah suaminya)

  • Kepemimpinan adalah sebuah keperluan (kebutuhan) dalam kehidupan manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa sistem kepemimpinan.


1.3 Konsep Jama'ah dan Ketaatan

Pemateri menjelaskan makna hadits tentang "mati jahiliyah" secara kontekstual.

Beliau menekankan bahwa yang dimaksud "keluar dari jama'ah" bukanlah keluar dari partai politik atau organisasi tertentu.

📜 Hadits & Penjelasan: