MEMAHAMI ISU KONSER DI SAUDI SECARA ILMIAH DAN BERIMBANG

Isu konser dan hiburan publik di Arab Saudi telah menimbulkan berbagai reaksi, mulai dari kritik tajam hingga tuduhan terhadap para ulama dan mazhab tertentu. Tadzkirah dari Shahibus Samahah Mufti Negeri Perlis ini mengajak umat untuk melihat permasalahan ini secara adil, ilmiah, dan proporsional—dengan menimbang peran ulama, batasan tanggung jawab agama, serta dinamika sosial yang sedang berlangsung. Saatnya memahami realitas tanpa prasangka dan menghindari kesalahan dalam menilai agama melalui kacamata politik sempit.

Oleh : Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


🎧 Konser, Ulama, dan Kemunafikan Kritik: Saat Tudingan Agama Menjadi Senjata Politik

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi antara simbol keagamaan dan tekanan liberalisme global, peristiwa semisal konser musik di Arab Saudi mudah menjadi bahan bakar perdebatan panas. Sebagian langsung menyimpulkan bahwa munculnya hiburan publik di negeri yang dikenal ketat dalam agama adalah bukti “penyimpangan akidah Salafi”, “gagalnya ulama Saudi”, atau “kemunafikan Wahabi”.

❗Namun, pertanyaannya: apakah adil jika sebuah sistem keilmuan dan tradisi keulamaan dijatuhkan hanya karena praktik sosial yang tidak mewakili prinsip tersebut secara sah? Apakah kita siap menggunakan logika yang sama terhadap negeri-negeri Muslim lain yang penuh maksiat, meskipun mengklaim bermazhab Ahlus Sunnah yang moderat?

Tadzkirah ini mengajak kita untuk:

  • 📌 Membedah logika sesat di balik tuduhan-tuduhan simplistik terhadap Saudi.

  • 📌 Memahami kompleksitas masalah sosial-keagamaan di dunia Islam modern.

  • 📌 Menyadari pentingnya pendekatan reformis yang seimbang dalam menghadapi perubahan zaman.

💡 Anda akan dibimbing untuk melihat isu ini bukan dari kacamata fanatik sektarian, tetapi dari kerangka maqasid syariah, prinsip keilmuan, dan keadilan berpikir. Tadzkirah ini bukan sekadar pembelaan terhadap negara atau mazhab tertentu, melainkan upaya membangun kesadaran umat agar tidak memperalat agama untuk menyudutkan sesama Muslim.

🎧 Dengarkan versi lengkap audionya agar Anda tidak terjebak dalam retorika cetek yang hanya mengulang-ulang tuduhan tanpa dasar ilmiah.


📝 RANGKUMAN FAEDAH LENGKAP & DETAIL


1️⃣ Kesalahan Metodologis dalam Menyalahkan Ulama karena Maksiat Pemerintah

Tadzkirah ini diawali dengan kritik terhadap kecenderungan sebagian pihak yang menyamaratakan dosa pemerintah dengan mazhab atau ulama yang ada di wilayah tersebut.

🔎 Contoh-contoh yang dikemukakan:

  • Di Mesir, meskipun pusat Azhariyah kuat, praktik maksiat (tarian gelek, penipuan wisata, prostitusi) tetap banyak — namun tidak ada yang menyalahkan Asy’ariyah atau ulama Al-Azhar.

  • Di Malaysia, meskipun mayoritas bermazhab Syafi’i, tempat maksiat seperti kasino Genting tetap ada — tetapi tak seorang pun menyalahkan mazhab Syafi’i.

📌 Faedah: Kita tidak boleh menyandarkan perilaku sosial atau politik suatu negeri kepada ulama dan ajaran resmi mereka, kecuali ada bukti bahwa ulama itu membenarkannya.


ILUSI KEBEBASAN DALAM DEMOKRASI: PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PILIHAN DAN TAKDIR

Membongkar ilusi kebebasan dalam sistem demokrasi modern, menyingkap debat klasik antara takdir dan kehendak bebas, serta menimbang ulang peran Muslim dalam memilih pemimpin — dengan perspektif teologis, fikih praktis, dan prinsip muamalah Islami yang mencerahkan.

Oleh : Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


📚 Demokrasi, Takdir, dan Pilihan: Apakah Kita Benar-Benar Memilih?

Dalam era demokrasi yang mengangkat slogan kebebasan memilih, masyarakat sering kali terjebak dalam ilusi bahwa mereka sepenuhnya bebas menentukan masa depan mereka. “Saya bebas memilih siapa pun yang saya kehendaki,” demikian keyakinan umum yang sering tidak dikaji ulang secara mendalam. Tetapi, apakah benar manusia memiliki kehendak bebas yang mutlak? Ataukah pilihan kita sebenarnya telah diarahkan—bahkan dibentuk—oleh berbagai faktor tak kasat mata?

💥 Tadzkirah yang menjadi dasar tulisan ini membuka dimensi berpikir yang jarang disentuh secara jujur. Ia menghubungkan antara perdebatan klasik dalam teologi Islam dengan praktik sosial-politik modern seperti pemilihan umum. Konteks ini tidak hanya menyentuh aspek duniawi, tetapi menelusup ke dalam inti akidah, kerangka fikih, dan hukum-hukum muamalah.

Melalui pendekatan akademik dan retorika yang tajam, pembicara menantang para pendengar untuk:

  • Mengkaji ulang posisi manusia sebagai makhluk yang konon “bebas” memilih.

  • Memahami bahwa tidak semua pilihan itu lahir dari kebebasan absolut.

  • Menilai politik bukan dari kaca mata fanatisme kelompok, tetapi dari neraca tanggung jawab syar'i.

🎯 Jika Anda ingin memahami peran Anda sebagai Muslim dalam politik modern secara benar dan berimbang—tanpa terjebak dalam narasi sempit partai, simbol agama, atau propaganda pahala-syurga—maka tadzkirah ini adalah bahan renungan yang wajib Anda simak sampai akhir.


📝 RANGKUMAN RINGKASAN FAEKAH SECARA DETAIL & SISTEMATIK


🔮 1. Debat Teologis: Apakah Manusia Musayyar atau Mukhayyar?

Tadzkirah diawali dengan membahas persoalan teologis mendasar:

  • Musayyar: Manusia dipaksa oleh takdir, tidak memiliki kehendak.

  • Mukhayyar: Manusia diberi kebebasan untuk memilih.

📌 Diskursus ini telah melahirkan berbagai mazhab akidah seperti:

  • Jabariyyah: Segala perbuatan manusia ditentukan mutlak oleh Allah.

  • Qadariyyah & Mu’tazilah: Menolak bahwa Allah menentukan perbuatan manusia.

  • Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Menyatakan bahwa Allah menciptakan semua perbuatan, tetapi manusia diberi kehendak untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya.

💡 Kesimpulan: Allah Maha Adil. Ia menciptakan semua perbuatan, tapi manusia diberi kapasitas untuk memilih yang baik atau buruk. Pahala dan dosa ditentukan oleh niat dan kehendak, bukan hanya hasil perbuatan.


MENGUAK TANTANGAN DAKWAH SALAFI DI ERA NARASI DAN FITNAH

Sebuah Analisis Mendalam tentang Stigmatisasi Terhadap Dakwah Salafi, Regulasi Keagamaan yang Membatasi, Fragmentasi Internal Akibat Perbedaan Furu’iyyah, serta Upaya Membangun Jalan Tengah yang Ilmiah dan Beradab di Tengah Pergulatan Narasi Media, Bias Politik Keagamaan, dan Tantangan Dakwah Kontemporer.

Oleh : Prof. Dr. Rozaimi Ramle - AJK Fatwa Negeri Perlis, Rektor Universiti Islam Perlis - Arsip 07/2025



🎓 Membongkar Stigma, Memahami Realita

Ketika istilah "Salafi" disebut, reaksi publik sangat beragam — dari rasa kagum hingga ketakutan. Di satu sisi, istilah ini mewakili semangat kembali kepada kemurnian ajaran Islam sesuai pemahaman generasi terbaik umat. Namun di sisi lain, ia sering kali dipersepsikan sebagai simbol ekstremisme, bahkan dituduh satu bakul dengan gerakan radikal. Lalu, siapakah sebenarnya Salafi? Mengapa mereka begitu sering diserang — dari media, institusi keagamaan, bahkan sesama Ahlus Sunnah?

Ceramah ini bukan sekadar pembelaan, tapi penjelasan komprehensif terhadap tantangan yang dihadapi oleh komunitas Salafi, khususnya di Malaysia, namun sangat relevan dengan konteks Indonesia dan dunia Islam secara umum. Disampaikan dengan gaya terbuka dan reflektif, pembicara memaparkan bagaimana persepsi yang keliru terhadap Salafi telah mengakar secara sistemik, bahkan dimanipulasi untuk tujuan politis dan sektarian.

Yang paling menarik, ceramah ini juga menyentuh sisi autokritik internal — bagaimana perpecahan dalam tubuh Salafi terjadi bukan karena perbedaan manhaj, tetapi soal perbedaan ijtihadiyah dan akhlak dalam menyikapi perbedaan. Di sinilah nilai lebih ceramah ini: jujur, ilmiah, dan berani.

🔍 Bila Anda ingin memahami secara adil dan objektif tentang dakwah salafi, fenomena pergeseran narasi keislaman, serta bagaimana merespons tantangan dakwah dengan ilmu dan akhlak, maka audio ini wajib disimak hingga tuntas. Jangan hanya membaca ringkasan atau komentar — dengarkan dari sumber langsungnya. Sebab dari lisannya, tersingkap data dan pengalaman yang tak terbantahkan.


✨ Ringkasan Faedah Lengkap

1. Tantangan Eksternal terhadap Salafi

  • Di Malaysia, Salafi sering disamakan dengan Wahabi dan jihadis. Ini hasil narasi sepihak dari kelompok yang menentang dakwah pemurnian.

  • Bahkan insiden yang tidak berkaitan pun diseret menjadi tuduhan terhadap Salafi, seperti penamparan imam oleh orang dengan gangguan jiwa, yang lantas dijadikan "bukti" bahaya Wahabi.

  • Data dari aparat menunjukkan bahwa mayoritas pelaku kekerasan bukanlah bermazhab Salafi, tetapi orang awam yang semangatnya tinggi namun tanpa ilmu.

2. Regulasi Dakwah yang Membatasi

  • Di Malaysia, untuk berdakwah di masjid, seseorang harus memiliki tauliah (izin resmi) dari Majlis Agama Negeri.

  • Sistem ini idealnya menjaga kemurnian dakwah, namun sering disalahgunakan oleh pihak yang anti-Salafi untuk membatasi akses mereka, meski memiliki gelar akademik tinggi.

  • Tauliah Salafi kerap ditarik, sementara yang lain justru diberi izin walaupun secara kapasitas keilmuan masih dipertanyakan.

KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGENALI BID'AH

📘 قواعد معرفة البدع

Kaidah-Kaidah dalam Mengenal Bid‘ah

Karya: Prof. Dr. Muḥammad bin Ḥusain al-Jīzānī - Dosen Ilmu Ushul Fiqh Universiti Islam Madinah

Penerbit: Dār Ibn al-Jawzī


🌟 مُقَدِّمَةُ الكِتَاب

Pendahuluan Kitab

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الحمد لله على الإسلام والسنة والعافية، فإن سعادة الدنيا والآخرة ونعيمهما مبني على هذه الأركان الثلاثة، وما اجتمعن في عبد يوصف بالكمال إلا وقد كملت نعمة الله عليه، وإلا فَنَصِيبُهُ من نعمة الله بحسب نصيبه منها.

Segala puji hanya milik Allah atas nikmat Islam, Sunnah, dan kesehatan (‘āfiyah).
Sesungguhnya kebahagiaan dunia dan akhirat, serta seluruh kenikmatannya, berpijak pada tiga pilar utama ini. Tidaklah ketiganya terkumpul dalam diri seorang hamba — hingga ia layak digambarkan sebagai pribadi yang sempurna — kecuali itu berarti nikmat Allah telah sempurna atas dirinya.
Sebaliknya, jika salah satu dari tiga nikmat itu hilang, maka bagian kenikmatannya pun akan berkurang sebanding dengan kadar yang hilang darinya.


والصلاة والسلام على المبعوث رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه أجمعين، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين.

Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga kepada keluarga beliau, para sahabat, dan pengikut mereka yang berjalan dalam kebaikan hingga hari kiamat.


⚖️ مقام تحديد اسم البدعة وضبط معناها

أما بعد، فإن الناس في تحديد مسمى البدعة وضبط معناها فريقان:

Adapun setelah itu, ketahuilah — semoga Allah merahmati Anda — bahwa umat Islam berbeda pandangan dalam menentukan definisi (taʿrīf) bid‘ah dan batasannya. Mereka terbagi menjadi dua kelompok utama:


🟥 فريق بالغ في التبديع، وتَساهَل في الحكم بالبدعة على كل محدثة أو قضية لم يبلغه دليلها، وهؤلاء جعلوا باب الابتداع واسعاً، وربما أدرجوا تحت مسمى البدعة شيئاً من الشريعة والسنة.

Kelompok pertama adalah mereka yang berlebih-lebihan dalam mentabdi‘ (menganggap sesuatu sebagai bid‘ah), dan terlalu longgar dalam menjatuhkan hukum bid‘ah terhadap setiap perkara baru (muḥdathah) atau persoalan yang belum sampai kepada mereka dalilnya.

🔍 Penjelasan istilah:
المحدثة (muḥdathah) adalah sesuatu yang baru terjadi dalam agama setelah masa Nabi ﷺ, baik dalam bentuk keyakinan atau praktik.

LUKA DI ANTARA PARA SAHABAT: MEMBACA SEJARAH TANPA MEWARISI DENDAM

Oleh : Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis


Perang antar sahabat bukan untuk kita hakimi, apalagi dijadikan bahan hujatan. Ia adalah babak sejarah yang menyayat hati, namun sarat hikmah bagi generasi setelahnya. Di balik perpecahan para tokoh surga ini—Ali, Aisyah, Thalhah, dan Zubair—tersimpan pelajaran besar tentang akhlak, ukhuwah, dan cara menyikapi perbedaan. Tadzkirah ini bukan untuk mengungkit luka, tapi mengajak kita menyalakan pelita hikmah: agar kita tidak mengulang luka yang sama. Karena sejarah umat Islam bukan sekadar deretan kemenangan, tapi juga luka yang hanya bisa disembuhkan oleh ilmu, adab, dan empati. Maka, jangan warisi amarahnya, tapi warisi hikmahnya.

Ketika Sahabat Berselisih: Luka Sejarah yang Tak Kita Abaikan, Tapi Juga Tak Kita Hakimi

Sejarah umat Islam bukan hanya berisi kemenangan, tapi juga luka-luka besar yang masih membekas hingga hari ini. Salah satunya adalah konflik yang terjadi di antara para sahabat Nabi ﷺ — orang-orang terbaik, murid langsung Rasulullah, yang mencintai Islam dengan sepenuh jiwa.

Tadzkirah ini tidak mengajak untuk mengungkit aib atau membuka ruang celaan, melainkan mengajak kita memahami dengan hati yang lapang dan akal yang adil:

  • Mengapa terjadi fitnah besar setelah wafatnya Utsman bin Affan?
  • Apa yang sebenarnya terjadi antara Sayyidina Ali, Aisyah r.a., Thalhah dan Zubair?
  • Bagaimana kita menyikapi peristiwa menyakitkan ini sebagai Muslim masa kini?

Kita semua mencintai para sahabat Nabi ﷺ. Mereka manusia — mereka bisa berselisih. Tapi mereka juga orang yang paling dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Daripada mewarisi kebencian, marilah kita warisi pelajaran: (1) Jaga lisan, jaga hati. (2) Utamakan ukhuwah di atas perbedaan. (3) Jadikan sejarah sebagai guru, bukan senjata.

📌 Ringkasan Poin-Poin Utama : 

1. Fitnah Besar Dimulai dengan Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan

  • Utsman dibunuh secara keji dalam keadaan berpuasa dan membaca Al-Qur’an.
  • Para sahabat ingin membelanya, tapi beliau menolak pertumpahan darah terjadi demi dirinya.

2. Kekosongan Kepemimpinan Memicu Kekacauan

  • Selama sekitar 40 hari, umat Islam tidak memiliki khalifah.
  • Kelompok pemberontak mendesak para tokoh sahabat (Thalhah, Zubair, dan Ali) untuk memimpin.

3. Ali bin Abi Thalib Diangkat Menjadi Khalifah dalam Situasi Penuh Fitnah

  • Ali menanggung beban berat dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.
  • Ia memilih menunda hukuman terhadap pembunuh Utsman demi stabilitas umat.

4. Sebagian Sahabat Menuntut Keadilan untuk Utsman Segera

  • Thalhah, Zubair, dan Aisyah r.a. mendesak penegakan hukum atas pembunuh Utsman.
  • Mereka keluar menuju Basrah untuk membangun konsensus, bukan dengan niat perang.

DEKONSTRUKSI TUDUHAN EKSTREMISME TERHADAP IBNU TAIMIYAH: ANALISIS TEKSTUAL DAN HISTORIS

Fatwanya disalahpahami, kalimatnya dipotong, dan konteksnya dilupakan. Artikel ini membedah bagaimana warisan pemikiran Ibnu Taimiyah dijadikan kambing hitam ideologis—tanpa pertanggungjawaban ilmiah yang layak.

Oleh: Dr. Rozaimi Ramle - AJK Fatwa Negeri Perlis, BA Fiqh & Ph.D Hadith University of Jordan - Arsip Seminar Pemikiran Reformis Ibnu Taimiyyah 11/2016



🎓 Saatnya Menyibak Tabir Kebenaran Fatwa Ibnu Taimiyah 📖🔥

Dalam percaturan pemikiran Islam kontemporer, nama Ibnu Taimiyah kerap diseret ke dalam pusaran kontroversi. Ia dicitrakan sebagai simbol kekerasan, inspirator ekstremisme, bahkan akar ideologis terorisme. Sayangnya, sebagian besar opini itu tumbuh bukan dari ketelitian ilmiah, melainkan dari pengulangan narasi tanpa verifikasi. Di sinilah letak masalahnya: ketika teks dipisahkan dari konteks, lahirlah tafsir yang brutal terhadap ilmu.

Bagaimana mungkin seorang ulama yang dihormati lintas mazhab, ditulis ratusan tesis dan disanjung banyak tokoh besar dunia Islam, lalu direduksi hanya sebagai “sumber radikalisme”? Apakah benar fatwa-fatwanya menyerukan kekerasan tanpa alasan syar'i? Atau justru kita yang gagal memahami struktur logika dan kondisi sosial-politik di balik setiap ijtihadnya?

📢 Artikel ini tidak hadir untuk membela sosok tertentu secara membabi buta. Ia hadir sebagai ikhtiar akademik — mengajak pembaca menyelami teks secara utuh, memahami pendekatan kontekstual Ibnu Taimiyah, dan mengkritisi “pemotongan narasi” yang merusak warisan ilmu.

💥 Jika Anda seorang penuntut ilmu, pengkaji fiqih, pencari keadilan historis, atau bahkan pengamat isu-isu ideologi kontemporer — Anda berhutang untuk membaca ini hingga tuntas dan mendengarkan audionya sampai akhir.


🧠 Ringkasan Faedah Kajian: Analisis Lengkap dari Awal hingga Akhir

📌 1. Posisi Ibnu Taimiyah dalam Sejarah Ilmu

  • Ibnu Taimiyah bukan hanya seorang ulama, melainkan tokoh lintas zaman yang menjadi subjek lebih dari 231 tesis akademik global.

  • Beliau dikenal fleksibel, tidak terikat secara mutlak pada mazhab Hambali, tapi tetap membangun fatwa dengan akar usul mazhab tersebut.

  • Pendekatannya sering kali melampaui taqlid buta dan menghadirkan solusi yang realistis dan berbasis maqashid syariah.


📌 2. Karakter Fikih: Bukan Ekstrem, Tapi Taisir (Kemudahan)

  • Berbeda dari kaum Khawarij, Ibnu Taimiyah justru dikenal sebagai pengusung fiqih yang memudahkan umat.

  • Contoh: membolehkan wanita haid tawaf dengan pengaman jika tak memungkinkan untuk menunda haji, atau tidak membatalkan wudu bagi yang menyentuh kemaluan jika ada dalil yang menguatkan.

  • Dalam isu talak tiga sekaligus, beliau memfatwakan hanya jatuh satu, guna menjaga keutuhan keluarga.


BERBAGI SUAMI: PILIHAN DERITA ATAU PINTU BAHAGIA?

Poligami bukan sekadar berbagi lelaki, tapi berbagi jiwa, sabar, dan hak yang tak boleh timpang. Jika dijalankan tanpa ilmu dan empati, ia menjadi luka yang dalam. Tapi bila dilandasi takwa, adil, dan keridhaan — ia bisa jadi jalan menuju syurga yang jarang dipilih.

Oleh: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 12/2019



💍 Antara Nafsu, Keadilan, dan Realitas Poligami

Poligami. Satu kata, sejuta reaksi. Di telinga sebagian orang, ia terdengar sebagai ancaman—khususnya bagi kaum wanita. Namun di sisi lain, poligami juga dianggap sebagai solusi oleh sebagian kalangan yang berpijak pada syariat. Pertanyaannya, apakah poligami adalah sumber derita, atau justru pintu menuju bahagia?

Islam adalah agama yang membumikan solusi, bukan menciptakan konflik. Ia tidak mendewakan monogami, tapi juga tidak memaksa poligami. Ia menempatkan keadilan sebagai syarat utama, bukan keinginan atau “gatal” semata. Dalam Surah An-Nisā’ ayat 3, Allah ﷻ berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.”

Namun bagaimana jika keadilan itu bukan hanya soal uang atau jadwal giliran, tapi juga soal emosi, jiwa, dan kemampuan batin? Maka tazkirah ini menjadi ruang tafakur yang jujur—tanpa menghakimi, tanpa menggampangkan—namun menyentuh sisi-sisi paling realistik dalam rumah tangga dan kehidupan sosial umat.

💡 Dalam kajian ini, dibahas:

  • Poligami sebagai izin, bukan perintah

  • Kapan poligami menjadi solusi dan kapan ia menjadi kezaliman

  • Realita cinta, nafsu, dan kesenjangan usia atau status

  • Dampak psikologis pada istri pertama dan hak untuk bercerai

  • Tanggapan atas fitnah bahwa Islam adalah agama “bernafsu”

  • Fenomena wanita cemburu, namun juga wanita yang bersedia

  • Nikah Misyar, Fatimah dan Ali, dan pengorbanan Sayyidah Saudah radhiyallāhu ‘anhā

Tazkirah ini bukan ceramah kosong. Ia adalah refleksi tajam dari pengalaman, dalil, dan pengamatan sosial—yang membuka ruang dialog antara syariat, realitas, dan tanggung jawab moral suami-istri dalam pernikahan.


📚 Ringkasan Faedah Utama: “Poligami: Derita atau Bahagia?”

1. Poligami adalah Izin Syariat, Bukan Perintah

  • Poligami diperbolehkan dalam Islam, tapi bukan kewajiban.

  • Sebagian ulama menganggapnya dianjurkan dalam kondisi tertentu, namun konsensus menyatakan syarat utamanya adalah keadilan.

2. Realita Keadilan dalam Poligami

  • Keadilan bukan hanya soal pembagian materi (nafkah, rumah, giliran), tapi juga soal emosi dan sikap batin.

  • Al-Qur’an mengingatkan:

    وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
    “Kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istri, meskipun kamu sangat ingin (melakukannya).” (QS. An-Nisā’: 129)

MEMBEDAH HAKIKAT JISIM: MENGUNGKAP DEBAT EPIK IBNU TAIMIYAH & AL-GHAZALI TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH

Seminar : Ibnu Taimiyah, Ulama Versatile (serba bisa dalam berbagai bidang keilmuan Islam dan kehidupan sosial politik) - Arsip 2017

Oleh:
Al-Ustaz Salman Ali
Pendakwah di Negeri Perlis & Qatar, Debate Coach at Qatar Foundation

PART 1 - PART 2 - PART 3

Apakah sifat-sifat Allah dapat diibaratkan sebagai "komposisi" seperti yang diklaim para filsuf? Benarkah konsep tauhid Islam dipertanyakan oleh para intelektual di masa lalu? Dan lebih jauh lagi, apakah tuduhan bahwa Ibn Taymiyyah seorang mujassimah benar adanya? Seminar ini akan membawa Anda ke dalam salah satu diskusi teologis paling mendalam dan kompleks dalam sejarah Islam, yang mengguncang dunia pemikiran antara dalil agama dan logika filsafat.

Debat Epik Ibn Taymiyyah dan Al-Ghazali

Ibn Taymiyyah dan Al-Ghazali, dua nama besar dalam khazanah keilmuan Islam, menghadapi gelombang pemikiran menyimpang yang mencoba mendistorsi akidah Islam. Di satu sisi, para filsuf menyatakan bahwa sifat-sifat Allah seperti "kalam" dan "jisim" adalah bagian dari komposisi yang membutuhkan pencipta. Di sisi lain, Ibn Taymiyyah dan Al-Ghazali dengan luar biasa menghancurkan klaim ini melalui dalil syar’i yang kokoh dan logika yang tak terbantahkan.

  • Ibn Taymiyyah: Dengan tajam, ia membedakan antara berbagai definisi jisim. Jika jisim dimaknai sebagai "sesuatu yang bisa dilihat," maka Allah bisa dilihat di akhirat, sesuai dalil Al-Qur’an dan hadits. Namun jika jisim dimaknai sebagai "komposisi dari elemen-elemen kecil," maka Allah bukan jisim. Tuduhan bahwa Ibn Taymiyyah seorang mujassimah ternyata lahir dari kesalahpahaman dan manipulasi definisi yang digunakan oleh lawan debatnya.

  • Al-Ghazali: Melalui Ihya Ulumuddin dan karya-karya lainnya, Al-Ghazali membuktikan bahwa penggunaan istilah seperti "komposisi" (terkib) untuk Allah bukan berarti menyalahi tauhid, asalkan definisi yang digunakan benar. Bahkan ia menyerang filsafat yang menolak sifat-sifat Allah, dengan menunjukkan inkonsistensi logika mereka.

JAHIL ATAU SESAT DENGAN SENGAJA? SAAT ILMU DITOLAK, DAN AKIDAH DIPERMAINKAN

Tidak semua orang sesat karena tak tahu. Sebagian memilih untuk sesat — dengan ilmu ditolak, dalil dihina, dan kebatilan dibela atas nama kebebasan. Inilah penyakit zaman yang lebih mematikan dari kebodohan.

Narasumber: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 02/2021



📘 Ketika “Jahil” Bukan Sekadar Tak Tahu, Tapi Memilih Tersesat

🧭 Dalam era informasi yang melimpah, anehnya kita menyaksikan semakin banyak orang yang berani bersuara tentang agama—tanpa ilmu, tanpa bimbingan, bahkan tanpa malu. Mereka membongkar-balik akidah, mempertanyakan keesaan Allah ﷻ, menolak kerasulan Nabi Muhammad ﷺ, hingga mengolok-olok syariat. Anehnya lagi, sebagian dari mereka adalah orang terpelajar, memiliki pangkat, atau pernah berada di lingkungan akademik. Tapi mereka jatuh pada sebuah fenomena yang disebut oleh para ulama sebagai الضلال المُختارkesesatan yang dipilih.

📌 Sebagian kekeliruan lahir dari ketidaktahuan, itu bisa ditoleransi dan dibimbing. Tapi ketika kebodohan dibungkus dengan arogansi, dan kesesatan ditegakkan atas nama kebebasan berpikir, maka ini bukan sekadar jahil, tapi kekufuran yang disengaja.

Tazkirah ini membuka tabir berbagai pernyataan ekstrem yang menyimpang, seperti:

  • Menyebut bahwa Allah adalah nama berhala

  • Menyandingkan syahadat dengan nama-nama Nabi selain Muhammad ﷺ

  • Mengklaim bahwa Islam adalah agama etnik Melayu

  • Menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu, tapi susunan manusia

  • Menuduh Hajarul Aswad sebagai objek kesyirikan umat Islam

  • Menolak poligami padahal ia dinyatakan dalam Al-Qur’an

  • Mengangkat ritual-ritual rekaan sebagai “ibadah yang lebih murni” dari syariat Islam

🔎 Semua ini bukan sekadar perbedaan tafsir, tapi penghancuran dasar-dasar Islam yang paling mendasar: tauhid, kerasulan, dan wahyu.

💥 Maka pertanyaannya: Apakah kita berhadapan dengan orang yang jahil? Ataukah dengan orang yang memilih untuk sesat?


📚 Ringkasan Faedah Utama Kajian: “Jahil atau Kesesatan Terpilih”

1. Definisi dan Bahaya Kesesatan

  • Kata "sesat" dalam Islam adalah istilah serius; disebut dalam Surah Al-Fātiḥah:

    غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

  • Kesesatan berarti menyimpang dari akidah yang benar, dan memiliki tingkatan:

    • Ada yang sesat namun belum kufur (contoh: memahami kelebihan Ali secara berlebihan)

    • Ada yang sesat sekaligus kufur (contoh: menafikan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ)

2. Syahadat: Kenapa Hanya Disebut Nama Nabi Muhammad ﷺ

  • Mengucapkan "Muhammadur Rasulullah" bukan mengingkari nabi lain, tapi mengakui pintu kebenaran seluruhnya datang lewat Nabi Muhammad ﷺ.

  • Menyatakan syahadat pada nabi-nabi lain tanpa pengakuan terhadap Rasulullah ﷺ adalah kekeliruan fatal.

HUDUD TANPA KEADILAN: KRITIK SYARIAH TERHADAP SIMBOLISME HUKUM DALAM SISTEM NEGARA

Bagaimana hukum Islam bisa menjadi instrumen rahmat atau alat penindasan — tergantung siapa yang menerapkannya dan dalam kondisi apa.

Ahli Panel: Shahibus Samahah Dato Dr. MAZA - Mufti Kearajaan Negeri Perlis - Arsip 09/2011



🕌 Menguak Mitos dan Fakta Hukum Hudud ✊📜

Apakah benar hukum hudud hanya identik dengan potong tangan, rajam, dan darah? Apakah Islam hanya tentang menghukum? Apakah negara Islam berarti negara yang menakutkan dan penuh kekerasan?

Mari kita berhenti sejenak dan menimbang dengan akal sehat dan hati nurani. Selama ini, sebagian media—baik di luar maupun dalam dunia Islam—telah menjual ketakutan tentang hukum hudud sebagai wajah sangar dari syariat. Bahkan sebagian umat Islam sendiri, entah karena ketidaktahuan atau semangat tanpa ilmu, menguatkan narasi ini tanpa sadar.

Namun, apakah ini benar esensi hudud?

🔍 Dalam sebuah kuliah yang penuh nuansa akademik dan kedalaman pemikiran, dijelaskan bahwa hudud bukanlah simbol utama dari Islam, melainkan hanya salah satu mekanisme untuk menjaga keadilan dalam masyarakat yang sudah adil terlebih dahulu. Tanpa keadilan sosial, pemerintahan yang amanah, dan sistem masyarakat yang mendukung, hudud hanya akan menjadi alat tirani, bukan rahmat.

🧠 Kuliah ini mengajak kita untuk berpikir ulang: apakah kita hanya sibuk menegakkan hukum tanpa menciptakan sistem yang mendukung pelaksanaannya? Apakah kita mengabaikan inti dari syariat: menegakkan keadilan dan menjaga martabat manusia?

🎧 Anda wajib mendengar audio ini hingga akhir — bukan untuk membenarkan ketakutan lama, tapi untuk menemukan kebenaran yang telah lama terkubur oleh prasangka.


📚 Ringkasan Faedah Kuliah

1. ⚖️ Hudud Bukan Tujuan Utama, Melainkan Mekanisme

Hudud adalah mekanisme untuk menjaga keadilan dalam masyarakat, bukan simbol utama dari pemerintahan Islam. Negara Islam seharusnya menjadi tempat yang aman, adil, dan memelihara kebajikan rakyat — bukan hanya tempat pemberlakuan hukuman fisik semata.

Contoh: Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz menunjukkan keprihatinan terhadap penderitaan rakyat — bukan obsesinya pada hudud.


2. 🧱 Syarat Pelaksanaan Hudud: Suasana Kondusif

Hukum hudud hanya dapat diterapkan jika suasana masyarakat sudah adil dan sejahtera. Nabi ﷺ sendiri melarang pelaksanaan hukuman hudud dalam kondisi tertentu seperti saat safar dan perang, karena dapat menimbulkan fitnah.

Contoh nyata: Potong tangan pencuri tidak dilaksanakan pada masa kekacauan atau kesulitan hidup.